Blitz atau flash
diterjemahkan secara bebas menjadi lampu kilat. Ini merupakan satu asesori yang
sangat luas dipakai dalam dunia fotografi. Fungsi utamanya adalah untuk
meng-illuminate (mencahayai/menerangi) obyek yang kekurangan cahaya agar
terekspos dengan baik. Tetapi belakangan penggunaannya mulai meluas untuk
menghasilkan foto-foto artistik. Bagaimanapun juga, flash photography adalah
satu hal yang perlu dipelajari. Sebagian besar dari pembaca tentunya sudah
sering menggunakan flash dengan baik dan mendapatkan hasil yang baik juga,
tetapi tulisan ini akan membahas dasar-dasar pengetahuan yang diperlukan untuk
menggunakan flash dengan benar. Benar dalam artian secara teori dapat diterima
dan benar dalam artian menggunakan suatu dasar yang dapat dijelaskan secara
ilmiah.
Menggunakan lampu kilat bukan hanya sekedar menyalakan lampu kilat tersebut,
mengarahkan kamera kemudian klik dan jadilah satu foto yang terang serta indah,
tetapi ada hal-hal yang perlu kita ketahui demi mendapat karya foto yang baik
dan benar tersebut. Baik kita memandang kamera digital sebagai seni atau
teknologi, flash tetap adalah satu sarana mempermudah, mengoptimalkan, dan
meningkatkan kreativitas.
Meter, Aperture, dan Shutter Speed
Fotografi secara ringkas sering didefinisikan sebagai ilmu melukis dengan
menggunakan cahaya. Pada fotografi konvensional menggunakan film, kita
‘melukis’ dengan cahaya pada lapisan film. Istilahnya adalah membakar secara
permanen film tersebut dengan menggunakan cahaya dengan intensitas tertentu.
Intensitas cahaya yang masuk mengenai film atau CCD/CMOS pada kamera digital
ini harus tepat. Pencahayaan berlebih akan menyebabkan hasil foto washed-out
(lazim disebut over-exposure/OE) dan pencahayaan kurang akan menyebabkan hasil
foto gelap (lazim disebut under-exposure/UE). Lalu bagaimana mendapatkan cahaya
yang tepat?
Kita mengenal apa yang disebut lightmeter dalam dunia fotografi. Lightmeter ada
yang built-in di dalam bodi kamera dan ada pula yang handheld. Yang biasa kita
gunakan adalah lightmeter built-in tersebut. Kita menggunakan lightmeter untuk
mengukur cahaya reflektif yang masuk ke dalam lensa kita (kalau TTL) dan
prosesor kamera akan menentukan apakah sudah sesuai dengan jenis film yang
terpasang dalam kamera kita. Pada modus auto atau programmed auto, secara
otomatis kamera akan mencarikan kombinasi yang tepat antara f/stop dan shutter
speed (penjelasan menyusul). Pada modus aperture priority (A/Av) kamera akan
menggunakan f/stop yang kita pilih dan menentukan shutter speed yang cocok.
Sebaliknya, pada modus shutter speed priority (S/Tv) kamera akan menggunakan
shutter speed yang kita pilih dan menentukan aperture yang tepat. Pada modus
manual (M) kita akan harus menentukan kombinasi yang tepat dipandu oleh meter
kamera tersebut.
Aperture atau bukaan rana merupakan lebarnya lubang yang dibuka oleh kamera
untuk mengizinkan cahaya masuk. Biasanya disimbolkan dengan angka f/stop. Angka
ini sebenarnya merupakan hasil kelipatan dari sqrt(2). Yang lazim digunakan
biasanya dimulai dari 1.4, 2, 2.8, 4, 5.6, 8, 11, 16, 22, dst. Yang perlu
diingat, semakin besar angkanya semakin kecil bukaannya. Karena itu biasa
ditulis sebagai penyebut pecahan seperti f/1.4, f/2, f/2.8, f/4, f/5.6, f/8,
f/11, f/16, f/22, dst. Aperture ini juga berkaitan dengan DoF (Depth of Field)
atau ruang tajam yang bisa kita definisikan sebagai ruangan di depan dan
belakang obyek yang masih masuk dalam jangkauan focus. DoF ini sendiri
dipengaruhi oleh 3 hal yaitu:
f/stop dimana f/ yang lebih besar akan memberikan DoF yang lebih lebar
(semakin banyak daerah focus).
Jarak obyek dimana obyek yang focus lebih jauh akan menyebabkan DoF juga
semakin lebar.
Penggunaan lensa dimana lensa tele akan memberikan DoF lebih sempit daripada
lensa sudut lebar (wide angle).
Shutter speed atau kecepatan rana adalah lamanya tirai rana dibuka untuk
mengizinkan cahaya masuk. Angka ini disimbolkan dengan satuan detik dan
kenaikan/penurunan dalam bentuk kelipatan ½. Contoh: 30s, 15s, 8s, 4s, 2s, 1s,
1/2s, 1/4s, 1/8s, 1/15s, 1/30s, 1/60s, 1/125s, 1/250s, 1/500s, 1/1000s,
1/2000s, 1/4000s, dst. Semakin lambat maka cahaya yang masuk semakin banyak.
Yang diukur oleh meter kamera itulah intensitas cahaya yang masuk itu. Jika
meter menunjukkan kekurangan cahaya maka kita bisa memperkecil f/stop atau
memperlambat shutter speed. Sebaliknya jika meter menunjukkan kelebihan cahaya
maka kita bisa memperbesar f/stop atau mempercepat shutter speed. Satu hal yang
perlu diingat adalah bahwa semakin lambat shutter speed maka semakin besar
peluang obyek kabur karena gerakan tangan, getaran kamera, atau gerakan obyek
itu sendiri.
Blitz dan GN
Untuk membagi/mengklasifikasikan blitz, ada beberapa klasifikasi yang dapat
digunakan. Yang pertama, berdasarkan ketersediaan dalam kamera maka blitz
dibagi menjadi built-in flash dan eksternal. Flash built-in berasal dari
kameranya sendiri sedangkan blitz eksternal adalah blitz tambahan yang
disambung menggunakan kabel atau hot shoe ke kamera. Selain itu, kita juga dapat
membaginya berdasarkan tipe/merk kamera. Kita mengenal dedicated flash dan
non-dedicated flash. Dedicated flash adalah flash yang dibuat khusus untuk
menggunakan fitur-fitur tertentu dalam suatu kamera spesifik. Biasanya produsen
kamera mengeluarkan blitz yang spesifik juga untuk jajaran kameranya dan dapat
menggunakan fitur-fitur seperti TTL, slow sync atau rear sync, dll. Sedangkan
blitz non-dedicated memiliki fungsi-fungsi umum saja dari kebanyakan kamera dan
bisa digunakan terlepas dari tipe/merk kamera. Flash jenis inilah yang biasanya
membutuhkan banyak perhitungan karena flash yang sudah dedicated sudah mendapat
informasi pencahayaan dari kamera sehingga tidak membutuhkan setting tambahan
lagi. Ada juga flash yang kekuatan outputnya (GN) bisa diatur dan ada juga yang
tidak bisa (fixed GN). Kita akan cenderung lebih banyak membicarakan tentang
flash yang non-dedicated, non-TTL, dan fixed GN.
Dalam fotografi menggunakan blitz, kita tidak akan lepas dari
kalkulasi-kalkulasi yang berkaitan dengan intensitas cahaya yang terefleksi
balik dari obyek yang kita cahayai. Karena itu, kita akan berjumpa dengan apa
yang sering disebut GN (Guide Number) atau kekuatan flash. Secara singkat kita
dapat katakan kalau flashnya berkekuatan besar, maka akan dapat mencahayai satu
obyek dengan lebih terang dan bisa menjangkau obyek yang lebih jauh.
GN pada dasarnya merupakan perhitungan sederhana kekuatan flash. Kita mengenal
2 macam penulisan GN yaitu dengan menggunakan perhitungan satuan yang berbeda
yaitu m (meter) dan feet (kaki). Lazimnya di Indonesia kita menggunakan
hitungan dengan m. Ini merupakan salah satu pertimbangan juga karena untuk
flash dengan kekuatan sama, angka GN m dan feet berbeda jauh. Selain itu,
umumnya GN ditulis untuk pemakaian film dengan ISO/ASA 100 dan sudut lebar
(35mm/24mm/20mm).
GN merupakan hasil kali antara jarak dengan bukaan (f/ stop atau aperture) pada
kondisi tertentu (ISO/ASA 100/35mm/m atau ISO/ASA 100/35mm/feet). Sebagai
contoh, jika kita ingin menggunakan flash untuk memotret seseorang yang berdiri
pada jarak 5m dari kita menggunakan lensa 35mm dan kita ingin menggunakan f/2.8
maka kita memerlukan flash ber-GN 14. Penghitungan yang biasa digunakan
biasanya justru mencari aperture tepat untuk blitz tertentu. Misalnya, dengan
blitz GN 28 maka untuk memotret obyek berjarak 5m tersebut kita akan
menggunakan f/5.6.
GN ini hanya merupakan suatu panduan bagi fotografer. Bukan harga mati. Yang
mempengaruhinya ada beberapa. Salah satunya adalah ISO/ASA yang digunakan.
Setiap peningkatan 1 stop pada ISO/ASA akan menyebabkan GN bertambah sebesar
sqrt(2) atau sekitar 1,4 kali (atau jarak terjauh dikali 1.4) dan peningkatan 2
stop pada ISO/ASA akan menyebabkan GN bertambah 2 kali (atau jarak terjauh
dikali 2).
Film SLRs vs. Prosumer Digital Camera vs. DSLRs
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kamera film dan kamera digital
berbeda. Di dalam kamera digital sendiri, ada perbedaan antara kamera poket
(dalam hal ini yang biasanya bisa menggunakan flash tambahan adalah
PDC/Prosumer Digital Camera)) dan Digital SLR (DSLR). Perbedaan pertama tentu
saja dalam hal perbandingan ukuran sensor/film dengan lensa. Karena sensor
kamera digital lebih kecil daripada film 35mm, maka kita akan terjebak pada
perbandingan panjang lensa yang berbeda. Untuk mendapatkan suatu sudut yang
sama misalnya 35mm, maka pada kamera dengan sensor 1/1.8” akan menggunakan
lensa sekitar 7.5mm, D100 akan menggunakan lensa 24mm dan 10D akan menggunakan
lensa 20mm. Inilah panjang lensa efektif untuk mulai perhitungan menggunakan GN
flash tersebut.
Kedua, zooming. Pada PDC, zooming akan menyebabkan perubahan f/stop menjadi
lebih lambat (angka besar) dan demikian juga dengan pemakaian zoom konsumer
pada SLR/DSLR. Sebagai contoh, kita mengenal lensa 35-70 f/3.3-f.5. Artinya, bukaan
terbesar pada 35mm adalah f/3.3 dan bukaan terbesar pada 70mm adalah f/4.5. Ini
tentunya akan berpengaruh pada obyek yang ingin difoto.
Penggunaan zoom pada kamera biasanya dibarengi dengan penggunaan zoom head pada
flash. Lensa tele/zoom akan mempersempit sudut cakupan lensa dan zoom head pada
flash akan mempersempit dispersi cahaya flash itu yang dengan kata lain
menambah intensitasnya sehingga bisa menjangkau lebih jauh. Zoom head pada
posisi tele dan lensa pada posisi wide akan menyebabkan ada bagian foto yang
tidak mendapat cahaya atau kita kenal dengan istilah vignet. Zoom head pada
posisi wide dan lensa pada posisi tele akan menyebabkan cahaya flash tidak bisa
menjangkau obyek yang jauh (after all, ini gunanya lensa tele kan? Untuk
memotret obyek yang jauh?). Selain itu ini juga yang akan terjadi jika lensa
35mm kita pasangkan pada DSLR kemudian kita melakukan penghitungan flash tetap
dengan menggunakan perhitungan untuk SLR biasa karena sudutnya sebenarnya sudah
setara 50mm atau lebih (tergantung faktor pengalinya). Sebenarnya tidak ada
masalah berarti yang muncul, tetapi kita ‘menghamburkan’ cahaya tersebut secara
sia-sia saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar