Matematika sebagai
salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya,
mempunyai peranan yang
penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Matematika sekolah yang
merupakan bagian dari matematika yang dipilih atas dasar kepentingan pengembangan
kemampuan dan kepribadian peserta didik serta perkembangan ilmu dan teknologi perlu dapat selalu sejalan dengan
tuntutan kepentingan peserta didik menghadapi kehidupan masa depan (Soedjadi, 2000:138).
Kualitas pendidikan
matematika di Indonesia pada saat ini masih merupakan salah satu bahan yang
menjadi perhatian para ahli pendidikan matematika sekolah. Salah satu faktor
penyebab rendahnya pendidikan matematika saat ini adalah model pembelajaran
yang dilaksanakan di kelas. Dalam pembelajaran konvensional, pendidik terlalu
mendominasi siswa. Dengan kata lain guru menjadi pusat seluruh kegiatan di
dalam kelas (teacher oriented). Hal ini dapat menghambat majunya dunia
pendidikan, karena guru yang lebih aktif dalam kegiatan belajr mengajar
sedangkan siswa terbatas pada mendengar, mencatat, dan mematuhi perintah guru. Dalam kondisi seperti ini
siswa bukan lagi dipandang sebagi subjek belajar melainkan objek pembelajaran.
Sehingga siswa menjadi kurang serius dalam memperhatikan materi pelajaran yang
disampaikan pengajar. Padahal, siswa seharusnya dituntut aktif mengembangkan
segala hasil olahan informasi yang diterima dalam pikirannya selama proses
pembelajaran.
Penggunaan metode dan
media yang tepat dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Keberhasilan dan kegagalan dalam belajar khususnya matematika sangat
bergantung pada proses pembelajaran matematika itu dilaksanakan. Oleh karena
itu guru matematika hendaknya dapat menerapkan model pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada sisiwa untuk berpartisipasi aktif, baik secara
fisik maupun mental dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
Salah satu bentuk
pengembangan pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan bagi siswa
untuk berpartisipasi aktif adalah pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme. Pembelajaran konstruktivisme ini memandang bahwa siswa
sendirilah yang aktif membangun pengetahuannya. Seperti yang dinyatakan oleh
Renick bahwa seseorang yang belajar itu membentuk pengertian-pengertian (dalam Suparno, 2001:11). Dalam hal
ini siswa tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan, melainkan menciptakan pengertian. Pengetahuan ataupun
pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif
dari guru mereka. Hal ini berarti bahwa peserta didiklah yang harus aktif berfikir,
merumuskan konsep dan mengambil makna. Sedangkan peran guru adalah membantu
proses konstruksi itu berjalan sehingga siswa dapat membentuk pengetahuannya.
Salah satu strategi pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan konstruktivisme
adalah penggunaan siklus belajar (Heron dalam dahar, 1991:164). Salah satu
teknik penggunaan siklus belajar ini adalah dengan teknik Empiris Induktif.
Pola pikir dalam
matematika sebagai ilmu adalah deduktif. Akan tetapi tidaklah demikian dalam
matematika sekolah. Meskipun siswa pada akhirnya tetap diharapkan mampu
berpikir deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika, khususnya
jenjang SD dan SLTP masih sangat diperlukan pola pikir induktif. Pola pikir induktif yang digunakan ini
bertujuan untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa
(Soedjadi, 2000:45).
Siklus belajar dengan
teknik Empiris Induktif terdiri dari tiga fase yaitu fase eksploitasi, fase
pengenalan konsep dan fase aplikasi konsep. Sedangkan penyampaian pesan
dilakukan secara induktif berdasarkan pengalaman atau pengamatan yang telah
dilakukan oleh siswa. Dalam fase eksploitasi siswa belajar melalui aksi dan
reaksi mereka dalam suatu situasi baru. Fase pengenalan konsep dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep
yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki. Selanjutnya siswa menggunakan
atau mengaplikasikan konsep tersebut untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut
untuk menyelesaikan masalah. Seperti yang dinyatakan oleh Lawson (dalam Dahar,
1991:164) bahwa dalam teknik Empiris Induktif siswa menemukan dan memeriksa
suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus. Selanjutnya mereka mengemukan
sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu.
Pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dengan penggunaan model
siklus belajar dengan teknik Empiris Induktif ini siswa dapat lebih memahami
konsep-konsep matematika dan penerapannya dalam menyelesaikan masalah sehingga
hasil evaluasi pelajaran matematika meningkat.
Di jenjang
Sekolah Dasar siswa sudah mengenal konsep luas dan keliling lingkaran. Akan tetapi pada umumnya luas dan keliling lingkaran yang mereka peroleh
bersifat hafalan, dengan kata lain guru langsung menunjukkan rumus keliling dan
luas lingkaran dan siswa langsung
menerapkannya dalam menyelesaikan soal. Padahal dalam
pembelajaran luas juring dan tembereng ini merupakan pengembangan dan perluasan dari pemahaman
mengenai keliling
dan luas lingkaran sebagai
dasarnya. Sehingga untuk memperdalam pengetahuan dan implementasi dari jenjang
pendidikan sebelumnya dari konsep luas dan keliling lingkaran yang mereka peroleh bersifat
hafalan tersebut untuk dipandang perlu memberikan kesempatan kepada
siswa untuk banyak melakukan eksperimen.
Harapan dari pola pikir induktif ini, siswa dapat menemukan rumus luas Luas juring dan
Tembereng secara empiris berdasarkan pengalaman dan
eksperimen yang dilakukannya. Melalui model Siklus Belajar dengan teknik Empiris Induktif, siswa diajak
secara aktif untuk membentuk sendiri konsep Luas juring dan Tembereng melalui
pengamatan secara langsung terhadap objek yang sedang dipelajari. Dengan
kegiatan ini siswa dirangsang supaya mampu melahirkan gagasan-gagasan mereka
dan membangun pengetahuan sesuai dengan konsep yang telah dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar