Kamis, 31 Januari 2013

KAJIAN TEORI PREFERENSI BERMUKIM



Kajian Teori Preferensi Bermukim

Preference mempunyai makna pilihan atau memilih. Istilah preferensi digunakan untuk mengganti kata preference dengan arti yang sama atau minat terhadap sesuatu. Preferensi merupakan suatu sifat atau keinginan untuk memilih. Preferensi penduduk terhadap fasilitas kota merupakan kecenderungan penduduk untuk memilih fasilitas kota. Perkembangan kota adalah suatu perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan, dan yang menjadi faktor penting dalam hal ini adalah penduduk. Hubungan antara preferensi penduduk dengan perkembangan kota dapat dikatakan mempunyai bentuk hubungan yang positif (berpengaruh langsung) ataupun hubungan negatif  (tidak berpengaruh secara langsung).
 (Sumber: Journal Planit, Tahun I No.2 Juli-Agustus 2001, hal:33-42)

Preferensi bermukim menurut Sinulingga (Kurniasih, 2005:14) adalah keinginan atau kecenderungan seseorang untuk bermukim atau tidak bermukim di suatu tempat yang dipengaruhi oleh variabel-variabel. Variabel yang digunakan untuk mengukurnya adalah sebagai berikut:
§         Pendapat tentang kondisi permukiman saat ini
§         Keindahan suatu permukiman
§         Kondisi permukiman yang dianggap ideal
§         Faktor-faktor pada lokasi permukiman saat ini yang dianggap menyenangkan
Sebenarnya, setiap migran atau penduduk kota memerlukan semua variabel di atas, tetapi ada kemungkinan para penduduk atau migran cenderung menyukai salah satu saja, karena dapat memenuhi kebutuhan akan variabel lainnya dari bagian lain dari kota. Faktor jarak dan kemudahan transportasi akan sangat mempengaruhi sehingga perlu dimasukkan dalam kajian. Hal tersebut dapat dicontohkan kepada seorang penduduk yang memilih tinggal di suatu kawasan kota yang permukimannya sudah baik, dekat dengan pusat kota, karena biaya yang relatif murah dibanding di pusat kota. Keadaan demikian masih ada kemungkinan baginya untuk bekerja di pusat kota, dengan tersedianya sarana transportasi yang sangat baik. Berbeda halnya dengan kawasan wilayah yang agak jauh dari pusat kota, kemungkinan seseorang akan memerlukan keempat faktor diatas untuk dapat bermukim di kawasan tersebut.
Pilihan tempat tinggal tidak hanya ditentukan oleh kondisi hunian tempat tinggal saja. Keadaan di lingkungan sekitar hunian juga besar pengaruhnya. Menurut Turner (1976), mereka yang berpendapatan tinggi yang telah mempertimbangkan lingkungan sekitar sebagai salah satu atribut penentu pilihan, sedangkan mereka yang berpendapatan rendah masih berusaha mencari jalan guna mendapatkan tempat bermukim. Walaupun prioritas kelompok berpendapatan rendah adalah mendapatkan tempat bermukim, namun faktor lokasi juga amat penting. Pertimbangan lokasi adalah kemudahan untuk mencapai tempat kerja dan menyatu dengan komunitas sekitar. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah kemudahan untuk berhubungan dengan tempat-tempat lain. Kemudahan hubungan dapat dilakukan dengan sarana angkutan dan dapat juga dengan hubungan telekomunikasi. Faktor lokasi lainnya yang juga mempengaruhi penilaian adalah kelengkapan sarananya. Lokasi yang tidak mempunyai sarana pendukung amat enyulitkan penduduk. Sarana tersebut melipui sarana kesehatan, sarana sosial, sarana ekonomi, sarana pendidikan atau sarana peribadatan. Jumlah dan kualitas sarana tersebut tidaklah selalu perlu sama pada setiap lokasi, semua tergantung pada kebutuhan masyarakatnya. Kualitas lokasi yang mempengaruhi penilaian antara lain kualitas lingkungan yang bersih, tidak becek, atau berdebu, serta aman, baik dari tinak krimnal maupun gangguan lain.
Manusia selalu dihadapkan pada pilihan untuk ssesuatu termasuk dalam memilih lokasi rumah sebagai tempat  tinggal. Menurut Amos Rapoport (1977:81) bahwa orang akan menyesuaikan dengan preferensi yang dimilikinya untuk memilih lingkungan hunian. Pemilihan hunian disesuaikan dengan preferensi lingkungan yang melibatkan pemahaman karakteristik orang dan lingkungannya. Pilihan yang ada, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, atau alasan ekonomi dan alsan lainnya ahanya diterapkan bila individu tersebut punya kesempatan memilih, jika tidak mempunyai kesempatan, maka timbullah masalah-masalah lingkungan. Ketika lingkungan yang diinginkan tidak dapat dipilih, kehidupan orang akan terpengaruhi dari cara mereka beradaptasi, mengurangi ketidakcocokan, dan melakukan aktivitas tertentu yang sangat sulit.
Amos Rapoport (1977:82) menyatakan bahwa:
Keputusan terhadap lokasi seringkali terkait dengan karakteristikhunian, status  , prestite, homogenitas sosial, penghijauan, topografi, dan pandangan, keamanan, sekolah yang baik, serta ide tentang kombinasi penggunaan dan penerapan karakter lingkungan dan hubungan sosial yang berkaitan erat dengan tingkatan dan status sosialnya.”
Pada masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, aspek non fisik dari sebuah permukiman seperti prestise, karakteristik sosial merupakan dasar preferensi bermukim yang apabila dikaitkan dengan Hirarchy of need Maslow rumah bukan lagi hanya sekedar pemenuhan kebutuhan pokok tetapi merupakan pemenuhan kebutuhan akan ekspresi diri. Rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk mengaktualisasikan diri.
Norman W. Heimstra dan Leslie H. Mc. Farlins dalam Kurniasih (2005), memberikan kriteria lokasi dimana seseorang akan merasa cocok tinggal pada suatu tempat sebagai berikut:
1.       Bahwa perumahan eksternal menjadi sebuah perluasan dari rumah seperti personal space, privacy, dan territoriality. Lokasi sekitar unit hunian dipandang sebagai suatu kesatuan dari rumah (sense of localism)
2.       Area perumahan menunjukkan kerangka perluasan dan bertautan dengan susunan ikatan sosial yang melayani sebagai sumber kepentingan untuk kenyamanan.
3.       Memperhatikan lima unsur kenyamanan lingkungan permukiman yaitu :
ü      Kepadatan lingkungan permukiman (neighborhood density)
ü      Akses ke fasilitas  (accessibility of facilities)
ü      Rumah penghuni (responsdent’s home)
ü      Kecocokan sosial (social compality)
ü      Tingkat pemeliharaan perumahan (neighborhood maintenance level)

Preferensi bermukim ikut terpengaruh oleh gaya hidup penghuni, dalam hal ini terdapat empat gaya hidup yaitu (E. Moore dalam a. Rapoport dalam Kurniasih, 2005):
1.      Consumtion oriented
Berhubungan dengan kenyamanan hidup yang diinginkan, umumnya memilih hunian pada pusat kota karena memiliki fasilitas lengkap.
2.      Social prestige oreinted
Berhubungan dengan pekerjaan dan kedudukanpenghuni alam masyarakat, umumnya memilih lokasi pada daerah pinggiran kota yang memiliki nilai gengsi.
3.      Family oriented
Terutama memilih lingkungan yang tepat bagi perkembangan dan pertumbuhan anak-anak, ukuran rumah dan halaman seluas mungkin serta fasilitas keluarga yang lainnya.
4.      Community oriented
Mengutamakan interaksi dengan pihak lain yang dianggap perlu, antara lain permukiman bagi jenis pekerjaan tertentu dan etnis tertentu.

John Turner (1968) mengemukakan teori mobilitas tempat tinggal dengan istilah residential mobility (Yunus, 2000:188). Teori ini dijabarkan dalam laporan yang merupakan hasil penelitian “housing priorities, settlement patterns, and urban development in modernizing ceuntries”. Ada beberapa dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal. Empat macam dimensi dalam pemahaman dinamika perubahan tempat tinggal pada suatu kota adalah :
1.      Dimensi lokasi, yang mengacu pada tempat-tempat tertentu suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal dalam kondisi dirinya. Kondisi diri ini ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupannya. Lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja (accesibility to employment). Perspektif ini sering di istilahkan sebagai “geographycal space”.
2.      Dimensi perumahan, dikaitkan dengan aspirasi perorangan/sekelompok orang terhadap macam tipe perumahan yang ada. Aspek pada dimensi ini lebih menekankan pada penguasaan “tenure”. Aspek penguasaan terkait erat dengan tingkat penghasilan. Mereka yang berpenghasilan rendah akan memilih menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memilikinya, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat pengahasilannya.
3.      Dimensi siklus kehidupan, membahas tentang tahap-tahap seseorang dalam menapak kehidupan mandirinya dalam arti semua kebutuhan hidupnya seratus persen ditopang oleh penghasilannya sendiri.
4.      Dimensi penghasilan, menekankan pembahasan pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh persatuan waktu. Dengan asumsi semakin lama seseorang menetap di suatu kota, makin mantap posisinya dalam pekerjaan, makin tinggi pula tingkat penghasilan yang diperolehnya persatuan waktu.
Dinamika dalam teori tersebut mengandung asas equilibrium (keseimbangan) dimana yang lebih kuat ekonominya akan memperoleh sesuatu yang lebih baik dalam hal “residential location”.
Berdasarkan Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya (1990:19-20), dalam kaitannya dengan pemilihan tempat  tinggal yang ideal, ada tiga pengelompokan umum yang dapat dilihat, yaitu:
1.       Keluarga yang mempunyai anak kecil, paling ideal untuk mendidik anak di rumah yang mempunyai halaman tempat bermain. Anak mengekspresikan kehadirannya melalui suara. Bila rumah tidak memliki dinding dan halaman yang dapat merekam kegaduhan orang tua akan cenderung membatasi kegiatan anak agar tidak mengganggu tatangga. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan mental anak.
2.       Orang dewasa tanpa anak, lebih sesuai tinggal di kawasan pusat kota, dekat dengan sesuai fasilits hiburan, pekerjaan, dan pelayanan sesuai kebutuhannya.
3.       Kelompok usia tua atau keluarga yang sudah membesarkan anak dan yang sudah tidak bekerja akan tinggal bersama anak, atau kembali ke daerah asal.
Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya, dalam Training for Human Resources Development in Urban Planning (1990:19-20), menyatakan bahwa:
Pola hidup umumnya dipengaruhi oleh budaya. Mayarakat dari ciri budaya yang sama cenderung mempunyai pola hidup yang sama, asalkan berasal dari strata sosial yang sama. Masyarakat yang memiliki pola hidup yang sama, cenderung mempunyai selera sama dalam memilih tempat tinggalnya.”
            Preferensi bermukim seringkali dipengaruhi oleh hal-hal di luar kondisi lingkungan permukiman yang akan dipilih. Menurut Tirtosudarmo dalam Raldi Hendro, dkk. (2001:99-100) dnyatakan bahwa:
Di Indonesia pentingnya hubungan keluarga mencerminkan pola budaya setempat. Studi kasus di Propinsi Jawa Timur menyatakan dalam kaitannya dengan migrasi mediasi tali keluarga, teman dan keluarga memberikan pengaruh dalam memfasilitasi dan mendorong para migran di kota dalam menentukan tempat tinggalnya.”
            Disamping pengaruh keluarga atau teman, pengarauh lain yang dapat mempengaruhi preferensi bermukim adalah iklan. Hal ini dinyatakan oleh Amos Rapoport (1977) bahwa:
Media massa dan periklanan seringkali menggunakan aspek lingkungan seperti vegetasi, lokasi, karakter perumahan atau tempat, atmosfer lingkungan, fasilitas rekreasi,atau status (orang yang hidup di sana) untuk menarik msyarakat tinggal di suatu tempat. Media massa dan periklanan dapat menghasilkan perbedaan prefernsi bermukim dari sesuatu yang perlu dinilai.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar