Kamis, 31 Januari 2013

KAJIAN TEORI TEMPAT TINGGAL PEKERJA INDUSTRI



Kajian Teori Tempat Tinggal Pekerja Industri

Pendapatan yang relatif minim menyebabkan para pekerja industri mencaaaari alternatif tempat tinggal yang dekat dengan lokasi tempat bekerja atau mencari lokasi yang paling mudah dicapai dari jalan utama yag dilalui kendaraan angkutan umum atau kendaraan angkutan perusahaan apabila perusahaan tersebut enyediakan kendaraan angkutan bagi para pekerjanya. Pada umumnya bagi pekerja industri yang menjadi prioritas utama dalam pemilihan huniannya lebih terletak pada aspek fungsinya sebagai tempat melakukan aktivitas hidup sehari-hari selain bekerja, sedangkan untuk aspek kenyamanan tidak begitu diperhatikan.
Dengan menggunakan pengertian pondokan dari Widyawati (Widyawati, 1991 : 6-7) maka dalam penelitianm ini yang dimaksud dengan pondokan adalah tempat tinggal sewa yang memiliki karakteristik bentuk bangunan yang nampak seadanya, ruang ang relatif kecil, terjadi pemanfaatan ruang yang seefisien mungkin, dan jumlah kamar-kamar pondokan terbatas.
Dilihat dari cara pengadaannya, maka pondokan merupakan tempat tinggal sewa dengan sistem penyediaan non-formal. Hal ini karena karakteristik pondok sesuai dengan karakteristik perumahan dnegan sistem pengadaan non-formal, yaitu:
§         Pada umumnya berupa perumahan yang setengah teratur dan tidak teratur
§         Pembangunnya adalah masyarakat pemilik rumah itu sendiri
§         Tidak menggunakan standar luasan kavling dan tidak terletak dalam satu kawasan perumahan. Bahkan pada bagian-bagian kota tertentu, terletak pada kawasan   yang peruntukan lahannya bukan untuk perumahan (misalnya zona industri atau bantaran sungai)
§         Tahapan pembangunannya tidak teratur, sesuai dengan dana perorangan yang dimiliki
§         Sumber dana umumnya berasal dari pemiliknya sendiri, dengan cara menabung dan pendapatannya atau meminjam kepada bank dengan jaminan sertifikat rumah (khusus golongan masyarakat berpendapatan menengah)
§         Karakteristik penghuninya adalah penduduk dari golongan masyarakat berpendapatan menengah dan rendah. Pda umumnya perumahan non-formal yang dihuni oleh golongan masyarakat berpendapatan rendah tumbuh menjadi tidak teratur, kumuh dan tidak sehat.

Penyediaan pondokan secara non-formal ini memiliki keunggulan  yang memperlihatkan beberapa gejala positif  (Salim, 1992 : 36) yaitu:
§         Meningkatkan atau menumbuhkan efek ganda lokal, karena masyarakat dapat turut menikmati pembangunan melalui kesempatan peningkatan pendapatan dan usaha penyediaan rumah pekerja industri
§         Terdapat kecenderugan terpenuhinya isu penting penyediaan rumah yaitu pembiayaan, pengembalian dana, keterjangkauan dan pengembangan
§         Pembangunan yang terjadi benar-benar bertumpu pada kebutuhan dan kondisi masyakat sendiri dengan memanfaatkan sumberdaya dan teknologi mereka sendiri.
Selain beberapa kelebihan, pembangunan perumahan non-formal juga memiliki beberapa kekurangan yakni terdapatnya dampak negatif yang berpotensi mendatangkan konflik perkotaan dan mempengaruhi dampak negatif yang berpotensi mendatangkan konflik perkotaan dan mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan fisik dan sosial secara langsung atau tidak.

1. Keterjangkauan (Affordability) dalam membayar Rumah

Dengan menggunakan pengertian keterjangkauan/affordibility dari Sutikno (Sutikno, 2005 : 15-16), bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, rumah tempat tinggal mereka dapat diperoleh dengan cara membangun sendiri secara ilegal (perumahan non-formal), membeli rumah (RS/RSS) dengan mengangsur setiap bulan, dan menyewa rumah/kamar kontrakan dengan membayar sewanya setiap bulan.  Kemampuan masyarakat dalam pembayaran angsuran atau sewa bulanan rumah berbesa-beda, tergantung pada besarnya penghasilan dan pengeluaran setip keluarga per bulan.
Peter D. Linneman dan Isaac F. Megbolugbe dalam Urban Studies yang disampaikan oleh Sutikno (Sutikno, 2005) menyebutkan bahwa housing affordibility belum memiliki definisi yang jelas (sangat ambigu). Berdaasarkan U.S. Department of Housing and Urban Development, housing affordibility diindikasikan sebagai presetase pendapatan yang dikeluarkan untuk membayar rumah. Suatu rumah dikatakan “affordable” jika biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar rumah tersebut tidak melebihi 30% dari pendapatan rumah tangga. Utuk mengukur affordibility ini, dihitung antara median (nilai tengah) harga rumah dengan median pendapatan. Affordibility tersebut dihitung untuk menentukan harga rumah maksimum yang dapat dijangkau, mengetahui mampu atau tidaknya si keluarga membeli rumah dan mempunyai rumah dengan tipe apa.
Menurut G. Shabbir Cheema (1987) dalam Sutikno (2005 : 17), kemampuan masyarakat untuk melakukan pembayaran angsuran ataupun sewa rumah ini dikatakan “affordability” jika jumlah setiap pendapatan dari suatu keluarga mampu (able) dan mau (will) untuk membayar fasilitas peruamhan, sehingga jumlah pembayaran tersebut dapat menutup biaya bulanan dan fasilitas perumahan yang diberikan. Affordability dapat dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
§         Pendapatan rumah tangga (household income), yang terdiri dari pendapatan reuler dan non reguler (kemungkinan adanya sumber pendapatan lain).
§         Pengeluaran bulanan rumah tangga, seperti untuk kebutuhan pokok dan transportasi.
§         Proporsi dari pendapatan bulanan yang mau mereka keluarkan untuk membayar rumah. Besarnya proporsi ini berkisar antara 20 – 25% dari pendapatan mereka, namun dalam prakteknya, range ini lebih besar, yakni antara 10 – 50% dari pendapatan, karena proporsi dari pendapatan yang mau mereka bayarkan untuk rumah tergantung pada berbagai faktor. Mereka yang ingin membeli rumah akan lebih mau untuk mengeluarkan presentase dan pendapatan yang lebih besar dibanding dengan mereka yang ingin menyewa rumah.
§         Pembayaran rumah baik angsuran ataupun sewa per bulan.
Perhitungan kemampuan membayar sewa (ability to pay) mereka dapat dihitung sebagai pendapatan rumah tangga sisa setelah dikurangi dengan pengeluaran bulanan rumah tangga (biaya hidup) non sewa, tabungan serta pajak (jika ada).
Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk pangan dan sandang merupakan porsi terbesar dibanding pengeluaran rumah tangga lainnya. Tabungan pada umumnya sulit diharapkan bagi perumahan, karena tabungan pada umumnya sulit diharapkan bagi perumahan, karena tabungan yang kecil lebih diarahkan untuk biaya lain-lain seperti pengobatan pada saat sakit (Tym Roger dalam Sutikno, 2005 : 17)

2. Pengadaan Tempat Tinggal Sewa

Terdapat empat aktor pembangunan perumahan yang saling berkaitan yang disampaikan Prof. Hasan Poerbo (Sutikno,  2005 : 16-17), antara lain:
  1. Pemerintah
  2. Swasta
  3. Komunitas, sebagai suatu kolektivitas yang dapat berkaitan denang ikatan lokasi atau kepentingan bersama yang perlu ditumbuhkan untuk mengikat individu sehingga memiliki kekuatan dalam berinteraksi dengan aktor-aktor lainnya.
  4. Individu
Sektor formal biasanya diwakili oleh aktor pembangunan pemerintah dan swasta, sedangkan perorangan dan komunitas sebagai sektor non-formal, walaupun terdapat kemungkinan aktor individu dan komunitas ini tidak selalu identik dengan sektor formal. Suparti Amir Salim (1992) dalam (Sutikno,  2005 : 17) menyimpulkan bahwa pengadaan perumahan formal dan non-formal masing-masing mempunyai kelebihan sendiri. Pengadaan perumahan formal umumnya akan menghasilkan lingkungan yang terencana dan teratur serta relatif lebih terkendali.
Pengadaan perumahan bagi pekerja industri perlu dilihat dalam kerangka kerterkaitan dimana aktornya, sebagaimana konsepsi Prof. Hasan Poerbo. Konsepsi tersebut adalah:
§         Pemerintah Pusat dan Daerah setempat sebagai penentu kebijaksanaan Pembangun Perumahan (developer)
§         Developer
§         Perusahaan industri
§         Masyarakat di kawasan padat industri
Seperti yang telah dinyatakan oleh Prof. Bambang Bintoro dalam makalahnya mengenai Kawasan Industri dan Pengembangan Wilayah, bahwa kawasan industri di Philipina menjadi penyebab meningkatnya nilai lahan dan rumah yang terutama  dikendalikan oleh real estate. Akibatnya pekerja industri menjadi korban, karena tidak dapat menjangkau harga sewa rumah atau harga yang terlalu tinggi. Kondisi ini yang telah mendorong tumbuhnya permukiman kumuh (Salim, 1992 dalam (Sutikno,  2005 : 17).
Untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahan-perusahaan untuk membangun perumahan bagi pegawai dan buruhnya sesuai dengan kemampuannya. Hal ini tertuang dalam undang-undang Pokok Perumahan No. 1/1964. sementara itu perusahan asing diwajibkan membangun perumahan untuk usahanya, pegawai, dan buruhnya. Tetapi pada kenyataannya belum semua perusahaan mampu mengadakan tempat tinggal bagi para pekerjanya. Kalaupun ada biasanya perusahaan membangun perumahan pegawai stafnya, sedangkan para buruhnya tetap menempati tempat tinggal sewa yang murah dan dibiayai sendiri. Pernyataan dalam UU yang masih fleksibel dimanfaatkan oleh pihak perusahaan yang mampu, untuk tidak menyediakan tempat tinggal bagi pekerjanya karena menganggap peraturan tersebut sebagai himbauan bukan kewajiban. Seharusnya, Pemerintah lebih menegaskan mengenai definisi dn kemampuan perusahaan, sehingga peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan benar.
Untuk mendorong investor agar turut terlibat dalam pengadaan tempat tinggal bagi pekerjanya maka diperlukan rangsangan-rangsangan dari Pemerintah agar mereka mau menyediakan tempat tinggal pekerjanya. Demikian pula halnya dengan pengusaha kawasan industri. Selama ini dalam ketentuan pengembangan kawasan industri hanya disebutkan bahwa pengelola kawasan industri harus menyediakan sarana penunjang industrinya sendiri, namun sarana penunjang industri ini belum secar tegas disebutkan jenisnya. Sarana penunjang industri asrama pekerja belum diwajibkan untuk dibangun di kawasan industri.
Menyediakan tempat tinggal sewa untuk golongan masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan bukan tugas ringan. Selain kurang pengalaman, pengembang dianggap bisnis tempat tinggal sewa yang sifatnya sosial kurang menguntungkan. Pemerintah dan Daerah tidak berada pada posisi mudah untuk menyediakan tempat tinggal sewa bagi golongan masyarakat ini, karena berbagai keterbatasan antara lain perencanaan, pelaksanaan, dan sistem administrasi yang kompleks dalam pembangunan tempat tinggal. Melihat kesulitan pengadaan tempat tinggal sewa oleh sektor formal, maka perumahan non-formal seperti pondokan lebih mampu berkembang (Komarudin, 1997 dalam Sutikno,  2005 : 18).
Tumbuh dan berkembangnya daerah perkampungan dan munculnya rumah-rumah sewa bagi para pekerja industri atau para pendatang lainnya yang diupayakan oleh masyarakat setempat, jeas memperlihatkan bahwa masyarakat sebenarnya lebih tanggap dan mampu berbuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhan akan perumahannya sendiri, baik bagi dirinya prbadi maupun untuk orang lain sesamanya. Potensi masyarakat ini selayaknya diperhitungkan agar dapat berkembang secara optimal, terlebih dalam kondisi dimana sumberdaya yang dikuasai oleh pemerintah sendiri terbatas. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan perumahan nasional, bahwa dalam pembangunan rumah yang diprioritaskan bagi masyarakat berpendapatan rendah potensi masyarakat perlu diperhitungkan (Kantor Menpera, 1987 dalam Salim 1992 dalam (Sutikno,  2005 : 18). Kebijakan tersebut mengatakan bahwa:
Pada dasarnya pembangunan perumahan dan permukiman, merupakan tanggung jawab masyarakat, sedangkan kewajiban pemerintah adalah pembinaan, pengaturan dan penyelenggaraan bimbingan serta pemberian berbagai fasilitas bantuan dan perangsang lainnya yang dapat mendorong terciptanmya iklim pembangunan yang lebih menggairahkan. Pembinaan ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat luas, sedangkan pemberian bantuan pembangunan maupun pembiayaan dari pemerintah diprioritaskan kepada masyarakat berpendapatan rendah
Byres (1984) dalam Razziati (1999:22), menyatakan bahwa transformasi adalah suatu perjalanan waktu yang didalamnya tercakup suatu masa peralihan. Transformasi pedesaan berasal dari pelaksanaan program penataan penguasaan tanah dan industrialisasi sampai terbentuknya susunan hubungan sosial ekonomi yag baru, apabila struktur baru telah terbentuk dan berjalan, maka dikatakan ‘transformasi telah berjalan’. Dengan demikian transformasi merupakan suatu proses perjalanan waktu yang didalmnya tercakup suatu peralihan masa peralihan.
Sedangkan Harris (1982) dalam Razziati (1999:22), memberikan arti transformasi struktural sebagai suatu proses perubahan susunan hubungan sosial ekonomi: ‘berubahnya masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat yang didalamnya sistem produksi pertanian telah terintegrasi ke dalam sistem ekonomi secara keseluruhan’. Dengan demikian masyarakat lebih produktif dan tingkat kehidupannya menjadi lebih baik. Transformasi sosial dapat dilihat dari penekanan saling berhubungan antara faktor-faktor ekologis, teknologis, dan demografi dalam suatu sistem usahatani di satu sisi, seadngkan disisi lain dapat diamati respon masyarakat terhadap faktor-faktor diatas.
Buasor (1990) dalam Razziati (1999:25), menyatakan bahwa salah satu prasyarat (necessary condition) untuk mencapai transformasi struktural ekonomi dari pertanian (industri primer) ke arah industri sekunder (manufaktur), yaitu adanya keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri.
Menurut Husken and White (1989) dalam Razziati (1999:25), menyatakan bahwa kegiatan nonfarm masih bersifat sederhana dan sementara, dengan tujuan sebagai salah satu strategi dalam kelangsungan hidup rumahtangga (household survival strategy). Sedangkan menurut Ginting dalam Razziati (1999:25), hal tersebut diatas dapat diliha dari keterlibatan mereka dengan aktivitas pertanian, terutama bagi petani yang mempunyai pekerjaan sampingan. Namun kegiatan tersebut dapat memberi peluang usaha dan merangsang kebutuhan ekonomi, sertamenahan tenaga kerja untuk tetap tinggal di pedesaan, sehingga mereka dapat berperan sebagai tenaga penggerak pembangunan di pedesaan.
Maka dari itu, berdasarkan Razziati (1999:26), karena kegiatan nonfarm (diluar pertanian dapat dipakai sebagai suatu strategi kelangsungan hidup di Desa Cangkringmalang maka unsur-unsur yang berkaitan dengan usaha baru tersebut manjadi hal penting untuk mengamati perkembangan hunian di Desa Cangkringmalang. Usaha baru ini terutama yang berkaitan dengan usaha penampungan tempat tinggal yaitu tempat pemondokan bagi para pekerja pabrik yang datang ke desa tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar