Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe)
Akibat yang
ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran
fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan
fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl).
Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi
spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi sosial ekonomi
sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses
densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan
realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan. Daerah
pinggiran kota (urban fringe) sebagai
suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan
kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti
geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930 an saat pertama kali istilah
urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama
tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota
ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata
guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi
(Subroto, dkk, 1997).
Salah satu isu yang
perlu mendapat perhatian adalah menyangkut fenomena daerah pinggiran kota dan
proses perubahan spasial dan sosial ekonomi di daerah ini. Daerah pinggiran
kota (urban fringe) didefinisikan
sebagai daerah pinggiran kota yang berada dalam proses transisi dari daerah
perdesaan menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, daerah ini berada dalam
tekanan kegiatan-kegiatan perkotaan yang meningkat yang berdampak pada
perubahan fisikal termasuk konversi lahan pertanian dan non pertanian dengan
berbagai dampaknya.
Menurut Howard pada
akhir abad ke 19, diantara daerah perkotaan, daerah perdesaan, dan daerah
pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota memberikan peluang paling besar
untuk usaha-usaha produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk bertempat
tinggal. Manusia sebagai penghuni daerah pinggiran kota selalu mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi dan aktivitas ini mencerminkan dan
juga mengakibatkan adanya perubahan sosial, ekonomi, kultural, dan lain-lain
(Daldjoeni, 1987).
Perluasan kota dan
masuknya penduduk kota ke daerah pinggiran telah banyak mengubah tata guna
lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota. Banyak
daerah hijau yang telah berubah menjadi permukiman dan bangunan lainnya
(Bintarto, 1983). Hal ini menyebabkan terjadinya proses densifikasi permukiman
di daerah pinggiran kota.
Pakar lain yaitu
Hammond (dalam Daldjoeni, 1987) mengemukakan beberapa alasan tumbuhnya daerah
pinggiran kota diantaranya :
§
Adanya peningkatan pelayanan
transportasi kota, memudahkan orang bertempat tinggal pada jarak yang jauh dari
tempat tinggalnya.
§
Berpindahnya sebagian penduduk
dari bagian pusat kota ke bagian tepi-tepinya, dan masuknya penduduk baru yang
berasal dari perdesaan.
§
Meningkatnya taraf kehidupan
masyarakat.
Turner dalam teori
mobilitas tempat tinggal mengemukakan adanya tiga stratum sosial yang berkaitan
dengan lama bertempat tinggal di perkotaan yang menentukan pilihan bertempat
tinggal yakni : (1)golongan yang baru datang di kota (bridgeheaders), (2)golongan yang sudah agak lama tinggal di daerah
perkotaan (consolidators), dan
(3)golongan yang sudah lama tinggal di daerah perkotaan (status seekers). Kecenderungan penduduk di
daerah pinggiran kota adalah consolodators. Dengan status consolidators ini
mereka memiliki tingkat kehidupan yang sudah agak mapan status sosial
ekonominya, sehingga kondisi tingkat pendidikan dan pendapatannya juga sudah
cukup baik (Turner dalam Yunus, 2000).
Salah satu tanda
terjadinya pemekaran kota di daerah pinggiran kota adalah adanya gejala filtering up yaitu pergantian
pemukim-pemukim lama dengan pemukim-pemukim baru yang kondisi ekonominya lebih
baik (Yunus, 1987). Dengan kondisi ekonomi yang lebih baik ini para pemukim di
daerah pinggiran kota cenderung mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik
pula.
Salah suatu teori yang
menjelaskan gejala perkembangan kota yaitu teori kekuatan dinamis yang
dikemukakan oleh Colby pada tahun 1959. Salah satu hal yang mendasari teori ini
adalah karena adanya persepsi terhadap lingkungan dari penduduk yang
berbeda-beda maka timbullah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan pergerakan
penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di luar kota
atau daerah pinggiran kota.
Secara garis besar
kekuatan tersebut terdiri dari empat macam yaitu kekuatan sentripetal, kekuatan
sentrifugal, kekuatan lateral, dan kekuatan in-situ.
Kekuatan-kekuatan inilah yang mengakibatkan terjadinya densifikasi permukiman
di daerah pinggiran kota. Kekuatan sentrifugal yaitu kekuatan-kekuatan yang
menyebabkan berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan dari bagian dalam
ke arah luar dari pada suatu kota. Kekuatan sentripetal yakni kekuatan-kekuatan
yang menyebabkan berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan dari bagian
luar ke arah bagian dalam daripada suatu kota. Kekuatan lateral yakni
kekuatan-kekuatan yang menyebabkan berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi
kekotaan dari satu tempat ke tempat lain pada suatu zone yang berjarak sama
terhadap pusat kota. Kekuatan in-situ
dapat terjadi karena adanya perubahan struktur keluarga misal dari keluarga
batih menjadi keluarga inti (Colby, 1959).
Sumber: www.
elisa.ugm.ac.id/files/Sri_Rum/qi78k4hL/Urban%20Sprawl.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar