Kajian Teori Preferensi Bermukim
Preference mempunyai makna pilihan atau memilih. Istilah preferensi digunakan untuk
mengganti kata preference dengan arti
yang sama atau minat terhadap sesuatu. Preferensi merupakan suatu sifat atau
keinginan untuk memilih. Preferensi penduduk terhadap fasilitas kota merupakan
kecenderungan penduduk untuk memilih fasilitas kota. Perkembangan kota adalah
suatu perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan, dan yang menjadi faktor
penting dalam hal ini adalah penduduk. Hubungan antara preferensi penduduk
dengan perkembangan kota dapat dikatakan mempunyai bentuk hubungan yang positif
(berpengaruh langsung) ataupun hubungan negatif
(tidak berpengaruh secara langsung).
(Sumber:
Journal Planit, Tahun I No.2 Juli-Agustus 2001, hal:33-42)
Preferensi bermukim
menurut Sinulingga
(Kurniasih, 2005:14) adalah keinginan atau kecenderungan seseorang untuk
bermukim atau tidak bermukim di suatu tempat yang dipengaruhi oleh
variabel-variabel. Variabel yang digunakan untuk mengukurnya adalah sebagai
berikut:
§
Pendapat tentang kondisi
permukiman saat ini
§
Keindahan suatu permukiman
§
Kondisi permukiman yang dianggap
ideal
§
Faktor-faktor pada lokasi
permukiman saat ini yang dianggap menyenangkan
Sebenarnya, setiap
migran atau penduduk kota memerlukan semua variabel di atas, tetapi ada
kemungkinan para penduduk atau migran cenderung menyukai salah satu saja,
karena dapat memenuhi kebutuhan akan variabel lainnya dari bagian lain dari
kota. Faktor jarak dan kemudahan transportasi akan sangat mempengaruhi sehingga
perlu dimasukkan dalam kajian. Hal tersebut dapat dicontohkan kepada seorang
penduduk yang memilih tinggal di suatu kawasan kota yang permukimannya sudah
baik, dekat dengan pusat kota, karena biaya yang relatif murah dibanding di
pusat kota. Keadaan demikian masih ada kemungkinan baginya untuk bekerja di
pusat kota, dengan tersedianya sarana transportasi yang sangat baik. Berbeda
halnya dengan kawasan wilayah yang agak jauh dari pusat kota, kemungkinan
seseorang akan memerlukan keempat faktor diatas untuk dapat bermukim di kawasan
tersebut.
Pilihan tempat tinggal tidak hanya ditentukan
oleh kondisi hunian tempat tinggal saja. Keadaan di lingkungan sekitar hunian
juga besar pengaruhnya. Menurut Turner (1976), mereka yang berpendapatan tinggi
yang telah mempertimbangkan lingkungan sekitar sebagai salah satu atribut
penentu pilihan, sedangkan mereka yang berpendapatan rendah masih berusaha
mencari jalan guna mendapatkan tempat bermukim. Walaupun prioritas kelompok
berpendapatan rendah adalah mendapatkan tempat bermukim, namun faktor lokasi
juga amat penting. Pertimbangan lokasi adalah kemudahan untuk mencapai tempat
kerja dan menyatu dengan komunitas sekitar. Selain itu, pertimbangan lainnya
adalah kemudahan untuk berhubungan dengan tempat-tempat lain. Kemudahan
hubungan dapat dilakukan dengan sarana angkutan dan dapat juga dengan hubungan
telekomunikasi. Faktor lokasi lainnya yang juga mempengaruhi penilaian adalah
kelengkapan sarananya. Lokasi yang tidak mempunyai sarana pendukung amat
enyulitkan penduduk. Sarana tersebut melipui sarana kesehatan, sarana sosial,
sarana ekonomi, sarana pendidikan atau sarana peribadatan. Jumlah dan kualitas
sarana tersebut tidaklah selalu perlu sama pada setiap lokasi, semua tergantung
pada kebutuhan masyarakatnya. Kualitas lokasi yang mempengaruhi penilaian
antara lain kualitas lingkungan yang bersih, tidak becek, atau berdebu, serta
aman, baik dari tinak krimnal maupun gangguan lain.
Manusia selalu dihadapkan pada pilihan untuk
ssesuatu termasuk dalam memilih lokasi rumah sebagai tempat tinggal. Menurut Amos Rapoport (1977:81)
bahwa orang akan menyesuaikan dengan preferensi yang dimilikinya untuk memilih
lingkungan hunian. Pemilihan hunian disesuaikan dengan preferensi lingkungan
yang melibatkan pemahaman karakteristik orang dan lingkungannya. Pilihan yang
ada, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, atau alasan ekonomi dan
alsan lainnya ahanya diterapkan bila individu tersebut punya kesempatan
memilih, jika tidak mempunyai kesempatan, maka timbullah masalah-masalah
lingkungan. Ketika lingkungan yang diinginkan tidak dapat dipilih, kehidupan
orang akan terpengaruhi dari cara mereka beradaptasi, mengurangi
ketidakcocokan, dan melakukan aktivitas tertentu yang sangat sulit.
Amos Rapoport (1977:82) menyatakan bahwa:
“Keputusan terhadap lokasi seringkali terkait dengan karakteristikhunian,
status , prestite, homogenitas sosial,
penghijauan, topografi, dan pandangan, keamanan, sekolah yang baik, serta ide
tentang kombinasi penggunaan dan penerapan karakter lingkungan dan hubungan
sosial yang berkaitan erat dengan tingkatan dan status sosialnya.”
Pada masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas, aspek non fisik dari sebuah permukiman seperti
prestise, karakteristik sosial
merupakan dasar preferensi bermukim yang apabila dikaitkan dengan Hirarchy of need Maslow rumah bukan lagi
hanya sekedar pemenuhan kebutuhan pokok tetapi merupakan pemenuhan kebutuhan
akan ekspresi diri. Rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi
tempat untuk mengaktualisasikan diri.
Norman W. Heimstra
dan Leslie H. Mc. Farlins dalam Kurniasih (2005), memberikan kriteria lokasi
dimana seseorang akan merasa cocok tinggal pada suatu tempat sebagai berikut:
1.
Bahwa perumahan eksternal menjadi
sebuah perluasan dari rumah seperti personal space, privacy, dan territoriality. Lokasi sekitar unit hunian
dipandang sebagai suatu kesatuan dari rumah (sense of localism)
2.
Area perumahan menunjukkan
kerangka perluasan dan bertautan dengan susunan ikatan sosial yang melayani
sebagai sumber kepentingan untuk kenyamanan.
3.
Memperhatikan lima unsur
kenyamanan lingkungan permukiman yaitu :
ü
Kepadatan lingkungan permukiman
(neighborhood density)
ü
Akses ke fasilitas (accessibility of facilities)
ü
Rumah penghuni (responsdent’s
home)
ü
Kecocokan sosial (social
compality)
ü
Tingkat pemeliharaan perumahan
(neighborhood maintenance level)
Preferensi bermukim
ikut terpengaruh oleh gaya hidup penghuni, dalam hal ini terdapat empat gaya
hidup yaitu (E. Moore dalam a. Rapoport dalam Kurniasih, 2005):
1.
Consumtion oriented
Berhubungan dengan kenyamanan hidup yang
diinginkan, umumnya memilih hunian pada pusat kota karena memiliki fasilitas
lengkap.
2.
Social prestige oreinted
Berhubungan dengan pekerjaan dan
kedudukanpenghuni alam masyarakat, umumnya memilih lokasi pada daerah pinggiran
kota yang memiliki nilai gengsi.
3.
Family oriented
Terutama
memilih lingkungan yang tepat bagi perkembangan dan pertumbuhan anak-anak,
ukuran rumah dan halaman seluas mungkin serta fasilitas keluarga yang lainnya.
4.
Community oriented
Mengutamakan
interaksi dengan pihak lain yang dianggap perlu, antara lain permukiman bagi jenis pekerjaan tertentu dan etnis
tertentu.
John Turner (1968)
mengemukakan teori mobilitas tempat tinggal dengan istilah residential mobility (Yunus, 2000:188). Teori ini dijabarkan dalam
laporan yang merupakan hasil penelitian “housing
priorities, settlement patterns, and urban development in modernizing ceuntries”.
Ada beberapa dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal.
Empat macam dimensi dalam pemahaman dinamika perubahan tempat tinggal pada
suatu kota adalah :
1.
Dimensi lokasi, yang mengacu pada
tempat-tempat tertentu suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat
tinggal dalam kondisi dirinya. Kondisi diri ini ditekankan pada penghasilan dan
siklus kehidupannya. Lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak
terhadap tempat kerja (accesibility to
employment). Perspektif ini sering di istilahkan sebagai “geographycal space”.
2.
Dimensi perumahan, dikaitkan
dengan aspirasi perorangan/sekelompok orang terhadap macam tipe perumahan yang
ada. Aspek pada dimensi ini lebih menekankan pada penguasaan “tenure”. Aspek penguasaan terkait erat
dengan tingkat penghasilan. Mereka yang berpenghasilan rendah akan memilih
menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memilikinya, karena
kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat pengahasilannya.
3.
Dimensi siklus kehidupan, membahas
tentang tahap-tahap seseorang dalam menapak kehidupan mandirinya dalam arti
semua kebutuhan hidupnya seratus persen ditopang oleh penghasilannya sendiri.
4.
Dimensi penghasilan, menekankan
pembahasan pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh persatuan waktu.
Dengan asumsi semakin lama seseorang menetap di suatu kota, makin mantap
posisinya dalam pekerjaan, makin tinggi pula tingkat penghasilan yang
diperolehnya persatuan waktu.
Dinamika dalam teori tersebut mengandung asas equilibrium (keseimbangan) dimana yang
lebih kuat ekonominya akan memperoleh
sesuatu yang lebih baik dalam hal “residential
location”.
Berdasarkan Direktorat Tata Kota dan Tata
Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya (1990:19-20), dalam kaitannya dengan
pemilihan tempat tinggal yang ideal, ada
tiga pengelompokan umum yang dapat dilihat, yaitu:
1.
Keluarga yang mempunyai anak
kecil, paling ideal untuk mendidik anak di rumah yang mempunyai halaman tempat
bermain. Anak mengekspresikan kehadirannya melalui suara. Bila rumah tidak
memliki dinding dan halaman yang dapat merekam kegaduhan orang tua akan
cenderung membatasi kegiatan anak agar tidak mengganggu tatangga. Hal ini dapat
mempengaruhi perkembangan mental anak.
2.
Orang dewasa tanpa anak, lebih
sesuai tinggal di kawasan pusat kota, dekat dengan sesuai fasilits hiburan,
pekerjaan, dan pelayanan sesuai kebutuhannya.
3.
Kelompok usia tua atau keluarga
yang sudah membesarkan anak dan yang sudah tidak bekerja akan tinggal bersama
anak, atau kembali ke daerah asal.
Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat
Jenderal Cipta Karya, dalam Training for
Human Resources Development in Urban Planning (1990:19-20), menyatakan
bahwa:
“Pola hidup umumnya dipengaruhi oleh budaya. Mayarakat dari ciri budaya
yang sama cenderung mempunyai pola hidup yang sama, asalkan berasal dari strata
sosial yang sama. Masyarakat yang memiliki pola hidup yang sama, cenderung
mempunyai selera sama dalam memilih tempat tinggalnya.”
Preferensi bermukim seringkali dipengaruhi oleh hal-hal
di luar kondisi lingkungan permukiman yang akan dipilih. Menurut Tirtosudarmo
dalam Raldi Hendro, dkk. (2001:99-100) dnyatakan bahwa:
“Di Indonesia pentingnya hubungan keluarga mencerminkan pola budaya
setempat. Studi kasus di Propinsi Jawa Timur menyatakan dalam kaitannya dengan
migrasi mediasi tali keluarga, teman dan keluarga memberikan pengaruh dalam
memfasilitasi dan mendorong para migran di kota dalam menentukan tempat
tinggalnya.”
Disamping pengaruh keluarga atau teman, pengarauh lain
yang dapat mempengaruhi preferensi bermukim adalah iklan. Hal ini dinyatakan
oleh Amos Rapoport (1977) bahwa:
“Media massa dan periklanan seringkali menggunakan aspek lingkungan
seperti vegetasi, lokasi, karakter perumahan atau tempat, atmosfer lingkungan,
fasilitas rekreasi,atau status (orang yang hidup di sana) untuk menarik
msyarakat tinggal di suatu tempat. Media massa dan periklanan dapat
menghasilkan perbedaan prefernsi bermukim dari sesuatu yang perlu dinilai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar