Kajian Teori Tempat Tinggal Pekerja Industri
Pendapatan yang
relatif minim menyebabkan para pekerja industri mencaaaari alternatif tempat
tinggal yang dekat dengan lokasi tempat bekerja atau mencari lokasi yang paling
mudah dicapai dari jalan utama yag dilalui kendaraan angkutan umum atau
kendaraan angkutan perusahaan apabila perusahaan tersebut enyediakan kendaraan
angkutan bagi para pekerjanya. Pada umumnya bagi pekerja industri yang menjadi
prioritas utama dalam pemilihan huniannya lebih terletak pada aspek fungsinya
sebagai tempat melakukan aktivitas hidup sehari-hari selain bekerja, sedangkan
untuk aspek kenyamanan tidak begitu diperhatikan.
Dengan menggunakan
pengertian pondokan dari Widyawati (Widyawati, 1991 : 6-7) maka dalam penelitianm
ini yang dimaksud dengan pondokan adalah tempat tinggal sewa yang memiliki
karakteristik bentuk bangunan yang nampak seadanya, ruang ang relatif kecil,
terjadi pemanfaatan ruang yang seefisien mungkin, dan jumlah kamar-kamar
pondokan terbatas.
Dilihat dari cara
pengadaannya, maka pondokan merupakan tempat tinggal sewa dengan sistem
penyediaan non-formal. Hal ini karena karakteristik pondok sesuai dengan
karakteristik perumahan dnegan sistem pengadaan non-formal, yaitu:
§
Pada umumnya berupa perumahan yang
setengah teratur dan tidak teratur
§
Pembangunnya adalah masyarakat
pemilik rumah itu sendiri
§
Tidak menggunakan standar luasan
kavling dan tidak terletak dalam satu kawasan perumahan. Bahkan pada
bagian-bagian kota tertentu, terletak pada kawasan yang peruntukan lahannya bukan untuk
perumahan (misalnya zona industri atau bantaran sungai)
§
Tahapan pembangunannya tidak
teratur, sesuai dengan dana perorangan yang dimiliki
§
Sumber dana umumnya berasal dari
pemiliknya sendiri, dengan cara menabung dan pendapatannya atau meminjam kepada
bank dengan jaminan sertifikat rumah (khusus golongan masyarakat berpendapatan
menengah)
§
Karakteristik penghuninya adalah
penduduk dari golongan masyarakat berpendapatan menengah dan rendah. Pda
umumnya perumahan non-formal yang dihuni oleh golongan masyarakat berpendapatan
rendah tumbuh menjadi tidak teratur, kumuh dan tidak sehat.
Penyediaan pondokan
secara non-formal ini memiliki keunggulan
yang memperlihatkan beberapa gejala positif (Salim, 1992 : 36) yaitu:
§
Meningkatkan atau menumbuhkan efek
ganda lokal, karena masyarakat dapat turut menikmati pembangunan melalui
kesempatan peningkatan pendapatan dan usaha penyediaan rumah pekerja industri
§
Terdapat kecenderugan terpenuhinya
isu penting penyediaan rumah yaitu pembiayaan, pengembalian dana,
keterjangkauan dan pengembangan
§
Pembangunan yang terjadi
benar-benar bertumpu pada kebutuhan dan kondisi masyakat sendiri dengan
memanfaatkan sumberdaya dan teknologi mereka sendiri.
Selain beberapa
kelebihan, pembangunan perumahan non-formal juga memiliki beberapa kekurangan
yakni terdapatnya dampak negatif yang berpotensi mendatangkan konflik perkotaan
dan mempengaruhi dampak negatif yang berpotensi mendatangkan konflik perkotaan
dan mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan fisik dan sosial secara langsung
atau tidak.
1. Keterjangkauan (Affordability) dalam membayar Rumah
Dengan menggunakan pengertian keterjangkauan/affordibility dari Sutikno (Sutikno,
2005 : 15-16), bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, rumah tempat
tinggal mereka dapat diperoleh dengan cara membangun sendiri secara ilegal
(perumahan non-formal), membeli rumah (RS/RSS) dengan mengangsur setiap bulan,
dan menyewa rumah/kamar kontrakan dengan membayar sewanya setiap bulan. Kemampuan masyarakat dalam pembayaran angsuran
atau sewa bulanan rumah berbesa-beda, tergantung pada besarnya penghasilan dan
pengeluaran setip keluarga per bulan.
Peter D. Linneman dan Isaac F. Megbolugbe dalam
Urban Studies yang disampaikan oleh
Sutikno (Sutikno, 2005) menyebutkan bahwa housing
affordibility belum memiliki definisi yang jelas (sangat ambigu).
Berdaasarkan U.S. Department of Housing and Urban Development, housing affordibility diindikasikan sebagai
presetase pendapatan yang dikeluarkan untuk membayar rumah. Suatu rumah dikatakan
“affordable” jika biaya yang harus
dikeluarkan untuk membayar rumah tersebut tidak melebihi 30% dari pendapatan
rumah tangga. Utuk mengukur affordibility
ini, dihitung antara median (nilai tengah) harga rumah dengan median pendapatan.
Affordibility tersebut dihitung untuk
menentukan harga rumah maksimum yang dapat dijangkau, mengetahui mampu atau
tidaknya si keluarga membeli rumah dan mempunyai rumah dengan tipe apa.
Menurut G. Shabbir Cheema (1987) dalam Sutikno
(2005 : 17), kemampuan masyarakat untuk melakukan pembayaran angsuran ataupun
sewa rumah ini dikatakan “affordability”
jika jumlah setiap pendapatan dari suatu keluarga mampu (able) dan mau (will)
untuk membayar fasilitas peruamhan, sehingga jumlah pembayaran tersebut dapat
menutup biaya bulanan dan fasilitas perumahan yang diberikan. Affordability dapat dihitung dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
§
Pendapatan rumah tangga (household income), yang terdiri dari
pendapatan reuler dan non reguler (kemungkinan adanya sumber pendapatan lain).
§
Pengeluaran bulanan rumah tangga,
seperti untuk kebutuhan pokok dan transportasi.
§
Proporsi dari pendapatan bulanan
yang mau mereka keluarkan untuk membayar rumah. Besarnya proporsi ini berkisar
antara 20 – 25% dari pendapatan mereka, namun dalam prakteknya, range ini lebih besar, yakni antara 10 –
50% dari pendapatan, karena proporsi dari pendapatan yang mau mereka bayarkan
untuk rumah tergantung pada berbagai faktor. Mereka yang ingin membeli rumah
akan lebih mau untuk mengeluarkan presentase dan pendapatan yang lebih besar
dibanding dengan mereka yang ingin menyewa rumah.
§
Pembayaran rumah baik angsuran
ataupun sewa per bulan.
Perhitungan kemampuan membayar sewa (ability to pay) mereka dapat dihitung
sebagai pendapatan rumah tangga sisa setelah dikurangi dengan pengeluaran
bulanan rumah tangga (biaya hidup) non sewa, tabungan serta pajak (jika ada).
Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
pengeluaran untuk pangan dan sandang merupakan porsi terbesar dibanding
pengeluaran rumah tangga lainnya. Tabungan pada umumnya sulit diharapkan bagi
perumahan, karena tabungan pada umumnya sulit diharapkan bagi perumahan, karena
tabungan yang kecil lebih diarahkan untuk biaya lain-lain seperti pengobatan
pada saat sakit (Tym Roger dalam Sutikno, 2005 : 17)
2. Pengadaan Tempat Tinggal Sewa
Terdapat empat aktor pembangunan perumahan yang
saling berkaitan yang disampaikan Prof. Hasan Poerbo (Sutikno, 2005 : 16-17), antara lain:
- Pemerintah
- Swasta
- Komunitas, sebagai suatu kolektivitas yang dapat berkaitan denang ikatan lokasi atau kepentingan bersama yang perlu ditumbuhkan untuk mengikat individu sehingga memiliki kekuatan dalam berinteraksi dengan aktor-aktor lainnya.
- Individu
Sektor formal biasanya diwakili oleh aktor
pembangunan pemerintah dan swasta, sedangkan perorangan dan komunitas sebagai
sektor non-formal, walaupun terdapat kemungkinan aktor individu dan komunitas
ini tidak selalu identik dengan sektor formal. Suparti Amir Salim (1992) dalam
(Sutikno, 2005 : 17) menyimpulkan bahwa
pengadaan perumahan formal dan non-formal masing-masing mempunyai kelebihan
sendiri. Pengadaan perumahan formal umumnya akan menghasilkan lingkungan yang
terencana dan teratur serta relatif lebih terkendali.
Pengadaan perumahan bagi pekerja industri perlu
dilihat dalam kerangka kerterkaitan dimana aktornya, sebagaimana konsepsi Prof.
Hasan Poerbo. Konsepsi tersebut adalah:
§
Pemerintah Pusat dan Daerah setempat
sebagai penentu kebijaksanaan Pembangun Perumahan (developer)
§
Developer
§
Perusahaan industri
§
Masyarakat di kawasan padat industri
Seperti yang telah dinyatakan oleh Prof.
Bambang Bintoro dalam makalahnya mengenai Kawasan Industri dan Pengembangan
Wilayah, bahwa kawasan industri di Philipina menjadi penyebab meningkatnya
nilai lahan dan rumah yang terutama
dikendalikan oleh real estate. Akibatnya pekerja industri menjadi
korban, karena tidak dapat menjangkau harga sewa rumah atau harga yang terlalu
tinggi. Kondisi ini yang telah mendorong tumbuhnya permukiman kumuh (Salim,
1992 dalam (Sutikno, 2005 : 17).
Untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahan-perusahaan untuk
membangun perumahan bagi pegawai dan buruhnya sesuai dengan kemampuannya. Hal
ini tertuang dalam undang-undang Pokok Perumahan No. 1/1964. sementara itu perusahan
asing diwajibkan membangun perumahan untuk usahanya, pegawai, dan buruhnya.
Tetapi pada kenyataannya belum semua perusahaan mampu mengadakan tempat tinggal
bagi para pekerjanya. Kalaupun ada biasanya perusahaan membangun perumahan
pegawai stafnya, sedangkan para buruhnya tetap menempati tempat tinggal sewa
yang murah dan dibiayai sendiri. Pernyataan dalam UU yang masih fleksibel
dimanfaatkan oleh pihak perusahaan yang mampu, untuk tidak menyediakan tempat
tinggal bagi pekerjanya karena menganggap peraturan tersebut sebagai himbauan
bukan kewajiban. Seharusnya, Pemerintah lebih menegaskan mengenai definisi dn
kemampuan perusahaan, sehingga peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan
benar.
Untuk mendorong investor agar turut terlibat
dalam pengadaan tempat tinggal bagi pekerjanya maka diperlukan
rangsangan-rangsangan dari Pemerintah agar mereka mau menyediakan tempat
tinggal pekerjanya. Demikian pula halnya dengan pengusaha kawasan industri.
Selama ini dalam ketentuan pengembangan kawasan industri hanya disebutkan bahwa
pengelola kawasan industri harus menyediakan sarana penunjang industrinya
sendiri, namun sarana penunjang industri ini belum secar tegas disebutkan
jenisnya. Sarana penunjang industri asrama pekerja belum diwajibkan untuk
dibangun di kawasan industri.
Menyediakan tempat tinggal sewa untuk golongan
masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan bukan tugas ringan. Selain kurang
pengalaman, pengembang dianggap bisnis tempat tinggal sewa yang sifatnya sosial
kurang menguntungkan. Pemerintah dan Daerah tidak berada pada posisi mudah
untuk menyediakan tempat tinggal sewa bagi golongan masyarakat ini, karena
berbagai keterbatasan antara lain perencanaan, pelaksanaan, dan sistem
administrasi yang kompleks dalam pembangunan tempat tinggal. Melihat kesulitan
pengadaan tempat tinggal sewa oleh sektor formal, maka perumahan non-formal
seperti pondokan lebih mampu berkembang (Komarudin, 1997 dalam Sutikno, 2005 : 18).
Tumbuh dan berkembangnya daerah perkampungan
dan munculnya rumah-rumah sewa bagi para pekerja industri atau para pendatang
lainnya yang diupayakan oleh masyarakat setempat, jeas memperlihatkan bahwa
masyarakat sebenarnya lebih tanggap dan mampu berbuat sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan akan perumahannya sendiri, baik bagi dirinya prbadi maupun untuk
orang lain sesamanya. Potensi masyarakat ini selayaknya diperhitungkan agar
dapat berkembang secara optimal, terlebih dalam kondisi dimana sumberdaya yang
dikuasai oleh pemerintah sendiri terbatas. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan
perumahan nasional, bahwa dalam pembangunan rumah yang diprioritaskan bagi
masyarakat berpendapatan rendah potensi masyarakat perlu diperhitungkan (Kantor
Menpera, 1987 dalam Salim 1992 dalam (Sutikno,
2005 : 18). Kebijakan tersebut mengatakan bahwa:
“Pada dasarnya pembangunan perumahan dan permukiman, merupakan tanggung
jawab masyarakat, sedangkan kewajiban pemerintah adalah pembinaan, pengaturan
dan penyelenggaraan bimbingan serta pemberian berbagai fasilitas bantuan dan
perangsang lainnya yang dapat mendorong terciptanmya iklim pembangunan yang
lebih menggairahkan. Pembinaan ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat
luas, sedangkan pemberian bantuan pembangunan maupun pembiayaan dari pemerintah
diprioritaskan kepada masyarakat berpendapatan rendah”
Byres (1984) dalam
Razziati (1999:22), menyatakan bahwa transformasi adalah suatu perjalanan waktu
yang didalamnya tercakup suatu masa peralihan. Transformasi pedesaan berasal
dari pelaksanaan program penataan penguasaan tanah dan industrialisasi sampai
terbentuknya susunan hubungan sosial ekonomi yag baru, apabila struktur baru
telah terbentuk dan berjalan, maka dikatakan ‘transformasi telah berjalan’.
Dengan demikian transformasi merupakan suatu proses perjalanan waktu yang
didalmnya tercakup suatu peralihan masa peralihan.
Sedangkan Harris
(1982) dalam Razziati (1999:22), memberikan arti transformasi struktural
sebagai suatu proses perubahan susunan hubungan sosial ekonomi: ‘berubahnya
masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat yang didalamnya sistem
produksi pertanian telah terintegrasi ke dalam sistem ekonomi secara
keseluruhan’. Dengan demikian masyarakat lebih produktif dan tingkat
kehidupannya menjadi lebih baik. Transformasi sosial dapat dilihat dari
penekanan saling berhubungan antara faktor-faktor ekologis, teknologis, dan
demografi dalam suatu sistem usahatani di satu sisi, seadngkan disisi lain
dapat diamati respon masyarakat terhadap faktor-faktor diatas.
Buasor (1990) dalam
Razziati (1999:25), menyatakan bahwa salah satu prasyarat (necessary condition) untuk mencapai transformasi struktural ekonomi
dari pertanian (industri primer) ke arah industri sekunder (manufaktur), yaitu
adanya keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri.
Menurut Husken and
White (1989) dalam Razziati (1999:25), menyatakan bahwa kegiatan nonfarm masih bersifat sederhana dan
sementara, dengan tujuan sebagai salah satu strategi
dalam kelangsungan hidup rumahtangga (household survival strategy).
Sedangkan menurut Ginting dalam Razziati (1999:25), hal tersebut diatas dapat
diliha dari keterlibatan mereka dengan aktivitas pertanian, terutama bagi
petani yang mempunyai pekerjaan sampingan. Namun kegiatan tersebut dapat
memberi peluang usaha dan merangsang kebutuhan ekonomi, sertamenahan tenaga
kerja untuk tetap tinggal di pedesaan, sehingga mereka dapat berperan sebagai
tenaga penggerak pembangunan di pedesaan.
Maka dari itu,
berdasarkan Razziati (1999:26), karena kegiatan nonfarm (diluar pertanian dapat dipakai sebagai suatu strategi
kelangsungan hidup di Desa Cangkringmalang maka unsur-unsur yang berkaitan
dengan usaha baru tersebut manjadi hal penting untuk mengamati perkembangan
hunian di Desa Cangkringmalang. Usaha baru ini terutama yang berkaitan dengan
usaha penampungan tempat tinggal yaitu tempat pemondokan bagi para pekerja
pabrik yang datang ke desa tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar