PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN
A.
Pengertian Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan
merupakan badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang
perekonomian ( keuangan, industri, dan perdagangan), yang dilakukan
secara terus menerus atau teratur ( regelmatig
) terang-terangan
(
openlijk ) ,
dan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/ atau laba.
Dalam
Pasal 1 huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan dijelaskan bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha
yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus
menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah
Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
Sedangkan,
pengertian dari Perusahaan Pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dalam
pasal 1 huruf ( b) dikatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan adalah badan
usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan merupakan badan usaha yang
melaksanakan kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan. Selain
Perusahaan Pembiayaan, bank dan lembaga keuangan bukan bank juga
meruapakan badan hukum yang melaksanakan aktivitas dari lembaga
pembiayaan yaitu :
1. Sewa Guna Usaha;
2. Modal Ventura;
3. Perdagangan Surat
Berharga;
4. Anjak Piutang;
5. Usaha Kartu Kredit;
6. Pembiayaan
Konsumen.
B. Kegiatan Usaha
Perusahaan Pembiayaan.
Kegiatan Perusahaan
Pembiayaan merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
pembiayaan. Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, disebutkan bahwa
bentuk kegiatan usaha dari Perusahaan Pembiayaan antara lain :
1. Sewa Guna Usaha;
2. Anjak Piutang;
3. Usaha Kartu Kredit;
dan/atau
4. Pembiayaan
Konsumen.
Ad.1 Sewa Guna Usaha.
Sewa
Guna Usaha (Leasing)
merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal
baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance
lease)
maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating
Lease)
untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (lessee)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
Kegiatan Sewa Guna
Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi Penyewa Guna
Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang
tersebut. Pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara
membeli barang Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewagunausahakan
kembali.
Sepanjang
perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing)
masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi Sewa Guna
Usaha berada pada Perusahaan Pembiayaan.
Ad. 2 Anjak Piutang
Anjak
Piutang (Factoring)
adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang
jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang
tersebut.
Dalam pasl 4 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan,
dijelaskan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk
piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut.
Kegiatan
anjak piutang tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk anjak piutang
tanpa jaminan dari penjual piutang (Without
Recourse)
dan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With
Recourse).
Anjak
piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without
recourse)
adalah kegiatan anjak piutang dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung
seluruh resiko tidak tertagihnya Piutang. Sedangkan anjak piutang
dengan jaminan dari penjual piutang (With
recourse)
adalah kegiatan anjak piutang dimana penjual piutang menanggung
resiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual
kepada Perusahaan Pembiayaan.
Ad. 3 Usaha Kartu Kredit
Usaha
Kartu Kredit (Credit
Card)
adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa
dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan usaha kartu kredit
dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat
dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian barang dan/atau jasa.
Perusahaan Pembiayaan
yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit, sepanjang berkaitan
dengan sistem pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.
Ad. 4 Pembiayaan Konsumen
Pembiayaan
Konsumen (Consumer
Finance)
adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kegiatan
Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran.
Kebutuhan konsumen
yang dimaksud meliputi antara lain :
a. Pembiayaan
kendaraan bermotor;
b. Pembiayaan
alat-alat rumah tangga;
c. Pembiayaan
barang-barang elektronik;
d. Pembiayaan
perumahan.
C. Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan.
Dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
pada pasal 1, dijelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam
bentuk badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Perusahaan Pembiayaan
dapat didirikan oleh:
1. Warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
2. Badan usaha asing
dan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia (usaha
patungan).
Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, wajib terlebih dahulu memperoleh Izin Usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dari Menteri, dimana Perusahaan Pembiayaan tersebut harus mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukan secara jelas.
Adapun hal-hal yang
perlu dilampirkan didalam format yang diajukan kepada Menteri untuk
mendapatkan Izin Usaha untuk melakukan kegiatan usaha adalah sebagai
berikut :
1.
Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan tempat
kedudukan;
b. Kegiatan usaha
sebagai Perusahaan Pembiayaan;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e.
Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris
atau pengurus dan pengawas;
2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus
dan pengawas meliputi:
a. Fotokopi tanda
pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor;
b. Daftar riwayat
hidup;
c. Surat pernyataan:
1)
Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
2)
Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;
3)
Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4)
Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
5)
Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi Direksi;
6)
Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan
lain bagi Komisaris;
d.
Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau
perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu
direksi atau pengurus;
e.
Fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin
bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus
berkewarganegaraan asing;
3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:
a.
Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa
setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang
(money laundering);
b.
Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1.
Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal;
2.
Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan
keuangan terakhir;
3.
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3 bagi pemegang saham dan direksi atau pengurus;
4.
Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;
5.
Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito
berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi
oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha;
6.
Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
a.
Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b.
Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan dimulai
sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan operasional;
7. Bukti kesiapan
operasional antara lain berupa:
a.
Daftar aktiva tetap dan inventaris;
b.
Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung
kantor; contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan; dan
c.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
8.
Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi
perusahaan patungan;
9.
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).
Perusahaan Pembiayaan
yang telah memperoleh Izin Usaha wajib melakukan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Izin
Usaha ditetapkan, yang mana laporan atas pelaksanaan kegiatan
tersebut disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha tersebut. Apabila
setelah jangka waktu yang telah ditentukan, Perusahaan Pembiayaan
tidak melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha
Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
D. Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan
Pembiayaan
1. Kepemilikan Perusahaan Pembiayaan.
Perusahaan
Pembiayaan, dapat didirikan oleh badan hukum ataupun koperasi. Namun
hal ini tidak menutup kemungkinan badan usaha asing untuk menanamkan
sahamnya di suatu Perusahaan Pembiayaan. Dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
dijelaskan bahwa badan usaha asing, dapat memiliki saham dalam suatu
Perusahaan Pembiayaan setinggi-tingginya adalah 85% (delapan puluh
lima perseratus) dari modal disetor.
Sedangkan
bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan
modal pada Perusahaan Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya
sebesar 50 % (lima puluh perseratus) dari modal sendiri. Modal
sendiri yang dimaksud disini adalah penjumlahan dari modal disetor,
agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi dari Perusahaan Pembiayaan
tersebut. Sementara untuk Perusahaan Pembiayaan yang pemegang
sahamnya berbentuk badan hukum koperasi, modal sendiri yang dimaksud
terdiri dari penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana
cadangan, dan hibah. Dan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum
yayasan, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari aktiva bersih
terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer, dan
aktiva bersih tidak terikat.
2.
Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan.
Pengurus suatu
perusahaan pembiayaaan terdiri dari :
a. Direksi;
b. Komisaris;
c. Kepala cabang.
Setiap pengurus dari
suatu Perusahaan Pembiayaan ( direksi, komisaris, dan kepala cabang )
sekurang-kurangnya memiliki persayaratan sebagai berikut :
a. Tidak tercatat dalam
Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
b. Tidak tercantum
dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;
c. Tidak pernah dihukum
karena tindak pidana kejahatan;
d.
Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan
pencucian uang (money laundering);
e.
Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman operasional di
bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun; dan
f.
Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Direksi
Perusahaan Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang
melakukan perangkapan jabatan sebagai Direksi pada Perusahaan
Pembiayaan lain, namun diperkenankan merangkap jabatan sebagai
komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan lain. Sedangakan
Komisaris Perusahaan Pembiayaan, diperkenankan merangkap jabatan
menjadi komisaris sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) Perusahaan
Pembiayaan.
E. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Perusahaan
Pembiayaan.
Suatu perusahaan
pembiayaaan dimungkinkan untuk melakukan Merger, Konsolidasi ataupun
Akuisisi apabila dianggap perlu. Dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa
Merger, Konsolidasi, ataupun Akuisisi dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Merger adalah
penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih dengan
cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan
dan membubarkan Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan atau tanpa
likuidasi.
Sedangkan Konsolidasi
adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih,
dengan cara mendirikan Perusahaan Pembiayaan baru dan membubarkan
Perusahaan-Perusahaan Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa
likuidasi.
Dan yang dimaksud
dengan Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian
besar saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan beralihnya
pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan.
Merger, Akuisisi, dan
Konsolidasi wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15
(lima belas) hari setelah Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi
dilakukan. Dalam pasl 21 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa laporan
tersebut harus dilengkapi dengan :
a.
Risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
b.
Perubahan anggaran dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada
instansi berwenang dan didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
c.
Akta Merger atau akta Konsolidasi;
d.
Data pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris atau anggota,
pengurus, dan pengawas;
e.
Status kantor Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau
Konsolidasi.
Apabila laporan
tersebut telah diterima oleh Menteri, maka menteri dapat mencabut
Izin Usaha yang telah ditetapkan dan menetapkan status kantor pusat
dan Kantor Cabang dari Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri
atau memberi izin usaha kepada Perusahaan Pembiayaan hasil
Konsolidasi serta mencatat perubahan pemegang saham. Izin usaha baru
yang diperoleh oleh Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Konsolidasi
berlaku sejak Konsolidasi disetujui oleh instansi yang berwenang. Dan
sebelum izin usaha tersebut diberikan, Perusahaan Pembiayaan hasil
dari Konsolidasi tersebut telah dapat menjalankan kegiatan usahanya.
F. Pengertian dan Sejarah Berkembangnya Leasing
di Indonesia
Sewa
Guna Usaha adalah istilah yang dipakai dalam peraturan tentang
Lembaga Pembiayaan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris
Leasing
dari
kata dasar Lease,
yang artinya sewa menyewa. Kemudian, dalam dunia bisnis Leasing
berkembang
sebagai bentuk sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk pembiyaan perusahaan
berupa penyedia barang modal yang digunakan untuk menjalankan
usahanya dengan mebayar sewa selama jangka waktu tertentu.13Untuk
mengetahui Leasing
sebagai
Sewa Guna Usaha, yaitu suatu bentuk dari sewa-menyewa, perlu ditelaah
ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perizinan Usaha Leasing.
Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
Kep-122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74,
teertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing
dalam
Pasal 1, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Leasing
adalah
setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak
pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang
bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu Leasing
berdasarkan
nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Berdasarkan
defenisi tersebut konsep Leasing
sebagai
bentuk sewa-menyewa yang disebut Sewa Guna Usaha sudah lebih terarah
dan jelas. Hal ini dinyatakan oleh unsur-unsur berikut :
1. Pembiayaan
Perusahaan.
Pembiayaan
tidak dalam bentuk dana, melainkan dalam bentuk barang modal yang
digunakan untuk kegiatan usaha bisnis.
2. Penyediaan barang
modal
Dalam
hal ini, biasanya disediakan oleh Supplier
atas
biaya Lessor
untuk
digunakan oleh Lessee
bagi
keperluan bisnis.
3. Digunakan oleh
suatu perusahaan.
Barang modal tersebut
merupakan bentuk pembiayaan suatu perusahaan dalam menjalankan
usahanya.
4. Pembayaran sewa
secara berkala.
Yaitu
merupakan kewajiban Lessee
membayar
angsuran harga barang modal kepada Lessor
yang
sudah melunasinya kepada Supplier.
5. Jangka waktu
tertentu.
Yaitu
berapa tahun Sewa Guna Usaha dilakukan, dan setelah jangka waktu
berakhir, ditentukan status kepemilikan barang modal tersebut.
6. Hak opsi untuk
membeli barang modal.
Pada
saat kontrak berakhir, Lessee
diberi
hak opsi untuk membeli barang modal tersebut sesuai dengan harga yang
disepakati, atau mengembalikannya kepada Lessor.
Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Sewa Guna Usaha (Leasing)
adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance
Lease)
maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating
Lease)
untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha ( Lessee)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
Berdasarkan
defenisi tersebut, terdapat hal-hal penting yang perlu digaris bawahi
di dalam transaksi Sewa Guna Usaha, yaitu :
1.
Transaksi Sewa Guna Usaha dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Sewa
Guna Usaha dengan hak opsi ( Finance
Lease)
dan Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating
Lease).
Selain itu, kegiatan Sewa Guna Usaha dapat juga dilakukan dengan cara
membeli barang modal milik penyewa guna usaha yang kemudian
disewagunausahakan kembali ( Sale
and Lease back);
2.
Objek pembiayaan Sewa Guna Usaha harus berbentuk barang modal;
3.
Pembayaran Sewa Guna Usaha dapat dilakukan secara bulanan, dua
bulanan, tiga bulanan, berdasarkan kesepakatan antara Lessor dan
Lessee;
4.
Transaksi Sewa Guna Usaha mensyaratkan dibuat dalam jangka waktu
tertentu.
Eksistensi
Leasing di Indonesia
baru terjadi di awal dasawarsa tahun 1970-an, dan perkembangan
sejarah bisnis Leasing di
Indonesia sangat terkait secara erat dengan kebijaksanaan pemerintah.
Perkembangan
Leasing dalam
sejarah di Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam (3)
tiga fase, sebagai berikut :
1. Fase Pengenalan
Yaitu
merupakan fase pertama dari bisnis Leasing
di
Indonesia, yang terjadi antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1983.
Fase pertama ini dimulai dengan keluarnya beberapa peraturan pada
tahun 1974, yang khusus mengatur tentang hukum Leasing
tersebut.
Dalam fase ini, Leasing
belum
begitu dikenal dalam masyarakat, dan perkembangannya tidak begitu
pesat. Konsekuensinya, jumlah perusahaan Leasing
pada
waktu itu belum seberapa dan jumlah transaksinya juga masih relatif
kecil.
2. Fase pengembangan
Yaitu
merupakan fase kedua, yang terjadi antara tahun 1984 sampai dengan
tahun 1990. Dalam fase ini, bisnis Leasing
cukup
pesat perkembangannya, hal ini bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan
bisnis di Indonesia. Dimana perkembangan perusahaan dan jumlah
besarnya kontrak Leasing
mengalami
peningkatan. Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi
Leasing telah
berubah, misalnya dalam hal metode perhitungan penyusutan aset untuk
kepentingan perpajakan. Hal ini merupakan akibat berlakunya
Undang-Undang Pajak tahun 1984, sementara itu sistem
peloporan pajak dalam periode ini masih menggunakan Operating
method seperti fase sebelumnya.
3. Fase Konsolidasi
Yaitu
merupakan fase ketiga, merupakan fase Konsolidasi dari fase
perkembangan Leasing
di
Indonesia, yang terjadi sejak tahun 1991 sampai sekarang. Pada
periode ini, izin-izin pendirian perusahaan Leasing
yang
sebelumnya agak diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan Multi
Finance juga
didirikan pada periode ini. Salah satu perubahan yang terjadi pada
fase ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan
Operating method
berubah
menjadi Financial
method.
Perubahan sistem perhitungan pajak ini mulai berlaku sejak 19 Januari
1991, berdasarkan ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1169/KMK.01/1991.
Sungguhpun
perkembangan bisnis Leasing
sudah
mulai terasa di Indonesia, banyak pihak yang mengatakan bahwa
perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini antara lain
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1.
Karena bisnis Leasing
masih
terbilang relatif baru;
2.
Kurangnya promosi dan lemahnya aturan hukum;
3.
Masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer, dan belum
terhadap barang-barang lainnya;
4.
Ada anggapan sementara pihak, bahwa beban yang dipikul oleh para
pihak lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan;
5.
Untuk Leasing
barang-barang
tertentu dibutuhkan jaminan, sehingga orang cenderung memilih sistem
perbankan.
G. Dasar Hukum Leasing dan
Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Leasing 1.Dasar
Hukum Leasing
Pranata
hukum Sewa Guna Usaha (Leasing)
baru mulai diatur secara khusus untuk pertama kalinya dalam
perundang-undangan Negara Republik Indonesia pada tahun 1974.
Beberapa peraturan di tahun 1974 tersebut merupakan tonggak sejarah
perkembangan hukum Leasing
di
Indonesia, peraturan-peraturan tersebut adalah :
a.
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Menteri Perindustrian dan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122MK/IV/2/1974,
Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74, tertanggal 7 Februari
1974 tentang Perizinan Usaha Leasing;
b.
Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
Kep.649/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha
Leasing;
c.
Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
Kep.650/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan
Pajak Penjualan dan Beasrnya Bea Materai Terhadap Usaha Leasing;
d.
Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor :
Peng-307/DJM/III.1/7/1974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman
Pelaksanaan Peraturan Leasing;
e.
Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no :
SE-499/MD/1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyampaian Laporan
Perusahaan Leasing;
f.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 448/KMK.017/2000
tentang Perusahaan Pembiayaan;
g.
Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no:
SE-4835/MD/1983 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pendirian Kantor
Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing;
h.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);
i.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 834/KMK.013/1990
tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa
Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
Leasing sebagai
salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang bisnis pembiayaan
bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun
perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber utama hukum Sewa Guna
Usaha (Leasing) dari
segi perdata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber utama hukum
Sewa Guna Usaha (Leasing)
dari segi publik.19Dengan demikian dasar hukum Leasing
dapat dilihat dari 2 (dua) segi,
yaitu dari segi perdata dan dari segi publik.
1. Segi Hukum Perdata
Pada
setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga Leasing,
inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal dari pihak
pihak-pihak yang berkepentingan, terutama Lessee.
Dengan demikian, kehendak pihak-pihak tersebut dituangkan dalam
bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang menetapkan kewajiban
dan hak masing-masing pihak dalam hubungan hukum Leasing.
Dalam perundang-undangan juga diatur mengenai kewajiban dan hak
pihak-pihak dan hanya akan berlaku sepanjang pihak-pihak tidak
menentukan lain secara khusus dalam perjanjian yang dibuat. Dengan
demikian, ada 2 (dua) sumber hukum perdata yang mendasari Leasing,
yaitu asas kebebasan berkontrak dan undang-undang bidang hukum
perdata.
a. Asas Kebebasan
Berkontrak
Dalam
perjanjian Leasing,
perjanjian selalu dibuat tertulis sebagai dokumen hukum yang menjadi
dasar kepastian hukum (legal
certainly).
Perjanjian Leasing
dibuat
berdasarkan asas kebebasan berkontrak, memuat rumusan kehendak berupa
hak dan kewajiban Lessor
sebagai
Perusahaan
Pembiayaan ( Finance
Company) dan Lessee
sebagai perusahaan atau
perorangan yang dibiayai. Perjanjian Leasing dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak (Pasal 1338
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
b. Undang-Undang Bidang
Hukum Perdata
1).
Perajanjian Sewa-Menyewa Perjanjian Leasing
tergolong
ke dalam perjanjian sewa-menyewa karena objeknya adalah barang khusus
berupa barang modal, yang juga termasuk menjadi objek sewa-menyewa.
Selain itu, kedua belah pihak juga berstatus khusus sebagai
Perusahaan Pembiayaan (Lessor)
dan perusahaan pengguna barang modal (Lessee),
yang juga termasuk dalam pengertian pihak yang menyewakan dan pihak
penyewa. Mengenai perjanjian sewa-menyewa ada diatur dalam Pasal 1548
sampai dengan Pasal 1580 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, dengan
demikan ketentuan pasal-pasal tersebut juga berlaku dalam perjanjian
Leasing,
kecuali jika dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang dari
peraturan tersebut. 2). Segi Perdata di Luar Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Ada
juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai Undang-Undang di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur aspek perdata Leasing.
Undang-Undang yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berlakunya
Undang-Undang ini apabila perusahaan Leasing
hukum
berbentuk koperasi, sehingga di dalam pendirian dan kegiatan juga
harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
b)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila
perusahaan Leasing berbentuk
hukum Perseroan Terbatas (PT).
c)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Agraria, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini
apabila Leasing mengadakan
perjanjian meneganai hak-hak atas tanah serta pendaftarannya.
d)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Lessor
melakukan pelanggaran kewajiban
dan larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen
(Lessee).
2. Segi Hukum Publik.
Sebagai
usaha yang berkiprah di bidang jasa pembiayaan, Leasing
banyak menyangkut kepentingan
publik, terutama yang bersifat administratif. Oleh karena itu,
Leasing banyak diatur
dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan Administrasi
Negara.
a. Undang-Undang Bidang
Hukum Publik
Berbagai
Undang-Undang bidang Administrasi Negara yang menjadi sumber utama
Leasing adalah
sebagi berikut :
1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila
Leasing
berurusan
dengan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan pendaftaran likuidasi
perusahaan.
2)
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya
Undang-Undang ini apabila Leasing
berhubungan
dengan bank.
3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai,
serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang
ini karena Leasing membayar
Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
dan jenis pajak lainnya.
4)
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, dan
peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini karena Leasing
wajib melakukan pembukuan
perusahaan dan pemeliharaan dokumen perusahaan.
5)
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan
peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Lessor
melakukan pelanggaran kewajiban
dan larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen
(Lessee).
b. Peraturan tentang
Lembaga Pembiayaan
Pertaturan tentang
Lembaga Pembiayaan mengatur Sewa Guna Usaha antara lain adalah :
1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan. Yang diantaranya memuat tentang kegiatan usaha Perusahaan
Pembiayaan (pasal 2 – pasal 6), tata cara pendirian (pasal 7 –
pasal 13), kepemilikan dan kepengurusan (pasal 14-pasal 20), Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi (pasal 21), sanksi (pasal 44).
2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Yang
diantaranya memuat tentang prinsip mengenal nasabah (pasal 2- pasal
12), pelaksanaan dan fasilitas pendukung (pasal 13-pasal 16), sanksi
(pasal 18).
2. Pihak-pihak dalam Perjanjian Leasing
Dalam
setiap transaksi Leasing
selalu
melibatkan 3 (tiga) pihak utama, yaitu:2
a.
Pihak Lessor
Pihak
Lessor
adalah
perusahaan Leasing
yang
memiliki hak kepemilikan atas barang modal. Perusahaan Leasing
menyediakan
dana kepada pihak yang membutuhkan. Dalam usaha pengadaan barang
modal, biasanya perusahaan Leasing
berhubungan
langsung dengan pihak penjual (Supplier),
dan telah melunasi barang modal tersebut. Lessor
bertujuan
untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk
membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh keuntungan, atau
memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian jasa
pemeliharaan serta pengoperasian barang modal.
b.
Pihak Lessee
Pihak
Lessee
adalah
perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi
pada akhir kontrak Leasing.
Lessee
yang
memerlukan barang modal berhubungan langsung dengan Lessor,
yang telah membiayai barang modal dan berstatus sebagai pemilik
barang modal tersebut. Barang modal yang dibiayai oleh Lessor
tersebut
kemudian diserahkan penguasaannya kepada dan untuk digunakan oleh
Lessee
dalam
menjalankan usahanya. Pada akhir kontrak Leasing,
Lessee
mengembalikan
barang modal tersebut kepada Lessor,
kecuali jika ada hak opsi untuk membeli barang modal dengan harga
berdasarkan nilai sisa.
c.
Pihak Supplier
Pihak
Supplier adalah
penjual barang modal yang menjadi objek Leasing.
Harga barang modal tersebut dibayar tunai oleh Lessor
kepada Supplier untuk
kepentingan Lessee.
Pihak Supplier dapat
berstatus perusahaan produsen barang modal atau pihak penjual biasa.
Ada juga jenis Leasing yang
tidak melibatkan Supplier,
melainkan hubungan bilateral antara pihak Lessor dengan
pihak Lessee, misalnya
dalam bentuk Sale and Lease back. H.
Jenis-Jenis Leasing
Pada
prinsipnya ada dua macam jenis Leasing
yaitu
Leasing
yang
berbentuk Operating
dan
Leasing
yang
berbentuk Finance.23Namun
demikian, terdapat juga berbagi bentuk lainnya yang lebih merupakan
derifatif dari kedua bentuk pokok tersebut 1.Financial
Lease (Hak
Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi) Financial
Lease sering
disebut dengan Capital
Lease atau
Full-Payout
Lease.
Financial
Lease merupakan
suatu corak Leasing
yang
paling sering digunakan. Dalam jenis ini, Lessor
adalah
pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Lessee
biasanya
memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama Lessor,
sebagi pemilik barang modal tersebut, melakukan pemesanan,
pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi objek
transaksi Leasing.
Financial
Leasing mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Objek Sewa Guna Usaha (Leasing)
dapat berupa barang bergerak dan tidak bergerak, yang berumur
maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut.
b.
Besarnya harga sewa ditambah hak opsi harus menutup harga barang
ditambah keuntungan yang diharapkan oleh Lessor.
c.
Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran per bulan terdiri dari biaya
perolehan barang ditambah dengan biaya lain dan keuntungan yang
diinginkan Lessor.
d.
Jangka waktu berlakunya kontrak relatif lebih panjang, dan resiko
biaya pemeliharaan dan biaya lain (kerusakan, pajak, asuransi) atas
barang modal ditanggung oleh Lessee.
e.
Pada akhir masa kontrak, Lessee diberi
hak opsi untuk membeli barang modal sesuai nilai sisa, atau
mengembalikannya kepada Lessor,
atau perpanjangan masa kontrak dengan pembayaran yang lebih rendah
dari sebelumnya.
f.
Selama jangka waktu kontrak, Lessor tidak
boleh secara sepihak mengakhiri kontrak Sewa Guna Usaha (Leasing)
atau mengakhiri pemakaian barang modal tersebut.
2. Operating Lease (Sewa
Guna Usaha tanpa Hak Opsi)
Operating Lease
disebut juga Service
Lease. Dalam jenis ini, Lessor
membeli barang modal dan
selanjutnya disewagunausahakan kepada Lessee.
Berbeda dengan Finance Lease,
jumlah seluruh pembayaran Leasing berkala
dalam Operating Lease tidak
mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal
tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan karena
Lessor mengharapkan
keuntungan justru dari penjualan barang modal yang
disewagunausahakan, atau melalui beberapa kontrak Sewa Guna Usaha
lainnya.
Dalam
Leasing jenis
ini, dibutuhkan keahlian khusus dari Lessor
untuk
memelihara dan memasarkan kembali barang modal yang sudah
disewagunausahakan kembali.
Ciri-ciri dari
Operating Lease adalah
sebagai berikut :25
a.
Jangka waktu kontrak relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang
modal. Atas dasar perhitungan tersebut, Lessor
dapat
memetik keuntungan dari hasil penjualan setelah kontrak berakhir.
b.
Barang modal yang menjadi objek Operating
Lease,
biasanya barang yang mudah dijual.
c.
Jumlah
sewa secara berkala (angsuran) yang dibayar oleh Lessee
kepada
Lessor lebih
kecil daripada harga barang ditambah keuntungan yang diharapakan
Lessor (non
full payout)
d.
Segala resiko ekonomi (kerusakan, pajak, asuransi, pemeliharaan) atas
barang modal ditanggung oleh Lessor.
e.
Kontrak Operating
Lease dapat
dibatalkan secara sepihak oleh Lessee
dengan
mengembalikan barang modal kepada Lessor.
f.
Setelah kontrak berakhir, Lessee
wajib
mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor.
Bahwa
selain kedua bentuk utama Leasing
diatas,
masih terdapat bentuk-bentuknya dari Leasing,
antara lain sebagai berikut :
3.
Sale and Lease Back (
Jual dan Sewa Kembali)
Dalam
bentuk transaksi ini, Lessee
membeli
terlebih dahulu barang modal atas namanya sendiri, kemudian barang
modal tersebut dijual kepada Lessor
dan
selanjutnya oleh Lessee
disewa
kembali dari Lessor
untuk
digunakan kembali bagi keperluan usahanya daalam suatu bentuk kontrak
Leasing.
Biasanya bentuk Sale
and Lease Back ini
mengambil bentuk Financial
Lease.
Sale and Lease
Back mirip
dengan hutang-piutang uang dengan jaminan barang, dan pembayaran
barang tersebut dilakukan secara cicilan. Tujuan Lessee
mengunakan
bentuk ini untuk memperoleh dana tambahan modal kerja, yang tadinya
ditanggulangi sendiri, lalu dialihkan melalui kontrak Leasing.
Bentuk ini banyak
digunakan di Indonesia akibat masalah kesulitan impor barang modal
terutama mengenai perizinan, bea masuk, pajak impor, yang banyak
memakan biaya.
4.
Direct Finance Lease (Sewa
Guna Usaha Langsung)
Dalam
bentuk transaksi ini, Lessor
membeli
barang modal dan sekaligus menyewakannya kepada Lessee.
Pembelian tersebut dilakukan atas permintaan Lessee
dan
Lessee pula
yang menentukan spesifikasi barang modal, harga dan Suppliernya.
Dengan
kata lain, Lessee
berhubungan
langsung dengan Supplier
dan
Lessor membiayai
kebutuhan barang modal tersebut untuk kepentingan Lessee.
Penyerahan barang langsung kepada Lessee
tidak
melalui Lessor,
tetapi pembayaran harga secara angsuran langsung dilakukan kepada
Lessor.
Jadi,
tujuan Lessee
adalah
memperoleh barang modal untuk perusahaannya dengan pembiayaan secara
Leasing dari
Lessor.
5.
Syndicated Lease (Sewa
Guna Usaha Sindikasi)
Dalam
bentuk transaksi, seorang Lessor
tidak
sanggup membiayai sendiri keperluanbarang modal yang dibutuhkan
Lessee karena
alasan tidak memiliki kemampuan pendanaan.
Untuk
mengatasi hal tersebut, maka beberapa Leasing
Companies mengadakan
kerja sama membiayai barang modal yang dibutuhkan Lessee.
Dalam pelaksanaanya, salah satu Leasing
Company bertindak
sebagai Coordinator
of Laesing Companies untuk
menghadapi Lessee
dan
juga pihak Supplier.
6. Leveraged Lease
Leveraged
Lease merupakan
suatu jenis Financial
Lease,
dengan mana pihak yang memberikan pembiayaan di samping Lessor
juga
pihak ketiga.
Biasanya Leveraged
Lease ini dilakukan terhadap
barang-barang yang mempunyai nilai tinggi, dimana pihak Lessor
hanya membiayai antara 20%
sampai dengan 40% dari pembelian barang, sedangkan selebihnya akan
dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman Lessor
dari pihak ketiga tersebut
dengan memakai kontrak Leasing yang
bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering
disebut dengan Credit Provider atau
Debt Participant.
Biasanya dengan Leveraged Lease ini
terdapat juga seorang yang disebut manager. Yakni pihak yang
melaksanakan tender kepada Lessee,
dan mengatur hubungan dan negoisasi antara Lessor,
Lessee dan Debt
Participant.
7. Cross Border Lease
Cross
Border Lease merupakan
Leasing dengan
mana pihak Lessor
dan
pihak Lessee
berada
dalam dua negara yang berbeda.
8. Net Lease
Ini
merupakan bentuk Financial
Leasing,
dimana Lessee
yang
menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan
membayar pajak dan asuransinya.
9. Net-net Lease
Ini
juga merupakan bentuk Financial
Leasing,
dimana Lessee
tidak
hanya menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang
dan membayar pajak saja, bahkan Lessee
harus
juga mengembalikan barang kepada Lessor
dalam
kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian Leasing.
Sering juga dipakai istilah Non-Maintenance
Lease baik
untuk Net Lease
maupun
untuk Net-net
Lease.
10. Full service Lease
Full
service Lease disebut
juga dengan Rental
Lease atau
Gross Lease.
Maksudnya adalah Leasing
dengan
mana pihak Lessor
bertanggungjawab
atas pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak.
11. Big Ticket Lease
Ini
merupakan Leasing untuk
barang-barang mahal, misalnya pesawat terbang dan dengan jangka waktu
yang relatif lama, misalnya 10 tahun.
12. Captive Leasing
Yang
dimaksud dengan Captive
Leasing adalah
Leasing yang
ditawarkan oleh Lessor
kepada
langganan tertentu, yang telah terlebih dahulu ada hubungannya dengan
Lessor.
Dalam hal ini, biasanya yang menjadi barang objek Leasing
adalah
barang yang merupakan merek dari Lessor
itu
sendiri.
13. Third Party Leasing
Transaksi
bentuk ini merupakan kebalikan dari Captive Leasing.
Dalam trnasaksi ini, pihak Lessor
bebas
menawarkan Leasing
kepada
siapa saja. Jadi, Lessor
tidak
harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan Lessee.
14. Wrap Lessee
Wrap
Lease merupakan
jenis Leasing,
yang biasanya pihak Lessor
tidak
mau mengambil resiko, sehingga jangka waktunya lebih singkat dari
biasanya. Tetapi tentunya ini akan memberatkan Lessee,
karena ia akan membayar cicilan yang besar.
Oleh
karena itu, pihak Lessor
biasanya
melease kembali
barang tersebut kepada investor yang mau menanggung resiko, sehingga
jangka waktu Leasing
bagi
Lessee menjadi
lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil.
15.
Straight Payable
Lease,
Seasonal Lease
dan
Return on
Invescment Lease
Pembagian
kepada tiga jenis Leasing
ini
adalah jika dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap
cicilan harga barang oleh Lessee
kepada
Lessor.
Yang
dimaksud dengan Straight
Payable Lease adalah
Leasing yang
cicilannya dibayar Lessee
kepada
Lessor tiap
bulannya dengan jumlah cicilan yang selalu sama.
Sementara itu, yang
dimaksud dengan Seasonal Lease adalah
Leasing yang metode
pembayaran cicilannya oleh Lessee kepada
Lessor dilakukan
setiap periode tertentu, miasalnya dibayar tiap tiga bulan sekali.
Sedangkan
yang dimaksud dengan Return
on Invescment Lease adalah
suatu jenis Leasing
dimana
pembayaran cicilan oleh Lessee
kepada
Lessor hanya
terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru
dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh
perusahaan Lessee.
terima kasih atas informasinya, mampir juga ke blog mengenai pinjaman online. terima kasih
BalasHapus