Kamis, 16 Mei 2013

PERUSAHAAN PEMBIAYAAN


PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

A. Pengertian Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan merupakan badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian ( keuangan, industri, dan perdagangan), yang dilakukan secara terus menerus atau teratur ( regelmatig ) terang-terangan ( openlijk ) , dan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/ atau laba. 
 
Dalam Pasal 1 huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dijelaskan bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.


Sedangkan, pengertian dari Perusahaan Pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dalam pasal 1 huruf ( b) dikatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan merupakan badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan. Selain Perusahaan Pembiayaan, bank dan lembaga keuangan bukan bank juga meruapakan badan hukum yang melaksanakan aktivitas dari lembaga pembiayaan yaitu : 
 
1. Sewa Guna Usaha;
2. Modal Ventura;
3. Perdagangan Surat Berharga;
4. Anjak Piutang;
5. Usaha Kartu Kredit;
6. Pembiayaan Konsumen.

B. Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Kegiatan Perusahaan Pembiayaan merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan. Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, disebutkan bahwa bentuk kegiatan usaha dari Perusahaan Pembiayaan antara lain :

1. Sewa Guna Usaha;
2. Anjak Piutang;
3. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
4. Pembiayaan Konsumen.

Ad.1 Sewa Guna Usaha. 
 
Sewa Guna Usaha (Leasing) merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 
 
Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut. Pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali.
Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing) masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahaan Pembiayaan.


Ad. 2 Anjak Piutang
Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
Dalam pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dijelaskan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
Kegiatan anjak piutang tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without Recourse) dan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With Recourse). 
 
Anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung seluruh resiko tidak tertagihnya Piutang. Sedangkan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana penjual piutang menanggung resiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.


Ad. 3 Usaha Kartu Kredit
Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan usaha kartu kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian barang dan/atau jasa.
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit, sepanjang berkaitan dengan sistem pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.


Ad. 4 Pembiayaan Konsumen 
 
Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
Kebutuhan konsumen yang dimaksud meliputi antara lain :
a. Pembiayaan kendaraan bermotor;
b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga;
c. Pembiayaan barang-barang elektronik;
d. Pembiayaan perumahan.


C. Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan pada pasal 1, dijelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Perusahaan Pembiayaan dapat didirikan oleh:
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
2. Badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia (usaha patungan).

         Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, wajib terlebih dahulu memperoleh Izin Usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dari Menteri, dimana Perusahaan Pembiayaan tersebut harus mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukan secara jelas.
Adapun hal-hal yang perlu dilampirkan didalam format yang diajukan kepada Menteri untuk mendapatkan Izin Usaha untuk melakukan kegiatan usaha adalah sebagai berikut :
1. Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan;
b. Kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas;

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas meliputi:
a. Fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor;
b. Daftar riwayat hidup;
c. Surat pernyataan:
1) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
2) Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;
3) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
5) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi Direksi;
6) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain bagi Komisaris;
d. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus;
e. Fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing;
3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:
a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal;
2. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan terakhir;
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham dan direksi atau pengurus;
4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;
5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha;
6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud;
b. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan operasional;
7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
a. Daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor; contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi perusahaan patungan;
9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).

Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh Izin Usaha wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Izin Usaha ditetapkan, yang mana laporan atas pelaksanaan kegiatan tersebut disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu yang telah ditentukan, Perusahaan Pembiayaan tidak melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.

D. Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan 
 
1. Kepemilikan Perusahaan Pembiayaan. 
 
Perusahaan Pembiayaan, dapat didirikan oleh badan hukum ataupun koperasi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan badan usaha asing untuk menanamkan sahamnya di suatu Perusahaan Pembiayaan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dijelaskan bahwa badan usaha asing, dapat memiliki saham dalam suatu Perusahaan Pembiayaan setinggi-tingginya adalah 85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor.
Sedangkan bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50 % (lima puluh perseratus) dari modal sendiri. Modal sendiri yang dimaksud disini adalah penjumlahan dari modal disetor, agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi dari Perusahaan Pembiayaan tersebut. Sementara untuk Perusahaan Pembiayaan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum koperasi, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. Dan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum yayasan, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari aktiva bersih terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer, dan aktiva bersih tidak terikat. 

2. Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan
 
Pengurus suatu perusahaan pembiayaaan terdiri dari :
a. Direksi;
b. Komisaris;
c. Kepala cabang.
Setiap pengurus dari suatu Perusahaan Pembiayaan ( direksi, komisaris, dan kepala cabang ) sekurang-kurangnya memiliki persayaratan sebagai berikut :
a. Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
b. Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;
c. Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d. Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);
e. Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
f. Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai Direksi pada Perusahaan Pembiayaan lain, namun diperkenankan merangkap jabatan sebagai komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan lain. Sedangakan Komisaris Perusahaan Pembiayaan, diperkenankan merangkap jabatan menjadi komisaris sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan.


E. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Perusahaan Pembiayaan. 
 
Suatu perusahaan pembiayaaan dimungkinkan untuk melakukan Merger, Konsolidasi ataupun Akuisisi apabila dianggap perlu. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa Merger, Konsolidasi, ataupun Akuisisi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan dan membubarkan Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan atau tanpa likuidasi. 

Sedangkan Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-Perusahaan Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi. 

Dan yang dimaksud dengan Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian besar saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan. 

Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi dilakukan. Dalam pasl 21 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa laporan tersebut harus dilengkapi dengan : 

a. Risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
b. Perubahan anggaran dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang dan didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
c. Akta Merger atau akta Konsolidasi;
d. Data pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris atau anggota, pengurus, dan pengawas;
e. Status kantor Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau Konsolidasi. 

Apabila laporan tersebut telah diterima oleh Menteri, maka menteri dapat mencabut Izin Usaha yang telah ditetapkan dan menetapkan status kantor pusat dan Kantor Cabang dari Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau memberi izin usaha kepada Perusahaan Pembiayaan hasil Konsolidasi serta mencatat perubahan pemegang saham. Izin usaha baru yang diperoleh oleh Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Konsolidasi berlaku sejak Konsolidasi disetujui oleh instansi yang berwenang. Dan sebelum izin usaha tersebut diberikan, Perusahaan Pembiayaan hasil dari Konsolidasi tersebut telah dapat menjalankan kegiatan usahanya.


F. Pengertian dan Sejarah Berkembangnya Leasing di Indonesia 
 
Sewa Guna Usaha adalah istilah yang dipakai dalam peraturan tentang Lembaga Pembiayaan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris Leasing dari kata dasar Lease, yang artinya sewa menyewa. Kemudian, dalam dunia bisnis Leasing berkembang sebagai bentuk sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk pembiyaan perusahaan berupa penyedia barang modal yang digunakan untuk menjalankan usahanya dengan mebayar sewa selama jangka waktu tertentu.13Untuk mengetahui Leasing sebagai Sewa Guna Usaha, yaitu suatu bentuk dari sewa-menyewa, perlu ditelaah ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perizinan Usaha Leasing. Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74, teertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing dalam Pasal 1, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu Leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama. 
 
Berdasarkan defenisi tersebut konsep Leasing sebagai bentuk sewa-menyewa yang disebut Sewa Guna Usaha sudah lebih terarah dan jelas. Hal ini dinyatakan oleh unsur-unsur berikut :
1. Pembiayaan Perusahaan.
Pembiayaan tidak dalam bentuk dana, melainkan dalam bentuk barang modal yang digunakan untuk kegiatan usaha bisnis.
2. Penyediaan barang modal
Dalam hal ini, biasanya disediakan oleh Supplier atas biaya Lessor untuk digunakan oleh Lessee bagi keperluan bisnis.
3. Digunakan oleh suatu perusahaan.
Barang modal tersebut merupakan bentuk pembiayaan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya.
4. Pembayaran sewa secara berkala.
Yaitu merupakan kewajiban Lessee membayar angsuran harga barang modal kepada Lessor yang sudah melunasinya kepada Supplier.
5. Jangka waktu tertentu.
Yaitu berapa tahun Sewa Guna Usaha dilakukan, dan setelah jangka waktu berakhir, ditentukan status kepemilikan barang modal tersebut.
6. Hak opsi untuk membeli barang modal.
Pada saat kontrak berakhir, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang modal tersebut sesuai dengan harga yang disepakati, atau mengembalikannya kepada Lessor. Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha ( Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 
 
Berdasarkan defenisi tersebut, terdapat hal-hal penting yang perlu digaris bawahi di dalam transaksi Sewa Guna Usaha, yaitu :
1. Transaksi Sewa Guna Usaha dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Sewa Guna Usaha dengan hak opsi ( Finance Lease) dan Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease). Selain itu, kegiatan Sewa Guna Usaha dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang modal milik penyewa guna usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali ( Sale and Lease back);
2. Objek pembiayaan Sewa Guna Usaha harus berbentuk barang modal;
3. Pembayaran Sewa Guna Usaha dapat dilakukan secara bulanan, dua bulanan, tiga bulanan, berdasarkan kesepakatan antara Lessor dan Lessee;
4. Transaksi Sewa Guna Usaha mensyaratkan dibuat dalam jangka waktu tertentu.
Eksistensi Leasing di Indonesia baru terjadi di awal dasawarsa tahun 1970-an, dan perkembangan sejarah bisnis Leasing di Indonesia sangat terkait secara erat dengan kebijaksanaan pemerintah. 
 
Perkembangan Leasing dalam sejarah di Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam (3) tiga fase, sebagai berikut :

1. Fase Pengenalan
Yaitu merupakan fase pertama dari bisnis Leasing di Indonesia, yang terjadi antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1983. Fase pertama ini dimulai dengan keluarnya beberapa peraturan pada tahun 1974, yang khusus mengatur tentang hukum Leasing tersebut. Dalam fase ini, Leasing belum begitu dikenal dalam masyarakat, dan perkembangannya tidak begitu pesat. Konsekuensinya, jumlah perusahaan Leasing pada waktu itu belum seberapa dan jumlah transaksinya juga masih relatif kecil. 
 
2. Fase pengembangan
Yaitu merupakan fase kedua, yang terjadi antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990. Dalam fase ini, bisnis Leasing cukup pesat perkembangannya, hal ini bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis di Indonesia. Dimana perkembangan perusahaan dan jumlah besarnya kontrak Leasing mengalami peningkatan. Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi Leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode perhitungan penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini merupakan akibat berlakunya Undang-Undang Pajak tahun 1984, sementara itu sistem peloporan pajak dalam periode ini masih menggunakan Operating method seperti fase sebelumnya. 
 
3. Fase Konsolidasi
Yaitu merupakan fase ketiga, merupakan fase Konsolidasi dari fase perkembangan Leasing di Indonesia, yang terjadi sejak tahun 1991 sampai sekarang. Pada periode ini, izin-izin pendirian perusahaan Leasing yang sebelumnya agak diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan Multi Finance juga didirikan pada periode ini. Salah satu perubahan yang terjadi pada fase ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan Operating method berubah menjadi Financial method. Perubahan sistem perhitungan pajak ini mulai berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991. 
 
Sungguhpun perkembangan bisnis Leasing sudah mulai terasa di Indonesia, banyak pihak yang mengatakan bahwa perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Karena bisnis Leasing masih terbilang relatif baru;
2. Kurangnya promosi dan lemahnya aturan hukum;
3. Masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer, dan belum terhadap barang-barang lainnya;
4. Ada anggapan sementara pihak, bahwa beban yang dipikul oleh para pihak lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan;
5. Untuk Leasing barang-barang tertentu dibutuhkan jaminan, sehingga orang cenderung memilih sistem perbankan.

G. Dasar Hukum Leasing dan Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Leasing 1.Dasar Hukum Leasing 
 
Pranata hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) baru mulai diatur secara khusus untuk pertama kalinya dalam perundang-undangan Negara Republik Indonesia pada tahun 1974. Beberapa peraturan di tahun 1974 tersebut merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum Leasing di Indonesia, peraturan-peraturan tersebut adalah :
a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74, tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing;
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor Kep.649/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing;
c. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor Kep.650/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Beasrnya Bea Materai Terhadap Usaha Leasing;
d. Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor : Peng-307/DJM/III.1/7/1974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing;
e. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no : SE-499/MD/1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyampaian Laporan Perusahaan Leasing;
f. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan;
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no: SE-4835/MD/1983 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pendirian Kantor Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing;
h. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);
i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 834/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing). 
 
Leasing sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang bisnis pembiayaan bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber utama hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) dari segi perdata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber utama hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) dari segi publik.19Dengan demikian dasar hukum Leasing dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu dari segi perdata dan dari segi publik. 
 
1. Segi Hukum Perdata 
 
Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga Leasing, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal dari pihak pihak-pihak yang berkepentingan, terutama Lessee. Dengan demikian, kehendak pihak-pihak tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang menetapkan kewajiban dan hak masing-masing pihak dalam hubungan hukum Leasing. Dalam perundang-undangan juga diatur mengenai kewajiban dan hak pihak-pihak dan hanya akan berlaku sepanjang pihak-pihak tidak menentukan lain secara khusus dalam perjanjian yang dibuat. Dengan demikian, ada 2 (dua) sumber hukum perdata yang mendasari Leasing, yaitu asas kebebasan berkontrak dan undang-undang bidang hukum perdata.
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam perjanjian Leasing, perjanjian selalu dibuat tertulis sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainly). Perjanjian Leasing dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak, memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban Lessor sebagai Perusahaan
Pembiayaan ( Finance Company) dan Lessee sebagai perusahaan atau perorangan yang dibiayai. Perjanjian Leasing dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
b. Undang-Undang Bidang Hukum Perdata
1). Perajanjian Sewa-Menyewa Perjanjian Leasing tergolong ke dalam perjanjian sewa-menyewa karena objeknya adalah barang khusus berupa barang modal, yang juga termasuk menjadi objek sewa-menyewa. Selain itu, kedua belah pihak juga berstatus khusus sebagai Perusahaan Pembiayaan (Lessor) dan perusahaan pengguna barang modal (Lessee), yang juga termasuk dalam pengertian pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Mengenai perjanjian sewa-menyewa ada diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1580 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, dengan demikan ketentuan pasal-pasal tersebut juga berlaku dalam perjanjian Leasing, kecuali jika dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang dari peraturan tersebut. 2). Segi Perdata di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai Undang-Undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur aspek perdata Leasing. Undang-Undang yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berlakunya Undang-Undang ini apabila perusahaan Leasing hukum berbentuk koperasi, sehingga di dalam pendirian dan kegiatan juga harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila perusahaan Leasing berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT).
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing mengadakan perjanjian meneganai hak-hak atas tanah serta pendaftarannya.
d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Lessor melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen (Lessee). 
 
2. Segi Hukum Publik. 
 
Sebagai usaha yang berkiprah di bidang jasa pembiayaan, Leasing banyak menyangkut kepentingan publik, terutama yang bersifat administratif. Oleh karena itu, Leasing banyak diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan Administrasi Negara.
a. Undang-Undang Bidang Hukum Publik
Berbagai Undang-Undang bidang Administrasi Negara yang menjadi sumber utama Leasing adalah sebagi berikut :
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing berurusan dengan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan pendaftaran likuidasi perusahaan.
2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing berhubungan dengan bank.
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini karena Leasing membayar Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan jenis pajak lainnya.
4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, dan peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini karena Leasing wajib melakukan pembukuan perusahaan dan pemeliharaan dokumen perusahaan.
5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Lessor melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen (Lessee). 
 
b. Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan
Pertaturan tentang Lembaga Pembiayaan mengatur Sewa Guna Usaha antara lain adalah :
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Yang diantaranya memuat tentang kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan (pasal 2 – pasal 6), tata cara pendirian (pasal 7 – pasal 13), kepemilikan dan kepengurusan (pasal 14-pasal 20), Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (pasal 21), sanksi (pasal 44).
2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Yang diantaranya memuat tentang prinsip mengenal nasabah (pasal 2- pasal 12), pelaksanaan dan fasilitas pendukung (pasal 13-pasal 16), sanksi (pasal 18). 

2. Pihak-pihak dalam Perjanjian Leasing 
 
Dalam setiap transaksi Leasing selalu melibatkan 3 (tiga) pihak utama, yaitu:2

a. Pihak Lessor
Pihak Lessor adalah perusahaan Leasing yang memiliki hak kepemilikan atas barang modal. Perusahaan Leasing menyediakan dana kepada pihak yang membutuhkan. Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya perusahaan Leasing berhubungan langsung dengan pihak penjual (Supplier), dan telah melunasi barang modal tersebut. Lessor bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh keuntungan, atau memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian jasa pemeliharaan serta pengoperasian barang modal. 
 
b. Pihak Lessee
Pihak Lessee adalah perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada akhir kontrak Leasing. Lessee yang memerlukan barang modal berhubungan langsung dengan Lessor, yang telah membiayai barang modal dan berstatus sebagai pemilik barang modal tersebut. Barang modal yang dibiayai oleh Lessor tersebut kemudian diserahkan penguasaannya kepada dan untuk digunakan oleh Lessee dalam menjalankan usahanya. Pada akhir kontrak Leasing, Lessee mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor, kecuali jika ada hak opsi untuk membeli barang modal dengan harga berdasarkan nilai sisa. 
 
c. Pihak Supplier
Pihak Supplier adalah penjual barang modal yang menjadi objek Leasing. Harga barang modal tersebut dibayar tunai oleh Lessor kepada Supplier untuk kepentingan Lessee. Pihak Supplier dapat berstatus perusahaan produsen barang modal atau pihak penjual biasa. Ada juga jenis Leasing yang tidak melibatkan Supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak Lessor dengan pihak Lessee, misalnya dalam bentuk Sale and Lease back. H. Jenis-Jenis Leasing 
 
Pada prinsipnya ada dua macam jenis Leasing yaitu Leasing yang berbentuk Operating dan Leasing yang berbentuk Finance.23Namun demikian, terdapat juga berbagi bentuk lainnya yang lebih merupakan derifatif dari kedua bentuk pokok tersebut 1.Financial Lease (Hak Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi) Financial Lease sering disebut dengan Capital Lease atau Full-Payout Lease. Financial Lease merupakan suatu corak Leasing yang paling sering digunakan. Dalam jenis ini, Lessor adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Lessee biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama Lessor, sebagi pemilik barang modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi Leasing.
Financial Leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Objek Sewa Guna Usaha (Leasing) dapat berupa barang bergerak dan tidak bergerak, yang berumur maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut.
b. Besarnya harga sewa ditambah hak opsi harus menutup harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan oleh Lessor.
c. Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran per bulan terdiri dari biaya perolehan barang ditambah dengan biaya lain dan keuntungan yang diinginkan Lessor.
d. Jangka waktu berlakunya kontrak relatif lebih panjang, dan resiko biaya pemeliharaan dan biaya lain (kerusakan, pajak, asuransi) atas barang modal ditanggung oleh Lessee.
e. Pada akhir masa kontrak, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang modal sesuai nilai sisa, atau mengembalikannya kepada Lessor, atau perpanjangan masa kontrak dengan pembayaran yang lebih rendah dari sebelumnya.
f. Selama jangka waktu kontrak, Lessor tidak boleh secara sepihak mengakhiri kontrak Sewa Guna Usaha (Leasing) atau mengakhiri pemakaian barang modal tersebut.

2. Operating Lease (Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi) 
 
Operating Lease disebut juga Service Lease. Dalam jenis ini, Lessor membeli barang modal dan selanjutnya disewagunausahakan kepada Lessee. Berbeda dengan Finance Lease, jumlah seluruh pembayaran Leasing berkala dalam Operating Lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan karena Lessor mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang disewagunausahakan, atau melalui beberapa kontrak Sewa Guna Usaha lainnya. 
 
Dalam Leasing jenis ini, dibutuhkan keahlian khusus dari Lessor untuk memelihara dan memasarkan kembali barang modal yang sudah disewagunausahakan kembali.
Ciri-ciri dari Operating Lease adalah sebagai berikut :25
a. Jangka waktu kontrak relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang modal. Atas dasar perhitungan tersebut, Lessor dapat memetik keuntungan dari hasil penjualan setelah kontrak berakhir.
b. Barang modal yang menjadi objek Operating Lease, biasanya barang yang mudah dijual.
c. Jumlah sewa secara berkala (angsuran) yang dibayar oleh Lessee kepada Lessor lebih kecil daripada harga barang ditambah keuntungan yang diharapakan Lessor (non full payout)
d. Segala resiko ekonomi (kerusakan, pajak, asuransi, pemeliharaan) atas barang modal ditanggung oleh Lessor.
e. Kontrak Operating Lease dapat dibatalkan secara sepihak oleh Lessee dengan mengembalikan barang modal kepada Lessor.
f. Setelah kontrak berakhir, Lessee wajib mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor
 
Bahwa selain kedua bentuk utama Leasing diatas, masih terdapat bentuk-bentuknya dari Leasing, antara lain sebagai berikut :

3. Sale and Lease Back ( Jual dan Sewa Kembali) 
 
Dalam bentuk transaksi ini, Lessee membeli terlebih dahulu barang modal atas namanya sendiri, kemudian barang modal tersebut dijual kepada Lessor dan selanjutnya oleh Lessee disewa kembali dari Lessor untuk digunakan kembali bagi keperluan usahanya daalam suatu bentuk kontrak Leasing. Biasanya bentuk Sale and Lease Back ini mengambil bentuk Financial Lease. Sale and Lease Back mirip dengan hutang-piutang uang dengan jaminan barang, dan pembayaran barang tersebut dilakukan secara cicilan. Tujuan Lessee mengunakan bentuk ini untuk memperoleh dana tambahan modal kerja, yang tadinya ditanggulangi sendiri, lalu dialihkan melalui kontrak Leasing
 
Bentuk ini banyak digunakan di Indonesia akibat masalah kesulitan impor barang modal terutama mengenai perizinan, bea masuk, pajak impor, yang banyak memakan biaya. 

4. Direct Finance Lease (Sewa Guna Usaha Langsung) 
 
Dalam bentuk transaksi ini, Lessor membeli barang modal dan sekaligus menyewakannya kepada Lessee. Pembelian tersebut dilakukan atas permintaan Lessee dan Lessee pula yang menentukan spesifikasi barang modal, harga dan Suppliernya. 
 
Dengan kata lain, Lessee berhubungan langsung dengan Supplier dan Lessor membiayai kebutuhan barang modal tersebut untuk kepentingan Lessee. Penyerahan barang langsung kepada Lessee tidak melalui Lessor, tetapi pembayaran harga secara angsuran langsung dilakukan kepada Lessor
 
Jadi, tujuan Lessee adalah memperoleh barang modal untuk perusahaannya dengan pembiayaan secara Leasing dari Lessor
 
5. Syndicated Lease (Sewa Guna Usaha Sindikasi) 
 
Dalam bentuk transaksi, seorang Lessor tidak sanggup membiayai sendiri keperluanbarang modal yang dibutuhkan Lessee karena alasan tidak memiliki kemampuan pendanaan. 
 
Untuk mengatasi hal tersebut, maka beberapa Leasing Companies mengadakan kerja sama membiayai barang modal yang dibutuhkan Lessee. Dalam pelaksanaanya, salah satu Leasing Company bertindak sebagai Coordinator of Laesing Companies untuk menghadapi Lessee dan juga pihak Supplier
 
6. Leveraged Lease 
 
Leveraged Lease merupakan suatu jenis Financial Lease, dengan mana pihak yang memberikan pembiayaan di samping Lessor juga pihak ketiga. 
 
Biasanya Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai tinggi, dimana pihak Lessor hanya membiayai antara 20% sampai dengan 40% dari pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman Lessor dari pihak ketiga tersebut dengan memakai kontrak Leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant. Biasanya dengan Leveraged Lease ini terdapat juga seorang yang disebut manager. Yakni pihak yang melaksanakan tender kepada Lessee, dan mengatur hubungan dan negoisasi antara Lessor, Lessee dan Debt Participant
 
7. Cross Border Lease 
 
Cross Border Lease merupakan Leasing dengan mana pihak Lessor dan pihak Lessee berada dalam dua negara yang berbeda. 
 
8. Net Lease 
 
Ini merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee yang menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak dan asuransinya. 
 
9. Net-net Lease 
 
Ini juga merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee tidak hanya menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak saja, bahkan Lessee harus juga mengembalikan barang kepada Lessor dalam kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian Leasing. Sering juga dipakai istilah Non-Maintenance Lease baik untuk Net Lease maupun untuk Net-net Lease. 
 
10. Full service Lease 
 
Full service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease. Maksudnya adalah Leasing dengan mana pihak Lessor bertanggungjawab atas pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak. 
 
11. Big Ticket Lease 
 
Ini merupakan Leasing untuk barang-barang mahal, misalnya pesawat terbang dan dengan jangka waktu yang relatif lama, misalnya 10 tahun. 
 
12. Captive Leasing 
 
Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah Leasing yang ditawarkan oleh Lessor kepada langganan tertentu, yang telah terlebih dahulu ada hubungannya dengan Lessor. Dalam hal ini, biasanya yang menjadi barang objek Leasing adalah barang yang merupakan merek dari Lessor itu sendiri. 
 
13. Third Party Leasing 
 
Transaksi bentuk ini merupakan kebalikan dari Captive Leasing. Dalam trnasaksi ini, pihak Lessor bebas menawarkan Leasing kepada siapa saja. Jadi, Lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan Lessee
 
14. Wrap Lessee 
 
Wrap Lease merupakan jenis Leasing, yang biasanya pihak Lessor tidak mau mengambil resiko, sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya. Tetapi tentunya ini akan memberatkan Lessee, karena ia akan membayar cicilan yang besar.
Oleh karena itu, pihak Lessor biasanya melease kembali barang tersebut kepada investor yang mau menanggung resiko, sehingga jangka waktu Leasing bagi Lessee menjadi lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil. 
 
15. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on Invescment Lease

Pembagian kepada tiga jenis Leasing ini adalah jika dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh Lessee kepada Lessor
 
Yang dimaksud dengan Straight Payable Lease adalah Leasing yang cicilannya dibayar Lessee kepada Lessor tiap bulannya dengan jumlah cicilan yang selalu sama. 
 
Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease adalah Leasing yang metode pembayaran cicilannya oleh Lessee kepada Lessor dilakukan setiap periode tertentu, miasalnya dibayar tiap tiga bulan sekali. 
 
Sedangkan yang dimaksud dengan Return on Invescment Lease adalah suatu jenis Leasing dimana pembayaran cicilan oleh Lessee kepada Lessor hanya terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan Lessee.


1 komentar: