Senin, 10 Juni 2013

MORALITAS, MAKNA SOSIAL, DAN RETORIKA: KONTEKS SOSIAL DARI PENALARAN MORAL

MORALITAS, MAKNA SOSIAL, DAN RETORIKA: KONTEKS SOSIAL DARI PENALARAN MORAL

  1. RANGKUMAN
Bab ini hendak menguji berbagai asumsi yang beraneka perkembangan model penalaran moral seperti yang di ajukkan teori Kohlberg serta pendekatan secara psikologi sosial dan secara sosiologi terhadap penalaran moral dan sosial serta hendak menyingkap sejauh mana berbagai pendekatan itu dapat dipertemukan. Adapun asumsi yang digunakan dalam bab ini :
  1. Penalaran moral serta perilaku dan cara kerja dalam mempertimbangkan moral yang dilakukan seorang individu tergantung dari teori sosial yang secara implisit didapat dan dianutnya.
  2. Sebagian besar penalaran tentang masalah-masalah moral, sosial, dan politik bersifat retorik (perikatan antara fakta dan nilai).
Pada umumnya kita hanya sewaktu-waktu saja merasakan kebutuhan dan upaya aktual untuk mengambil keputusan mengenai tindakan akan keputusan moral yang praktis itu, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita selalu terlibat dengan mempertimbangkan tingkah orang lain, mengenakan sanksi terhadap sesama kita dan rekan sepergaulan, serta memberikan pula berbagai respon terhadap aneka peristiwa kemasyarakatan dengan cara menghargai ataupun mencelanya. Ada pendekatan secara psikologis social dan pendekatan secara sosiologis jika melihat penalaran moral dan sosial, kedua pendekatan Hanya memuaskan hendaknya mengintegrasikan berbagai factor sosial dan individual, baik dalam teorinya maupun dalam penelitian, yaitu pada bentuk-bentuk ekspresif, evaluatif, dan linguistik dari perilaku moral. Ada beberapa cara yang secara substansial berbeda untuk menjelaskannya diantaranya yaitu : 1. Sebagai individu kita memberi komentar secara deskriptif maupun secara preskriptif mengenai perilaku kita ataupun orang lain. Pendekatan diatas juga menjelaskan bahwa tindakakn moral serta ekspresi seorang individu itu merupakan suatu respons yang pertama-tama ditentukan oleh tuntutan situasi sosial.

  1. Kemudian sejauh mana berbagai pendekatan itu dapat dipertemukan.
  1. Arena pangkal serta pengoperasionalan permasalahan pemaknaan moral itu menjadi tiga persoalan, yaitu :
  • System pemaknaan sosiokultural
  • System pemaknaan interpersonal
  • System pemaknaan intrapersonal
  1. Arena makna intrapersonal lah yang akhir-akhir ini dijadikan fokus dari pendekatan kognitif-developmental.
  2. Meneliti ide retorika itu dalam tiga cara:
  • Bidang penalaran moral
  • Setiap kesimpulan moral atau perbuatan penalaran moral
  • Berbagai pengetahuan serta teori yang dijumpai dalam khazanah kebudayaan.

ARENA KRITIK
Terdapat perdebatan diantara pendekatan “individual” dengan “sosial”, seperti beberapa ahli seperti Lawrence Kohlberg dengan pengeritik lainnya tersebut. Perbedaan keduanya terdapat pada perkembangan moral dari individual mengenai keadilan. Pada teori tersebut terdapat anggapan telah mengabaikan, kurang memberikan makna yang memadai yang telah mempengaruhi teori perkembangan konsep individual mengenai konsep keadilan. Sedangkan itu terdapat 3 pokok utama yang menjadi penolakan sosial tersebut, yang mana akan disampaikan dalam pembahasan.
Untuk mengumpulkan data mengenai penalaran moral dianjurkan mengadakan penilaian dan pertimbangan mengenai berbagai masalah moral atau peristiwa yang dianggap menyimpang atau bersifat problematis, serta di kemukakan pula beberapa kharakteristik yang menarik perhatian. Terdapat cara-cara untuk menyikapi permasalahan tersebut dengan meresponnya dengan baik atau dengan cara penolakan.

BERBAGAI MODEL MAKNA DAN RETORIKA
Pada materi ini asumsi yang di pegang bersama adalah system makna itu mengandung berbagai teori mengenai hakikat dan fungsi moralitas, sekaligus dengan peranannya dalam sistem social maupun kehidupan individual. Berger dan luckmann (1967) menunjukkan betapa lembaga-lembaga sosial serta cara orang bertindak secara normatif terhadap sesamanya itu dimantapkan dan di jelaskan oleh “teori-teori” yang dinyatakan sebagai “pengetahuan umum”. Mengenai asal mula sistem makna serta cara sistem makna itu beroperasi dalam konteks sosial, kedua orientasi yang telah dikemukakan mempunyai asumsi yang berbeda. Telah di pelajari dan didiskusikan tiga wilayah asal mula serta cara beroperasinya sistem makna tersebut, yaitu bersifat sosisokultural, interpersonal dan intrapersonal.
Durkheim dan mauss (1963) mengidentifikasi dua fungsi sistem kepercayaan, yang pertama ialah fungsi spekulatif, fungsi kedua ialah fungsi penjelasan atau eksplanasi. dan secara khusus mencurahkan perhatiannya pada sistem kepercayaan yang bersifat religious semu, akan tetapi mungkin pula dengan maksud untuk mengadakan suatu generalisasi dan menyadari, seberapa jauhkah sistem makna itu, secara tidak terelakkan lagi merupakan campuran dari penjelasan atau eksplanasi dengan prespektif.
Definisi mengenai retorika ada dua, yaitu :
  1. Unsur pertama, yang menyebutkan pembauran antara fakta dan nilai yang tidak terelakkan lagi itu mengakibatkan sebagian besar pernyataan mengenai dunia social menjadi pernyataan asertoris.
  2. Unsure kedua, adalah komunikasi. Perumusan alas an-alasan moral yang bersangkutan dengan pertimbangan moral yang bersanngkutan dengan pertimbangan moral atau preskripsi sosial dan politik jarang diungkapkan karena bersifat pribadi.
WILAYAH PERMAKNAAN : PERTAUTAN ANTARA INDIVIDU DENGAN MASYARAKAT
Berbagai cara yang mungkin digunakan konsep retorika dalam menciptakan pertautan antara berbagai system makna sosiakultural dan antar pribadi. Dalam contoh mengenai perekrutan calon angkatan bersenjata seperti di pembahasan.
  1. Hubungan sosiokultural, system permaknaan sosiokultural mengajukan suatu rentangan kemungkinan teori, penjelasan atau bahasa yang digunakan. Kevektivan retorika dari setiap bentuk teori, penjelasan atau bahasa yang digunakan dalam suatu komunikasi itu tergantung dari seberapa jauhkah semua itu dianut bersama, baik oleh komunikasi maupun komunikatornya. Yang dimaksud dengan “dianut bersama” itu ialah derajat kemampuan kedua pihak saling memahami
  2. hubungan antarpribadi , karakteristik :
  1. tahapan kompleksitas seorang individu akan menyederhanakan penafsiran makna sosiokulturalnya.
Dalam suatu studi yang kami adakan baru-baru ini, kami meminta beberapa orang pemuda untuk memberikan penjelasan tentang landasan tatanan social; di bawah ini diajukan 3 buah contoh yang berlainan dari jawaban mereka itu, yang mencerminkan adanya perbedaan tahapan kompleksitas penalaran mereka (tanda-tanda yang diterangkan dalam kalimat sisipan mengacuh pada tahapan penalaran moral seperti yang digunakan secara umum untuk menandai para respoden yang diikut sertakan dalam pengukuran ala Kohlberg mengenai pertimbangan moral), (Weinreich Haste, Duff, dan Cotgrove, catatan 1 )
  1. Pengalaman pribadi seorang individu akan menyebabkan yang berbeda pada berbagai teori dan retorika yang beraneka.
INTERPERSONAL DAN INTRAPERSONAL
Situasi-situasi imajiner dapat dipandang sebagai contoh dari hubungan anatara wilayah makna interpersonal (antarpribadi) dan intrapersonal.ada dua cara hubungan antara interpersonal serta intrapersonal yaitu: andanya interaksi yang konstan anatara individu dengan penataan makna secara social,anatar organisasi kognitif antar pribadi (interpersonal) dari individu dengan penjabaran makna dan kerangka kerja serta negosiasi dari kelompok , dan penafsiran makna kelompok oleh individu tersebut.

SOSIOKULTURAL dan INTERPERSONAL
Kelompok yang berada dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, yang mengadakan kategorisasi dalam permaknaan; setiap kelompok dihalangi dan dibatasi oleh hal-hal tertentu yang dimungkinkan oleh kebudayaan yang bersangkutan. Penelitian dalam bidang hubungan antar kelompok memperlihatkan rentangan yang luas dari retorika yang mungkin didapatoleh berbagai kelompok dalam suatu kebudayaan, yang masing-masing dapat digunakan untuk memantapkan status “kelompok dalam”dan “kelompok luar” dari masing individu-individu.

  1. PEMBAHASAN
Menguji berbagai asumsi “perkembangan modal penalaran moral” karya KOHLBERG Penalaran moral serta perilaku dan cara kerja dalam memepertimbangkan moral yang dilakukan oleh seorang individu tergantung dari teori social yang secara implicit didapat dan dianutnya. Yang dimaksud adalah bahwa kesadaran akal loyalitas pada tugas tanggung jawab yang berasal dari dalam kepribadian individu-individu. Sebagian besar penalaran tentang masalah-masalah moral, social, dan politik bersifat retorik. Yang artinya semuanya sebenarnya lebih merupakan suatu tindakan atau tanggung jawab komunikatif persuasive yang diterapkan sebagai sebuah prinsip yang kemudian diterapkan diantar teori social.
Pendekatan secara psikologis social dan pendekatan secara sosiologis melihat penalaran moral dan social. Hanya memuaskan hendaknya mengintegrasikan berbagai factor social dan individual, baik dalam teorinya maupun dalam penelitian, yaitu pada bentuk-bentuk ekspresif, evaluative, dan linguistic dari perilaku moral. Ada dua cara yang secara substansial berbeda untuk menjelaskan yaitu : Sebagai individu kita memberi komentar secara deskriptif maupun secara preskriptif mengenai perilaku kita ataupun orang lain.
Kadang kita hanya sewaktu-waktu saja merasakan kebutuhan dan upaya nyata untuk mengambil keputusan tentang tindakan dan keputusan moral yang serba cepat tanpa tau akan konsekwensi yang nantinya ada dibalik perilaku moral tersebut, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita juga terlibat dalam menilai dan memperhatikan tingkah laku orang lain yang berada disekitar kita, kita juga memebrikan sangksi, respon terhadap kejadian yang terjadi di dalam masyarakat dengan cara memuji atau malah mengkritik(celaan). Dalam melakukan tindakan moral kita selalu mencerminkan keyakinan apa yang menentukan tindakan yang kita sukai, hal ini mencerminkan teori yang kita anut dalam berinteraksi dan menerapkan nilai-nilai, kaidah serta pendapat-pendapat budaya dari masyarakat atau daerah kita berasal baik secara individual maupun social.
Pendekatan ini menjelaskan bahwa tindakakn moral serta ekspresi seorang individu itu merupakan suatu respons yang pertama-tama ditentukan oleh tuntutan situasi social. Orientasi utama dari pendekatan ini adalah situasi social sebagai suatu kancah yang mengandung berbagai makna yang bersifat khas dan terpau pada sekarang.yang kedua, situasi social tersebut menyiratkan ekspresi pandangan moral serta kesimpulan moral yang dianut seorang individu mencerminkan system social dan ideology cultural yang dominan pada saat ini. Dimana jika ada minat pada proses social tersebut maka kita kan mencurahkan perhatian baik dalam bentuk bahasa, lambing, dalam generasi berikutnya dalam pemaknaan social dan menggunakan perannya.
Kemudian sejauh mana berbagai pendekatan itu dapat dipertemukan.
  1. Arena pangkal serta pengoperasionalan permasalahan pemaknaan moral itu menjadi tiga persoalan, yaitu :
  1. System pemaknaan sosiokultural, merujuk pada kepada pembatasan mengenai apa yang dapat diketahui individu dan apa yang harus ia gunakan dalam rangka menyatakan atau berkomunikasi terhadap orang lain tentang pengetahuannya kepercayaan yang dia miliki.
  2. System pemaknaan interpersonal, ialah bersifat dua arah dan yang berbentuk interaksi dalam kelompok kecil. Yang merupakan situasi pengalaman komunikasi yang paling sederhana.
  3. System pemaknaan intrapersonal, Arena makna intrapersonal lah yang akhir-akhir ini dijadikan focus dari pendekatan kognitif-developmental. Karena merupakan wilayah keorganisasi kognisi individual dan melahirkan suatu teori kepribadian yang koheren dan bermakna yang diambil dari pengetahuan dan pengalaman.
  1. Meneliti ide retorika itu dalam tiga cara:
  1. Bidang penalaran moral dimana terjadi pembauran antara fakta nilai atau kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi.
  2. Setiap kesimpulan moral atau perbuatan penalaran moral, walaupun bersifat pribadi masih tetap memiliki nilai didaktis dan komunikatif. Contohnya: saya suka akan jurnalistik setiap ada seminar dan sebagainnya yang berhubungan dengan hal tersebut selalu saya ikuti, kemudian timbulah dalam diri saya untuk mengajak teman-teman yang lain dalam jurnalistik tersebut.
  3. Berbagai pengetahuan serta teori yang dijumpai dalam khazanah kebudayaan tidak pernah bersifat netral karena ortodiksi kultur dari masyarakat umum pun membaurkan antara fakta dan nilai.dimana tidak muncul persaingan tapi memunculkan pada tiap individu pemebelaan, kebenaran dan sifatnya yang universal.

ARENA KRITIK
Pada sub bab ini seorang individu menafsirkan berbagai peristiwa moral dan sosial, bagaimana ia memecahkannya, serta sedemikian jauh bagaimana ia bertindak dalam berbagai situasi yang mengandung permaslahan moral. (kohlbergh,1971,1976). Terdapat 3 pokok utama yang menjadikan penolakkan sosial tersebut :
  1. Metode penelitiannya sendiri merupakan suatu situasi sosial, oleh karena itu telah menuntut karakteristik-karakteristik tertentu yang menyulitkan penafsiran respon individual, dan bahkan mungkin menjadikannya bingung, karena mendapati berbagai macam situasi sosial yang berbeda-beda.
  2. Seluruh kegiatan itu, secarasecara cultural, bersifat praduga (bias), karena mengikuti suatu konsep yang menurut kritik itu pada dasarnya merupakan konsep borjuis barat.
  3. Metode dan teori tersebut tidak memperhatikan karya psikologi-sosial mengenai peranan interaksi dalam kelompok kecil serta perbincangan mengenai makna dan peranan bahasa mengenai makna dan peranan bahasa serta berbagai bentuk ekspresi yang menyebabkan individu yang bersangkutan tetap bertahan dalam kelompoknya.
Pada sistem ini meminta kepada responden untuk mengadakan penilaian dan pertimbangan mengenai berbagai masalah moral atau peristiwaa yang dianggap menyimpang atau bersifat problematic. Dari jawaban responden, kami mencoba menetapkan penalaran dan yustifikasi yang dijadikan alasan oleh individu yang bersangkutan dalam memberikan pendapatnya.
Pada tahap ini ditemukan karakteristik yang menarik perhatian, merupakan suatu situasi sosial, suatu interaksi antara penelitian dengan siresponden, karena itu sangat penting agar terciptannya situasi sosial yang di inginkan kedua pihak. Apa yang terjadi itu bukanlah suatu laporan tentang suatu kegiatan, bukan pula merupakan perkiraan mengenai suatu perbuatan. Terdapat suatu refleksi terhadap kegiatan individu yang bersangkutan ataupun orang lain yang dilakukan dimasa lalu mengenai kegiatan yang mungkin dilakukan di masa mendatang. Situasi yang menjadi perhatian respoden biasanya pada akhirnya baginya merupakan suatu situasi baru dan individu yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan pengalaman langsung dari tangan pertama ataupun kedua.
Anak yang berusia sekitar 10 thn, dengan mengikuti orang dewasa atau orang lain dapat mengutarakan kepada kami mengenai cara berpegangan pada aturan permainan serta mengembangkan pemikiran secara logis mengenai persoalan hokum yang adil. Sama baiknya dengan orang yang mencuri obat untuk menyelamatkan jiwa istri istrinnya, mengenai pertanggungjawaban seorang pemimpin terhadap perusahan yang dipimpinya, dengan kata lain, dalam situasi. Sosial ini kita temukan bahwa responden yang bersangkutan ternyata mampu memberikan reaksi terhadap penelitian dengan suatu pembahasan yang rasional mengenai tindakan yang sebenarnya mengenai orang ketiga yang hipotesis.
Akan tetapi bagi psikologi perkembangan. Kognitif, hasil dari situasi yang menarik perhatian kita ini, merupakan suatu pertimbangan dan alasan yang preskriptif , yang dapat ditandai selaras dengan tingkat kompleksitas moral dan kognitifnya. Setiap tingkat perkembangan penolaran moral merupakan suatu pencerminan pemikiran moral yang lebih terintegrasi dan lebih terdiferensiasi. Urutan dari tahapan-tahapan itu merefleksikan perubahan dan pemahaman yang lebih meningkat dalam hubungan anatara individu dengan orang lain, dengan kelompoknya, dengan pergaulan hidupnya dan akhirnya dengana masyarakat.

BERBAGAI MODEL MAKNA DAN RETORIKA
Yang dimaksud dengan sistem makna ini ialah konteks symbol yang memukinkan lahirnya perilaku yang ekspresif, tindakan komunikatif dan penafsiran perilaku moral. Makna itu mencerminkan pula penjelasan mengenai tantanan buadaya, dan juga bahkan tatanan alam semesta (kosmologis), ini semua merupakan bagian dari perbendaharaan yang dibuat oleh semua anggota masyarakat, dan bukan hanya oleh sementara orang yang dianggap memiliki hak khusus untuk tampil sebagai penyusunan teori-teori tersebut secara professional.
Moscovici telah mengembangkan suatu konsep mengenai”representasi sosial” dan telah menguji pula bagaimana masyarakat dan kelompok itu melibatkan dan mengaitkan diri untuk menjunjung tinggi makna dan mengaitkan diri untuk menjunjung tinggi makna dan kategorisasi yang memberikan kerangka penjelasan dan karakterisasi. Oleh karena itu sistem makna sosial dapat dipandang sebagai perbendaharaan makna yang memungkinkan orang yang memberikan penjelasan mengenai dunia sosial dan dunia fisik.
Yang terutama dituntut oleh perbendaharaan makna ini adalah mereka yang dapat diterima menurut ukuran budayannya dalam lingkungan individual mereka. Bahwa perbendaharaan makna kebanyakkan orang akan dapat diterima secara cultural, sebab perbendaharaan makna itu untuk sebagian besar pertama-tama dijabarkan dari kebudayaan, sedang perbendaharaan asing merupakan akibat dari sanksi-sanksi sosial.
Durkheim dan Mauss (1963) mengidentifikasikan dua fungsi sistem kepercayaan. Yang pertama ialah fungsi spekulatif yaitu usaha untuk mengupayakan agar permasalahn dapat dipahami dan fungsi kedua ialah fungsi penjelasan atau eksplanasi. Fungsi yang kedua ini merupakan fungsi moral, dengan maksud untuk mengatur perilaku manusia. Mereka berdua secara khusus mencurahkan perhatiannya pada sistem kepercayaan yang bersifat religious-semu, akan tetapi mungkin pula dengan maksud untuk mengadakan suatu generalisasi dan menyadari seberapa jauhkan sistem makna itu, secara tidak terelakkan lagi merupakan campuran dari penjelasan atau eksplanasi dengan preskripsi.
Contoh teori retorika dan sosial, seperti pada apakah Hein itu memang harus mencuri obat-obatan itu(untuk menyembuhkan isterinya yang sedang sakit gawa), sering kita menerima jawaban bahwa seharusnya ia tidak mencuri, ini merupakan pernyataan yang bersifat preskriptif. Apabila kita kemudian meneliti sedikit lebih mendalam lagi, maka kita mendapatkan suatu yustifikasi (untuk mencuri), yang dinyatakan sebagai suatu penjelasan, seperti setiap orang pun mencuri, tidak seorang pun yang dapat mempercayai orang lain. Pernyataan-pernyataan ini mencerminkan pemahaman individu yang bersangkutan mengenai landasan pertautan sosial, yang merupakan teorinya mengenai apa yang memungkinkan suatu sistem politik sosial itu dapat berjalan.
Unsur pertama dari definisi mengenai retorika ialah pembauran antara fakta dan nilai yang tidak dapat terelakkan lagi itu mengakibatkan sebagian besar pernyataan mengenai dunia sosial menjadi pernyataan asertoris, artinya pernyataan tersebut secara implicit diartikan : “ X harus benar, dan ini berarti bahwa Y pun harus benar”. Semakin kebudayaan itu bersifat serbaneka atau pluralistic, pernyataan tersebut akan makin bersifat eksplisit, sebab bila lebih banyak ditemukan teori-teori yang secara eksplisit bersifat bertentangan.
Unsur kedua dari definisi retorika adalah komunikasi. Dimana alas an moral yang bersangkutan dengan pertimbangan moral, ataupun preskripsi sosial dan politik jarang sekali merupakan sekedar ungkapan yang semata-mata bersifat pribadi. Untuk melakukan hal ini kita harus memiliki seperangkat kode komunikasi walaupun mungkin kita tidak sepenuhnya setuju dengan kebenaran teori tersebut. Sebagai contoh cuplikan propaganda dari PD I yang beredar di inggris raya dan amerika Serikat berupa poster untuk masuk angkatan bersenjata. Kedua Negara itu mengajukkan asumsi yang berbeda mengenai apa sebenarnya yang mengharuskan orang untuk bertindak, dan perbedaan dalam kedua asumsi itu mencerminkan dua pandangan yang sangat berbeda mengenai apa yang diperebutkan dalam perang tersebut.

INTERPERSONAL DAN INTRAPERSONAL
Situasi imajiner dapat dipandang sebagai contoh dari hubungan antar pribadi dan kelompok (yang berasal dari luar dirinya). Kemampuan yang terbatas dalam hal pelaksanaan dan teori yang dimilikinya diterapkan individu- individu saat berinteraksi, baik dalam keadaan berdua atau bersama kelompok, tetapi dalam kelompok situasi kemampuan secara penerapan dan teori yang dimilikinya atau dianutnya itu diatur dalam konteks normative dan dengan ini ia menyederhanakan perilakunya, baik secara verbal dan non verbal. Sedikit dari proses ini dapat terbaca dalam beberapa kutipan dari studi Damon (1977) mengenai keterlibatan orang dalam suatu perundingan.
Studi tersebut melibatkan 3 orang anak berusia 10 tahunan yang merundingkan bagaimana caranya membagi beberapa cokelat diantara mereka yang membuat beberapa gelang ditambah dengan denis.
Dalam studi ini memperlihatkan keputusan-keputusan yang didasarkan pada macam-macam bentuk dan kelayakan. Akan tetapi disamping itu keputusan-keputusan tersebut menyingkapkan pula berbagai teori mengenai aneka corak hubungan, serta memperlihatkan pernyataan dalam berbagai jenis fakta dan nilai (retorika) yang selaras dengannya, hal ini mencerminkan cara bagaimana masing-masing anak merumuskan situasi sosial tersebut.
Breakwell (1983) beranggapan bahwa masih ada peranan lain dari retorika bahasa itu, yaitu untuk menentukan dan memelihara identitas kelompok. Seorang individu mendapatkan seperangkat istilah pokok berkenaan dengan ejekkan dan penghargaan yang dipelajarinya dalam lingkungan kebudayaanya melalu pengalaman dalam situasi antar pribadi; ini dapat digunakanynya untuk memantapkan keanggotaanya dalam kelompok yang bersangkutan serta untuk menunjukkan identitasnya terhadap rekan-rekannya yang langsung dalam kelompok tersebut.
Ada dua cara hubungan antara interpersonal serta intrapersonal. Ada interaksi yang konstan antara individu dengan penataan makna secara sosial, antara organisasi kognitif antarpribadi (interersonal) dai individu dengan penjabaran makna dan kerangka kerja serta negosiasi dari kelompok, dan penafsiran makna kelompok oleh individu tersebut.
Habermas (1979) telah mengajukan sebuah model hubungan antara intrapersonal dan interpersonal, yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan kemampuan dasar individu dalam hubunganya dengan pengalaman sosial. Selama perkembangannya, si anak mengembangkan kemampuan dasarnya dalam hal apa yang disebut Habermas dengan istilah “tindakan komunikasi” . hubungan timbale balik atau interaksi anak dengan orang lain merupakan symbol yang simboliknya. Kemampuan dasar dalam tindakkan komunikasi ini meluas melalui hubungan timbal balik dengan orang laian, dengan kelompok, dan dengan masyarakat, dan akhirnya dengan meluasnya kemampuan dasar ini alam simbolik dari individu yang bersangkutan meluas pula. Habermas beranggapan bahwa tahapan penalaran moral mencerminkan perubahan dalam lam simbolik dan dalam tingkatan komunikatif. Dalam model ini, hubungannya terdapat antara tindakan terhadap dunia sosial dan tindakkan di dalam dunia sosial; jadi persoalannya bukan sekedar perubahan dalam kemampuan atau kapsitas untuk mengkonseptualisasikan (menerapkannya) di dunia sosial.

SOSIOKULTURAL dan INTERPERSONAL
Dalam contoh yang dikutip dimuka, anak-anak yang merupakan subjek penelitian dari studi damon memungkinkan diadakan penentuan oleh seorang anggota kelompok, yaitu orang dewasa, bahwa (1) tugas kelompoknya adalah adanya partisipasi bersama; dan (2) kegiatan tersebut hendaknya menempuh jalan “ pembahasan secara rasional” selaras dengan apa yang telah disepakati secara kultur. Pada kesempatan lain mungkin saja kelompok itu diperkenankan memilih untuk menentukan sendiri maslah keadilan tersebut dengan jalan memperlihatkan kukuatan fisik atau melalui cemoohan, perilaku seperti itu mungkin menentukan kembali kelompok “yang menang”, dan dengan demikian menentukan kembali pembatasan siapa yang berhak mendapatkan batangan coklat itu . beberapa perbedaan diantara kelompok-kelompok itu mungkin disebabkan oleh tahapan moral individual dari para anggota kelompok itu. Seperti tersingkap dalam diskusi menegnai dilemma moral dan maslah moral dalam situasi masyarakat oleh Higgins, Power dan Kohlberg (bab ) yang mengenai kibbutzim oleh reamer dan Power (1980), jelasalh bahwa tahapan umum penalaran moral dari anggota kelompok sebagai individu memepngaruhi kesepakatn yang diperbincangkan itu; ini merupakan contoh kendala intrapersonal yang berlangsung dalam kelompok.
Akan tetapi ada berbagai hal dari teori moral dan retorika moral yang sama-sama dapat diterima kultur, penelitian dalam bidang hubungan antar kelompok memperlihatkan rentangan yang luas dari retorika yang mungkin didapat oleh berbagai kelompok dalam suatu kebudayaan, Kelompok ini berada dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, yang mengadakan kategorisasi dalam permaknaan; setiap kelompok dihalangi dan dibatasi oleh hal-hal tertentu yang dimungkinkan oleh kebudayaan yang bersangkutan. Penelitian dalam bidang hubungan antar kelompok memperlihatkan rentangan yang luas dari retorika yang mungkin didapatoleh berbagai kelompok dalam suatu kebudayaan, yang masing-masing dapat digunakan untuk memantapkan status “kelompok dalam”dan “kelompok luar” dari masing individu-individu. Hubungan sosiokultural menentukan suatu jumlah tertentu yang mungkin digunakan bagi pemaknaan intrapersonal dan juga suatu jumlah tertentu bagi pemaknaan interpersonal. Kelompok-kelompok yang berkuasa , tidaklah bisa menurunkan retorika(penjelasan dan definisi yang baru) yang mungkin termasuk dalam system makna cultural yang lebih luas, pembahasan interpersonal berkenaan dengan persoalan seksisme, sebagian bahasan tersebut dilaksanakan dalam bentuk mengugah kesadaran kelompok.
Hal ini mempenyai dampak yang patut mendapatkan perhatian terhadap konsep dan penggunaan bahasa. Dalam periode terjadi perubahan sosial yang begitu cepat, ide-ide baru, penjelasan atau eksplanasi baru, dan retorika baru seiring diturunkan diantara kelompok-kelompok kecil , dan secara cepat hal ini terpadu dan disebarluaskan dalam kebudayaan, dan secara cepat hal ini terpadu dan disebarluaskan dalam kebudayan. Proses tersebut merupakan bagian dari perubahan sosial.

  1. KESIMPULAN
Bahwa penalaran moral dan penjelasan atau eksplansi sosial tersusun melalui berbagai proses interaksi sosial yang telah mengkomunikasihkanya dengan pihak lain. Penjelasan, retorika yang berkaitan dengannya, yang terbentuk melalaui penyelesaian dilemma hipotesis merupakan pula pembahsan dasar dari situasi nyata dan biasa, pemikiran yang biasa dari individu-individu, mengenai kehidupan pribadi mereka orang lain yang penting dan dengan institusi masyarakat. Itu semua merupakan bagian dari teori individu yang berangkutan menegnai berbagai maslah sosial dan moral. Penjelasan dan retorika ini mudah didapat oleh individu yang bersangkutan melalui pengalaman budaya dan pengalam antar pribadi (interpersonal); biasanya orang tidak berpikir dan tidak berteori dalam keadaan menyendiri. Proses memperbincangkan penetuan diri seseorang mengenai dirinya sendiri serta mengenai duniannya berlangsung dalam kelompok-kelompok dan hubungan berpasangan, dimana oranng dapat belajar merundingkan berbagai makna dengan orang lain dan untuk kepentingan diri sendiri; kedua proses tersebut berkaitan secara integrasi. Masing-masing tidak dapat berada tampa disertai yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar