Sabtu, 22 Juni 2013

SISTEM PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARI’AH

 
BAB I
PENDAHULUAN

 
Menurut pasal 1 undang-undang No. 4 Tahun 2003 tentang Perbankan, Bank adalah Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan menurut pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
 Dengan demikian jelas dinyatakan dalam kedua pasal di atas bahwa bank adalah lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya baik secara syariah maupun konvensional dalam fungsinya sebagai intermediasi antara masyarakat yang memiliki dana lebih (deposan) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (kreditur). 
Dalam fungsinya sebagai intermediasi antara deposan dengan kreditur, maka bank harus melakukan kegiatan penghimpunan dana dari pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada kreditur. Dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai produk-produk penghimpunan serta pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan subject yang dikenakan yaitu Bank Syariah. Demikian materi yang akan kami sampaikan dalam makalah ini, semoga dapat bermanfaat.

 
BAB II
SISTEM PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARI’AH

A.    Pengertian
Pengertian penghimpunan dana adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk mencari dana kepada pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada pihak kreditur dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai intermediasi antara pihak deposn dengan pihak kreditur.
B.     Sumber-sumber dana bank
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain:
1.      Modal, yaitu dana yang diserahkan oleh pemilik. Pada akhir priode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. Dana modal dapat dipergunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya.selain itu, modal juga dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan.
2.      Titpan
3.      investasi
C.     Prinsip penghimpunan dana bank syari’ah
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah
Prinsip wadiah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada kegiatan penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Di Indonesia, hampir semua Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah pada tabungan giro. Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada Bank Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
Penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah, dapat dibagi atas dua skema yaitu skema muthlaqah dan skema muqayyadah. Dalam penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah muthalaqah, kedudukan Bank Syariah adalah sebagai mudharib (pihak yang mengelola dana) sedangkan penabung atau deposan adalah pemilik dana (shahibul maal). Hasil usaha yang diperoleh bank selanjutnya dibagi antara bank dengan nasabah pemilik dana sesuai dengan porsi nisbah yang disepakati dimuka.
Dalam penghimpunan dana dengan pinsip mudharabah muqayyadah, kedudukan bank hanya sebagai agen saja, karena pemilik dana adalah nasabah pemilik dana mudharabah muqayyadah, sedang pengelola dana adalah nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah. Pembagian hasil usaha dilakukan antara nasabah pemilik dana mudharabah muqayyadah dengan nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah. Bank sebagai agen dalam hal ini menerima fee saja. Pola investasi terikat dapat dilakukan dengan cara chaneling dan executing. Pola chaneling adalah apabila semua risiko ditanggung oleh pemilik dana dan bank sebagai agen tidak menanggung risiko apapun. Pola executing adalah apabila bank sebagai agen juga menanggung risiko. Prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam kegiatan usaha bank syariah untuk produk tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Tujuan dari kegiatan penghimpunan dana adalah untuk memperbesar modal, memperbesar asset dan memperbesar kegiatan pembiayaan sehingga nantinya dapat mendukung fungsi bank sebagai lembaga intermediasi.

1.      Tabungan Wadi’ah
Salah satu prinsip yang digunakan bank syari’ah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi’ah.[1]
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Terkait dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya (nasabah) menghendaki. Di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil pemanfaatan harta titipan tersebut.
Dalam tabungan wadiah, bank dengan nasabah tidak boleh mensyaratkan pembagian hasil keuntungan atas pemanfaatan harta tersebut. Namun bank diperbolehkan memberikan bonus (fee) kepada pemilik harta titipan (nasabah) selama tidak disyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus (fee) merupakan kebijakan bank yang bersifat sukarela.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa ketentuan umum berkenaan dengan tabungan wadiah, yaitu sebagai berikut:
l    Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik.
l    Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi hak atau tanggung jawab bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan menanggung kerugian.
l    Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai insentif selama tidak diperjanjikan di akad awal pembukaan rekening.

2.      Tabungan Mudharabah
Prinsip lain yang digunakan bank syari’ah dalam menghimpun dana adalah dengan memakai prinsip investasi. Akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah. Tujuan dari mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib) dalam hal ini adalah bank syari’ah.[2]
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah sendiri mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutalaqah dan mudharabah muqayyadah, perbedaan yang mendasar diantara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik harta kepada pihak bank dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib berhak untuk melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain. Namun, di sisi lain, Bank Syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, bila yang terjadi adalah miss management (salah urus), bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Dalam mengelola harta mudharabah, bank menutup biaya oprasional tabungan dengan hasil nisbah yang menjadi hak nasabah pemilik dana. Disamping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah penabung tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PPH bagi hasil tabungan mudharabah dibebankan langsung ke rekening tabungan nasabah pada saat penghitungan bagi hasil.
3.      Simpanan Giro
Dalam bahasa sehari-hari kata simpanan sering disebut dengan nama rekening atau account, dimana artinya sama. Dengan demikian simpanan atau rekening berarti memiliki sejumlah uang yang disimpan di bank tertantu atau dengan kata lain simpanan adalah dana yang diamanahkan oleh masyarakat untuk dititipkan di bank. Dana dana tersebut kemudian dikelola oleh bank dalam bentuk simpanan, seperti trekening giro, rekening tabungan dan rekening deposito unutk kemudian diusahakan kembali dengan cara disalurkan ke masyarakat.
Pengertian giro menurut Undang-Undang Perbankkan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 adalah Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.[3]
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang benar secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Yang dimaksud giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah yad al-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti wadiah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk giro, Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun Bank Syariah diperkenankan untuk memberikan insentif berupa bonus (fee) dengan catatan tidak diperjanjikan sebelummnya.
Dari pemaparan di atas, maka dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah sebagai berikut:
l    Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
l    Keuntungan atau kerugian dari pegelolaan dana menjadi milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik tidak dijanjikan imbalan atau menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak diperjanjikan di awal.
l    Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian maupun seluruhnya.
4.      Simpanan Deposito
Yang juga termasuk produk bank dalam bidang penghimpunan dana (founding) adalah deposito. Berdasarkan undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah
Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai wali amanah (trustee), yakni harus bertindak hati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar aturan syariah.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil keuntungan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah miss management (salah urus), maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana terhadap bank, terdapat dua bentuk mudharabah, yaitu:
l    Mudharabah Mutalaqah
l    Mudharabah Muqayyadah
Dalam deposito mutalaqah, pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada pihak Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan kebebasan penuh dalam mengelola dan menginvestaikan dana mudharabah muthalaqah ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
Berbeda dengan deposito mudharabah mutalaqah, dalam deposito mudharabah muqayyadah, pemilik dana memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana mudharabah muqayyadhah ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
a.       Deposito berjangka
Deposito berjangka merupakan deposito yang diterbitkan dengan jenis jangka waktu tertentu. Deposito berjangka diterbitkan atas nama baik perorangan maupun lembaga. Artinya, di dalam bilyet deposito tercantum nama seseorang atau lembaga si pemilik deposito berjangka. Dan penarikan deposito ini dapat dilakukan jika sujah jatuh tempo.[4]
b.      Sertifikat deposito
Sama seperti deposito berjangkan, sertifikat deposito merupakan deposito yang diterbitkan berdasarkan jangka waktu tertentu. Bedanya, kalau sertifikat deposito diterbitkan atas unjuk dalam bentuk sertifikat serta dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

BAB III
SISTEM PENGELOLAAN DANA BANK SYARI’AH

A.    Pendahuluan
Bank syari’ah adalah lembaga perantara anatara pemilik dana dengan pemakai dana. Sebagaimana pengertian bank di atas, disini bank mengambil peran pemilik dana untuk mengelola dana tersebut dengan cara menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan dana.
Dalam penyaluran dana tersebut, bank syari;ah dapat melakukannya dengan cara memberikan pembiayaan, dimana pembiayaan ini merupakan salah satu tugas pokok bank untuk mendapatkan keuantungan.
Menurut sifat pengunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produksi dapat dibagi menjadi dua, yaoitu:
1.      Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (b) untuk keperluan perdagangan.
2.      Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan investasi sendiri.[5]
B.     Pembiayaan modal kerja
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan pitang dan pembiayaan persediaan.
Bank syari’ah dalam membantu memenuhi kebutuhan modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha atau pengelola (mudharib). Pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Adapun keuntungan transaksi jenis ini adalah bagi hasil/rugi dari pengelolaan dana tersebut.
1.      Pembiayaan likuiditas
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah.
Bank syari’ah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk qard timbale balik atau yang disebut dengan compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah membuka rekening giro dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2.      Pembiayaan persediaan
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunaka untuk mendanai pengadaan persediaan.
Bank syari’ah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli denganpembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Adapun jenis akad yang digunakan dalam pembiayaan jenis ini bias dengan akad al-murabahah, al-istisna’, as-salam.
C.     Pembiayaan investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah untuk keperluan investasi. Keperluan investasi secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah maupun musyarakah. Sebagai contoh, pembuatan pabrik baru, perluasan pabrik, usaha baru, perluasan usaha, dan sebagainya.
Dengan cara ini, bank syari’ah dan pengusaha merbagi resiko usaha yang saling menguntungkan dan adil. Agar bank syari’ah dapat berperan aktif dalam kegiatan usaha dan mengurangi kemungkinan risiko, seperti moral hazard (jebakan moral), maka bank dapat memilih untuk menggunakan akad musyarakah.[6]
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syari’ah menggunakan musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih usaha tersebut.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syari’ah adalah al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan.
D.    Pembiayaan konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok) dan kebutuhan skunder.kebutuhan primer adalh kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan.
Adapun kebutuhan skunder adalah kebutuhan tambahan yang secara kualitatif maupun kuantitatif yang lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraandan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan dan sebagainya.
Pada umumnya, bank syari’ah membatasi pemberian biaya untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah. Seperti rumah, kendaraan bermotor yang kemudian menjadi barang jaminan utama.[7]


BAB IV
PENUTUP

   A.   Kesimpulan
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain: modal,titipan dan investasi.
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah


   B.    Saran
Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar