Selasa, 25 Juni 2013

“Prinsip-Prinsip Pengukuran Laut dan Sejarah Rezim-Rezim Hukum Laut”

1.PRINSIP-PRINSIP PENGUKURAN LAUT.

Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengaturmengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikangaris pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial harus sesuai denganketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batasyang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yangditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapangaris batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainyaberhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam petadengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garisposisinya (pasal 16 ayat 1).

Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garisbatas terliat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuaidengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai denganketentuan penetapan batass ekonomi eksklusif antar negar yangpantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harusdicantumkan pada pea dengan sekala yang memadai untukmenentukan posisi nya (Pasal 75 Ayat 1).

Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluarlandas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai denganketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yangpantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harusdicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadaiuntuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1).

Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatankepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayahlandas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal.Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 millaut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untukmelakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinenIndonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dankondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapatdiajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinendiluar 200 mil laut.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,

1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8..Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan lautsesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturantersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasukIndonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairanpedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untukzona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen,negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkansumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas
merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,sedangkan kawasandasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagianwarisan umat manusia.

2. Sejarah Rezim-rezim Hukum Laut.

Pada abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritimdiberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkanmelalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara-negara tersebut yaiut adalah Negara-negara yang terkenal kuat dantangguh di lautan yaitu antara Spanyol dan Portugis.

Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjianTordesillas thn 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (dibawah Elizabeth 1) dan Belanda.

Konferensi Internasional utama yang membahas masalah lautteritorial ialah “codification conference” (13 Maret – 12 April 1930) diDen Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiridelegasi dari 47 negara.

Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar darilaut teritorial dan hak menangkap ikan dari negaranegara pantai padazona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20negara), 6 mil (12 negara), dan
4 mil.
Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan katakesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentangwilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konfrensi hukum laut pertama pada tahun 1958dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yanglebuh dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS 2.
Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah
konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah, yaitu:

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention onthe territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dandiusulkan dilanjutkan di UNCLOS II

2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)
a. Kebebasan pelayaran
b. Kebebasan menangkap ikan
c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d. Kebebasan terbang di atas laut lepas

3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumberhayati di laut lepas (convention on fishing and conservation of theliving resources of the high sea)

4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf).

Konvensi ini telah disetujui.
Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanaknkonfrensi hukum lautyang kedua atau UNCLOS II, membicarakantentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namunmasih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehinggaperlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untukmengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalampengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum LautPBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disapakati 2 konvensi yaitu:

Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBBtentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica (10Desember1982),ditandatangani oleh 119 negara.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia,Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico,Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.

Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk
memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan Liga
Bangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknyapada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi negaranegara didunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih
sempurna adalah:
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi
bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.

Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas,terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telahdisepakati oleh beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yangselanjut nya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.

Daftar Pustaka
Peter Malacz Akehurst’s, Modern Introduction to International Law
karangan Routledge Press London, UK pada tahun 2003(The Law of
The Sea).


SEJARAH PENETAPAN BATAS LAUT NEGARA 

1 Votes
Penetapan batas negara secara alamiah menjadi menjadi salah satu syarat utama suatu bangsa sudah berdaulat, yaitu:
(a) Memiliki wilayah,
(b) Memiliki pemerintahan,
(c) Memiliki warga negara.
Batas negara diperlukan untuk memberikan batas kewenangan dan penguasaan bagi suatu pemerintahan selain menunjukkan suatu negara memiliki wilayah. Untuk dapat menetapkan suatu batas wilayah diperlukan suatu landasan hukum yang mengaturnya. Bila dilihat dari perjalanan waktu, penetapan batas negara di laut jauh lebih maju daripada darat dikarenakan tingkat kesulitan penetapan batas di laut yang lebih tinggi.
I.1. Masa Imperium Romawi
Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut Rhodes tentang perdagangan) karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium) sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang.

Peraturan-peraturan hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 atau ke-3 SM, sangat berpengaruh di daerah Laut Tengah karena prinsip-prinsipnya diterima baik oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Kitab Undang-Undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad ke-7 Masehi oleh orang-orang Romawi didasarkan pada peraturan-peraturan hukum laut Rhodes. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata).

I.2. Masa Abad Pertengahan
Negara-negara yang muncul setelah keruntuhan Imperium Romawi, masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya, seperti Venetia menuntut sebagaian besar Laut Adriatik dan Genoa mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria. Alasan negara-negara melakukannya, adalah:
  1. Perlindungan kesehatan (karantina), terutama terhadap penyakit bahaya pes.
  2. Pencegahan penyeludupan (bea cukai).
  3. Pertahanan dan netralitas (suatu daerah yang bebas dari tindakan permusuhan yang penguasaannya tergantung kemampuan pantai).
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara terhadap laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang disebut Post-Glossator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas azas-azas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi.
Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian atas laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai (Laut Teritorial) dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun (Laut Lepas). Baidus membedakan tiga konsepsi berkaitan dengan penguasaan atas laut, sebagai berikut:
  1. Tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai sumber kekayaan alam.
  2. Tindakan untuk kepentingan Hankam, bea cukai, kesehatan dan lain-lain.
  3. Tindakan yang bertujuan melindungi laut sebagai sarana komunikasi.
Tahun 1493 Paus Alexander VI mengeluarkan piagam Inter Caetera, yang berisi tentang pembagian wilayah dan samudera di dunia menjadi dua kekuasaan yaitu Portugal dan Spanyol sebagai upaya penyelesaian konflik diantara mereka. Kerajaan Inggris masa itu juga menganut domino maris, yang dilandasi hasrat untuk  melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan asing, yaitu dengan menyatakan laut sebagai King’s Chamber (oleh raja Charles II) dimana batas-batas menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung-ujung kepulauan Inggris.

I.3. Perkembangan Doktrin Hukum Laut
Tantangan keras terhadap konsepsi laut tertutup (mare dausum) berdasarkan doktrin domino maris dari pihak yang memperjuangkan azas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun juga dipelopori Hugo Garatius (Belanda) dan Ratu Inggris Elizabeth. Hal ini ditunjukkan perlawanan armada laut Belanda dan Inggris terhadap armada Spanyol.

Azas Kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium (1609), yang berisi tentang pembelaan hak orang Belanda (atau orang lain selain Portugis dan Spanyol) untuk mengarungi lautan (termasuk hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) dimana alasannya adalah laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada pemiliknya. Reaksi keras muncul dari penulis-penulis Inggris seperti Wellwood dan Selden karena dalam tahun yang sama (1609), Raja Inggris James I mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Salah satu teori yang merupakan kompromi antara teori mare dausum dan mare liberum diajukan oleh Pontanus (Belanda) dengan membagi laut menjadi dua bagian yaitu laut yang berdekatan dengan pantai (yang berada di bawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai) dan lautan yang bersifat bebas.

Menurut teori yang merupakan  penyempurnaan dari teori Bartolus ini, laut yang berdekatan dengan pantai dijadikan bagian dari wilayah negara pantai sehingga lenyaplah perbedaan antara imperium (kedaulatan) dan dominium (kepemilikan) yang dibuat oleh Grotius. Pontanus dapat dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya dari konsepsi laut teritorial yang dikenal dalam hukum laut sekarang. Seratus tahun setelah terbitnya Mare Liberium, Cornelius van Bynkershoek (Belanda) menulis buku De Dominio Maris Dissertatio yang menolak dalil John Selden yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur tertentu (dengan ukuran lebar yang tidak terlalu besar) di bawah kedaulatan negara pantai. Sehingga dikenal suatu azas penguasaan laut dari darat berupa suatu Kaidah Tembakan Meriam, yaitu berbunyi :”kedaulatan teritorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir”. Dalam sejarahnya ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai, yaitu:
  1. Ukuran tembakan meriam.
  2. Ukuran pandangan mata.
  3. Ukuran marine league.
Setelah itu baru muncul ukuran tiga mil laut yang dalam jangka panjang waktu cukup lama dianggap sebagai ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum. Usaha untuk mencoba menggambarkan kaidah tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit pertama kali dilakukan oleh Galiani (Italia) dengan menghubungkannya dengan suatu jalur netralitas yang lebarnya tiga mil, selanjutnya Domenico Anzuni (Italia) lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan kaidah tembakan meriam 3 mil. Terjadi kekeliruan seperti penulis George Friedrich Von Marten yang tidak menyamakan dengan tiga mil melainkan dengan tiga league (suatu ukuran dengan panjangnya tiga mil).
Diundangkannya Territorial Waters Jurisdiction Act (1878) oleh Inggris, memperjelas ukuran tiga mil sebagai kaidah yang berdiri sendiri apalagi saat itu kedudukan armada perang dan niaganya dengan negara-negara Eropa Barat lainnya dan Amerika Serikat yang semuanya menganut kaidah tiga mil, memberikan kesan ini berlaku umum.

II. Aspek Legal Penentuan Batas Negara Indonesia

        Penetapan legalitas batas negara Indonesia tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan perjuangan baik secara fisik maupun non-fisik untuk mendapat pengakuan atas kedaulatan wilayah negara Indonesia. Agar lebih jelasnya maka perjuangan bangsa Indonesia atas kedaulatan wilayahnya dipaparkan dalam rangkaian waktu, sebagai berikut:

 II.1.   Konsepsi Wawasan Nusantara dan Deklarasi Djuanda 1957

       Sebelum tahun 1957 sesuai dengan “ Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonatie tahun 1939”, lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia (Djalal, H., 1979).

                Menjelang tahun 1957 ketentuan ini terasa sangat tidak memadai lagi untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan vital Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi maupun Hankamnas. Satu-satunya jalan yang paling tepat untuk menjamin kepentingan Indonesia tersebut adalah melalui jalan garis-garis dasar, yaitu melalui “konsepsi archipelago” atau “Wawasan Nusantara”.

       Melalui konsepsi Nusantara ini, maka pelaksanaan soverenitas Indonesia ke laut dapat dibatasi kepada perairan-perairan Nusantara saja, bilamana perlu untuk dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan terhadap usaha-usaha penyatuan bangsa, pemeliharaan kestabilan dan keamanan, serta pemeliharaan kekayaan-kekayaan alam di perairan Indonesia tersebut. Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan (deklarasi) mengenai wilayah Perairan Indonesia, sebagai berikut: “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negaraIndonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang”(Kusumaatmadja, M., 1999). Pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, adalah:

1.        Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan sendiri;
2.        Bahwa bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;
3.        Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia;
4.        Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. Pernyataan ini dikeluarkan Pemerintah Indonesia disaat sedang menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam (sengketa Irian Barat dengan Belanda dan pemberontakan dalam negeri). Sehingga tahun 1956 dibentuk panitia Interdepartemental untuk meninjau kembali masalah laut teritorial dan lingkungan maritim.

Dimana ditetapkan doktrin wawasan nusantara memiliki tiga landasan (Pandoyo, S.T., 1994), sebagai berikut:
1.        Landasan Ideal: Pancasila (terutama sila Persatuan Indonesia).
2.        Landasan Konstitusional : Undang-Undang Dasar 1945 (alinea IV Pembukaan UUD 1945, yis. Pasal 1 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
3.        Landasan Operasional: Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 (sejak dari Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 masing-masing tentang GBHN).

Pengumuman Pemerintah (13 Desember 1957) tersebut akan dipertahankan dalam Konferensi Internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diselenggarakan pada bulan Februari 1998 di Jenewa.

II.2.   PP Pengganti UU No.4 Tahun 1960 (Pengukuhan Deklarasi Djuanda)

       Seperti termaktub di dalam Deklarasi Djuanda 1957 kalimat terakhir, bahwa penentuan batas laut teritorial Negara Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang. Untuk maksud itu baru dua tahun kemudian Deklarasi tersebut pada tanggal 18 Februari 1960 dapat ditingkatkan bentuknya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (L.N. 1960 No.22) dengan maksud agar klaim itu mempunyai kekuatan hukum mengikat.

        Berdasarkan Ketetapan MPRS No.XIX/MPRS/1966, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut diatas dikukuhkan (dituangkan) menjadi Undang-Undang No.4 PRP Tahun 1960 (lampiran II). Adapun isi pokok UU No.4 PRP 1960 tentang Perairan Indonesia (Pandoyo, S.T., 1994), sebagai berikut:

1.        Perairan Indonesia adalah Laut Wilayah beserta Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara).
2.        Laut wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulau-pulau terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan dihubungkan garis lurus satu dengan lainnya.
3.        Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan Negara Indonesiatidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya ada negara tetangga) maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4.        Perairan pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.
5.        Hak lintas laut damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijamin sepanjang tidak mengganggu atau bertentangan dengan keamanan serta keselamatan Negara dan Bangsa.
6.        Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan angka 4 “Territorial Zee EN Maritime Kringen Ordonatien 1939”.

Pertimbangan – pertimbangan Pemerintah RI sehingga mengeluarkan UU No.4 PRP tahun 1960 sama dengan pertimbangan-pertimbangan Pemerintah dalam mengeluarkan Deklarasi Djuanda 1957, yaitu empat butir ditambah satu butir, yaitu: bahwa menurut sejarah sejak dahulu Kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Implikasi positif (klaim) Wawasan Nusantara yang tercantum dalam Undang-Undang 4 PRP 1960 (Pandoyo, S.T., 1994), adalah:

Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No.4 PRP 1960, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250 km2 (daratan dan lautan); berarti luas wilayahnya bertambah: 3.166.163 km2 (perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya alam.

       Realisasi makna ketentuan yang tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dapat dilaksanakan.
Dengan dijadikannya Deklarasi Djuanda kedalam bentuk Undang-Undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat, dan mengingat situasi pendapat dunia mengenai penentuan batas perairan suatu negara belum banyak mengalami perubahan (penundaan pembahasan penetapan batas laut negara kepulauan) pada Konferensi Hukum Laut Internasional tahun 1958 dan tahun 1960.  

II.3. PP No.8 Tahun 1962 (Laut Lintas Damai Kendaraan Asing)
       Setelah mengamati pendapat negara-negara lain yang masih belum dapat menyetujui terhadap klaim Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Indonesia pada tanggal 25 Juli 1962 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing dalam Perairan Indonesia dan merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang No.4 PRP Tahun 1960 pasal 3.

        Pengundangan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 tersebut dimaksudkan untuk menambah jumlah negara-negara yang menyetujui atas klaim Wawasan Nusantara dan bertujuan agar klaim tersebut memperoleh pengakuan Konferensi Hukum Laut Internasional sehingga nantinya dapat merupakan bagian dari hukum laut Internasional yang berlaku untuk semua negara dan sangat bermanfaat bagi negara-negara pantai khususnya. Adapun isi pokok Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962, antara lain (Pandoyo, S.T., 1994):

1.        Yang dimaksudkan dengan lalu lintas laut damai kapal asing ialah pelayaran yang tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian Negara RI.
2.        Berhenti, membuang jangkar dan/atau mondar-mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesiaatau di laut bebas yang berdekatan dengan perairan tersebut tidak termasuk pengertian lalu lintas damai.
3.        Lalu lintas damai kapal ialah pelayaran yang melintasi laut wilayah dan perairan pedalamanIndonesia:
  1. Dari Laut Bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya;
  2. Dari Laut Bebas ke Laut Bebas.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kapal asing dalam mengadakan pelayaran di Perairan Indonesia, menurut jenis kapalnya, adalah sebagai berikut:
1.        Untuk kapal asing penyelidik (peneliti) ilmiah yang akan melakukan pekerjaan di Perairan Indonesiaharus memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden Republik Indonesia.
2.        Untuk kapal perang dan kapal pemerintah asing bukan kapal niaga sewaktu akan melintasi PerairanIndonesia, harus memberitahukan terlebih dahulu (notifikasi) kepada Menteri Pertahanan Keamanan.
3.        Kapal selam asing pada waktu melintasi Perairan Indonesia harus berlayar di permukaan laut.
4.        Kapal penangkap ikan milik asing, selama melintasi Perairan Indonesia harus menyimpan alat-alat penangkapan ikannya dalam keadaan terbungkus pada palka-palkanya.

Untuk melengkapi Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan Presiden No.16 Tahun 1971 pada tanggal 28 Juli 1962 tentang Wewenang Pemberian Izin Berlayar Bagi Segala Kegiatan Kendaraan Air Asing Dalam Wilayah Perairan Indonesia. Dalam pasal 1 ditentukan bahwa:” lalu lintas damai kendaraan asing di perairan pedalaman Indonesia yang sebelumnya berlakunya Undang-Undang no.4 Tahun 1960 merupakan laut bebas atas laut wilayah Indonesia dijamin”. Selain itu, PP No.8 Tahun1962 memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur lalu-lintas damai kapal-kapal jenis khusus, yakni: 
(1) Kapal Penelitian,
(2) Kapal Nelayan,
(3) Kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan kapal niaga.
 
II.4.  UU No.1 Tahun 1973 (Landas Kontinen Indonesia)
       
 Pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu Pengumuman Pemerintah tentang Kontinen Indonesia yang berbunyi (Kusumaatmadja, M., 1999), sebagai berikut:

Segala sumber-sumber mineral dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya, termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentiar, yang terdapat pada laut dan tanah di bawahnya di landas kontinen, tetapi di luar daerah perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.4 PRP Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman yang memungkinkan pengalian dan pengusahaan merupakan milik Indonesia dan berada dibawah juridiksinya yang eksklusif.

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depressie-depressie (bagian dalam) yang terdapat dalam landas kontinen atau kepulauan Indonesia berbatasan dengan suatu negara lain, maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk melalui perundingan dengan Negara yang bersangkutan menetapkan suatu garis batas sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan.

Menjelang tercapainya persetujuan seperti dimaksud diatas, Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan izin untuk mengadakan eksplorasi serta memberikan izin untuk produksi minyak dan gas bumi dan untuk eksploitasi sumber-sumber mineral ataupun kekayaan alam lainnya, hanya untuk daerah sebelah Indonesia dari garis tengah (median line) yang ditarik antara dari pantai daripada pulau-pulau Indonesia terluar atau dalam hal wilayah kedua Negara terletak berbatasan pada pulau yang sama, pada daerah sebelah Indonesia dari suatu garis yang titik-titiknya terletak sama jauhnya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal laut teritorial masing-masing negara.

Ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas Landas Kontinen Indonesia sebagai Laut Lepas, demikian pula ruang udara diatasnya. Pengumuman Pemerintah ini berlaku sejak tanggal dikeluarkannya.
Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969 ini, memiliki pokok-pokok pemikiran, sebagai berikut:
1.        Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Negara Indonesia.
2.        Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan.
3.        Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik ditengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah negara tetangga.
4.        Klaim di atas tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas landas kontinen Indonesia, maupun udara di atasnya.

Karena itu, dalam konvensi hukum laut yang baru, lebar landas kontinen daratan yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan beberapa alternatif, sebagai berikut:
1.        Sampai batas terluas Tepian Kontinen; atau
2.        Sampai jarak 200 mil laut ke arah laut dari garis dasar apabila batas terluar tepian kontinen kurang dari 200 mil laut; atau
3.        Sampai jarak 350 mil laut ke arah laut dari garis dasar apabila batas terluar tepian kontinen melebihi 200 mil laut; atau
4.        Sampai jarak 100 mil laut ke arah laut dari garis sama dalam (isobath) 2.500 meter apabila batas terluar tepian kontinen melebihi 200 mil laut.
Untuk mendapatkan kejelasan mengenai Landas Kontinen dapat dilihat pada gambar II.4.1 tentang profil melintang landas kontinen.
           
II.5.  UU No. 5 Tahun 1983 (Zona Ekonomi Eksklusif)

        Salah satu perbedaan radikal antara hukum laut klasik dan hukum baru tercermin dalam prinsip zona ekonomi eksklusif (ZEE). Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57 Konvensi PBB). Menurut pengertian Pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati (Koers, A.W., 1994), sebagai berikut:

1.        Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus dan angin).Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi ini, atau pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah serta perlindungan lingkungan laut.

2.        Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan konvensi.
UU No. 5 Tahun 1983 yang diundangkan tanggal 18 Oktober 1983 merupakan pengukuhan dari Pengumuman Pemerintah Indonesia tentang Zona Eksklusif (21 Maret 1980). Hak berdaulat dan yuridiksi serta kewajiban lainnya yang berkaitan dengan dasar laut dan tanah dibawahnya dilaksanakan menurut peraturan tentang Landas Kontinen.Untuk kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip hukum laut internasional. Beberapa pokok-pokok pikiran yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1983, sebagai berikut:

1.        Pihak yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi, seperti pembangkitan energi dari air, angin dan arus harus berdasarkan izin dari pemerintah atau persetujuan internasional dengan pemerintah serta harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan pemerintah.
2.        Orang atau badan hukum atau pemerintah negara asing dapat diizinkan melakukan penangkapan ikan, jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah  untuk jenis tertentu melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
3.        Pihak yang membuat dan atau menggunakan pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya harus berdasarkan izin pemerintah, sedangkan pihak yang menimbulkan kerugian harus memikul tanggung jawab dan membayar ganti rugi kepada pemilik pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya.
4.        Pihak yang melakukan penelitian ilmiah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah serta memikul tanggung jawab dan membayar ganti rugi apabila menimbulkan kerugian.
5.        Pihak yang melakukan kegiatan di ZEE wajib melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menanggulangi pencemaran lingkungan laut serta memikul tanggung jawab mutlak dan membayar biaya rehabilitasi dengan segera dan dalam jumlah yang memadai jika sampai terjadi pencemaran lingkungan laut dan atau perusakan sumberdaya alam (kecuali karena suatu peristiwa alam yang berada diluar kemampuan atau kelalaian pihak ketiga) berdasarkan penelitian ekologis.

Aparat penegak hukum (perwira TNI-AL) dapat melakukan tindakan sesuai UU No.8 tahun 1981 (KUHP), dengan pengecualian:
1.              Penangkapan terhadap kapal dan atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran.
2.              Penyerahan kapal dan atau orang-orang tersebut tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari kecuali terdapat keadaan force majeure.
3.              Penahanan untuk keperluan tuntutan ganti rugi.

II. 6.  UU No.7 Tahun 1985 (Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982)
                Undang-Undang ini diberlakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan, sebagai berikut:
1.             UNCLOS (United Nation Convention on The Law of The Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut III di New York tanggal 30 April 1982 serta telah ditandatangani oleh Negara RI bersama-sama 118 negara lainnya di Montego Bay-Jamaika tanggal 10 Desember 1982.
2.             UNCLOS telah mengatur tentang rejim-rejim hukum laut termasuk rejim hukum Negara Kepulauan (yang mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia dalam rangka implementasi wawasan nusantara sesuai amanat MPR RI) secara menyeluruh. Sehingga didapatkan konsekuensi-konsekuensi, sebagai berikut: Sejak Undang-Undang ini diberlakukan (31 Desember 1985) Indonesia terikat dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS) III tahun 1982 dan harus mengimplementasikan dalam pembuatan hukum laut nasional. Penyelesaian konflik dengan negara berbatasan harus mengacu pada UNCLOS III.
 
II.7.   UU No.22 Tahun 1999 (Otonomi Daerah)

                Penerapan otonomi daerah sebagai bagian pelaksanaan desentralisasi bagi Negara Indonesia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.22 Tahun 1999 tentang kewenangan daerah dan propinsi sebagai daerah otonomi.

Termasuk didalamnya pengaturan dalam penetapan batas daerah. Penetapan dan penegasan batas daerah secara formal sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1984  dengan istilah populer Penataan Batas Wilayah dengan ditandai keluarnya Peraturan Mendagri No.10 Tahun 1984 dan Instruksi Mendagri No.24 Tahun 1984 (d_infokom_jatim, 2003). Keduanya merupakan ketentuan yang mengatur penataan batas wilayah darat dengan basis pada satuan batas desa/kelurahan.

Kemudian sejak dilahirkannya UU No.22 Tahun 1999 yang diantaranya memuat Batas di Wilayah Laut sebagaimana dimaksud pada pasal 10, bahwa daerah propinsi memiliki wilayah laut 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan kabupaten/kota sepertiga dari 12 mil ditarik dari garis pantai. Untuk dapat memahami aplikasi dan implikasi penentuan batas daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dapat dilihat dalam Bab II Pasal 2 Ayat (2) dan (3) (Depdagri, 2003), sebagai berikut:

BAB II
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal 2
(1)  Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi,
     Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom,
(2)  Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.
Pasal 3
                Wilayah Daerah Propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua batas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Dalam UU No.22 Tahun 1999 Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa penetapan batas negara masih sama sesuai dengan Deklarasi Djuanda termasuk didalamnya mengenai penetapan batas propinsi dengan batas laut teritorial sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.

Namun UU No.22 Tahun 1999 masih memerlukan revisi ataupun peraturan perundang-undangan untuk dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai penetapan garis batas di laut yang berbatasan dengan negara lain atau propinsi lainnya.
Dalam perjuangan penetapan batas Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dilalui berbagai macam tahapan dan waktu yang tidak sedikit.

         Ulasan aspek legal dalam penetapan batas negara Indonesia diatas hanyalah sebagian kecil saja dalam uraian perjalanan Bangsa Indonesia dalam mendapatkan kedaulatannya secara utuh dan menyeluruh. Dimana tujuan akhirnya adalah mewujudkan konsepsi Wawasan Nusantara seutuhnya. Negara Indonesia merupakan  negara kepulauan dimana memiliki banyak pulau yang terpencar-pencar sehingga dibutuhkan pandangan Wawasan Nusantara untuk menyatukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar