Senin, 10 Juni 2013

PENGETAHUAN SOSIAL DAN TINDAKAN SOSIAL : KOORDINASI BERBAGAI RANAH

PENGETAHUAN SOSIAL DAN TINDAKAN SOSIAL : KOORDINASI BERBAGAI RANAH

  1. RANGKUMAN
Pada bab pengetahuan sosial dan tindakan sosial ini memperbincangkan masalah pertautan antara pertimbangan sosial dengan tindangan sosial. Tindakan sosial itu merupakan hasil koordinasi dari berbagai ranah pertimbangan sosial. Artinya bahwa suatu keputusan perilaku tertentu dihasilkan oleh lebih dari satu jenis pertimbangan. Dalam bab pengetahuan sosial dan tindakan sosial : koordinasi berbagai ranah ini, dikatakan bahwa pemikiran moral itu tidak selaras dengan perilaku yang aktual dan orang sering tidak berhasil untuk bertindak sejalan dengan cara mereka berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah. Akal budi itu berbeda dengan budaya dan kekuatan kebudayaan atau keinginan yang kolektif itu lebih sering berkuasa dari tuntutan-tuntutan akal budi. Dalam bab ini memusatkan perhatianya pada interelansi antara pemikiran sosial, tindakan sosial dan konten budaya. Dalam alur pikiran ini diajukan proposisi bahwa struktur pemikiran sosial itu berkedudukan sentral dalam pertautan individu dengan sistem sosial dan tindakan sosialnya. Dalam memusatkan perhatian pada interelasi antar pikiran, tindakan dan kebudayaan, diajukan proposisi. Pertama, perlu sekali untuk mendapatkan kepastian tentang pelbagai ranah dari pertimbangan sosial yang dikonstruksi sepanjang pekembanganya. Kedua, persoalan berkenaan dengan pertimbangan moral serta berbgai petautan tindakan. Selanjutnya, dalam memisah misahkan pelbagai ranah pertimbangan sosial, diajukan pula proposisi bahwa seseorang individu tidak melakukan suatu orientasi yang tunggal terhadap lingkungan sosialnya. Situasi sosial itu sering mengandung banyak aspek, artinya untuk melahirkan suatu keputusan atau menentukan suatu perilaku tertentu mungkin saja diajukan lebih dari satu ranah pertimbangan sosial. Tindakan yang terjadi dalam situasi tertentu merupakan hasil interelasi antara berbagai tipe pertimbangan sosial, yang mungkin saja melahirkan pertentangan, koordinasi, ketidakkonsistenan maupun konsistensi. Untuk memahami pelbagai relasi antara pertimbangan moral dengan perilaku, perlu pula diperhatikan pertimbangan moral dengan perilaku, perlupula diperhatikan pertimbangan sosial yang tidak berbobot moral.
  1. PEMIKIRAN MORAL, TINDAKAN MORAL, DAN KATEGORI-KATEGORI BUDAYA
Sekitar tahun 1920-an telah dilaksanakan dua proyek yang berskala besar dan sangat berpengaruh berkenaan dengan masalah moralitas. Yang pertama adalah Hartshome dan May pada tahun 1928-1930 dan yang lain dilaksanakan oleh Piaget pada tahun 1932. Metode yang digunakan Hartshome dan May serta tekanan perhatianya berbeda dengan metode dan tekanan perhaian Piaget, tetapi kedua proyek ini meneliti hubungan antara pemikiran moral dengan perilaku moral. Hartshome dan May berupaya untuk memperkirakan sejauh mana pengetahuan tentang moral dapat meramalkan perilaku moral. Sedangkan Piaget berupaya untuk meneliti keselarasan antara pertimbangan dengan organisasi sistem tindakanya. Dalam menarik kesimpulan, Hartshome dan May berbeda dengan Piaget. Kesimpulan utama dari penelitian yang dilaksanakan Hartshome dan May, yang relevan dengan tujuan kajian ini ialah pertautan antara perilaku-perilaku seseorang tidak begitu sejalan dengan pertimbanganya. Temuan ini didasarkan pada kolerasi antara pengukuran perbuatan yang tidak jujur dengan skor yang didapat dari hasil tes tulis berkenaan dengan pengetahuan moral. Tes pengetahuan moral dirancang unutuk mengukur kesadaran akan standar perilaku moral pada subjeknya. Korelasi antara skor tentang pengetahuan moral dan perilaku dalam situasi-situasi khusus itu sangat rendah. Dengan hasil pengukuran tes pengetahuan moral dan tes perilaku, maka dapat disimpulkan mungkin didapatkan korelasi secara umum , pada tingkatan yang sangat moderat, tentang apa yang diketahui seseorang dengan apa yang dilakukanya.
Perhatian Piaget lebih tertarik pada pengaruh perilaku terhadap pertimbangan serta pengaruh pertimbangan terhadap perilku, sepanjang suatu proses perkembangan. Piaget mengajukan proposisi bahwa koordinasi tindakan dan pertimbangan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral. Penelitian Piaget diarahkan pada bentuk-bentuk terbuka dari dari pertimbangan anak pada berbagai tindakan usia, ia mengadakan analisis secara komparatif tentang perilaku dan pertimbangan anak itu menurut aturan-aturan dari berbagai permainan. Berdasarkan penelitian ini dirumuskan dua buah urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan dengan kesadaran akan aturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris, dan heteronom, ke arah orientasi yang menunjukan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama. Perbedaan antara pendekatan Piaget dan Hartshome dan May itu bersifat teoritis dan metodologis. Salah satu perbedaan teoritis yang pokok ditemukan dalam konstruk pengetahuan dan pertimbangan moral. Perbedaan lain dari kedua pendekatan itu kita temukan dalam mengkonseptualisasi hubungan antara pikiran dan tindakan.
Arti temuan penelitian yang menunjukan adanya keselarasan maupun ketidakselarasan antara pertimbangan moral dan perilaku moral itu. Para toritisi tentang sosialisasi yang dikenal dewasa ini berpegang teguh pada pandangan yang bersifat dualistik antara pertimbangan moral dengan perbuatan moral itu. Adanya diskrepansi antara pertimbangan moral dengan perilaku moral dikaitkan dengan premis tentang perkembangan moral sebagai salah satu aspek dari pembelajaran sosial. Penalaran moral seseorang dibentuk melalui perolehan cara-cara orientasi budaya. Suatu kebudayaan yang induvidualistik menghasilkan pandangan yang psikologis yang bersifat individualistik juga, sedangkan kebudayaan yang berorientasi kolektivistik menghasilkan pandangan psikologis yang kolektivistik juga dalam masyarakatnya. Beberapa tokoh telah mengajukan proposisi tentang adanya kegandaan atau dualitas antara pertimbangan dengan perilaku. Proposisi ini didasarkan pada adanya dikotomi antara struktur penalaran seseorang individu dengan konten sebagaimana telah dipolakan oleh perolehan budayanya ke dalam pola penalaranya. Sehingga dapat diajukan proposisi bahwa struktur penalaran yang bersangkutan berasal dari sumber konten yang diperolehnya. Tetapi posisi seperti ini menimbulkan ambigu terhadap sumber dari struktur penalaran. Strktur penalaran juga dipelajari secara budaya. Kebudayaan itu memiliki orientasi yang dominan , sehingga akan ditemukan adanya konsistensi dalam penalaran, dalam kontek norma dan dalam perilaku. Blasi menemukan bahwa adanya konsistensi antara pertimbangan moral dengan perilaku moral. Pertimbangan moral itu merupakan satu-satunya penyebab langsung dari perilaku moral itu. Kategori-kategori budaya itu bersifat stereotyped, dalam arti bahwa kategori budaya itu hanya sebagian saja penerapanya ke dalam pertimbangan dan perilaku individu. Aspek-aspek dari apa yang dipandang sebagai cerminan dari orientasi budaya yang tunggal ditemukan juga dalam pertimbangan individu itu. Hal ini bersumber pada adanya pemahaman yang beraneka ragam dalam hubungan sosial dan struktur sosial.

  1. HETEROGENITAS DALAM PETIMBANGAN SOSIAL DAN PERILAKU
Dalam suatu temuan yaitu oleh eksperiman yang dilakukan oleh Milgram menyatakan bahwa sebagain subyek yang ada pada ruang lingkup kelompok itu mematuhi perintah orang yang berkuasa, temuan itu mengingkari dari pandangan tentang kehidupan yang individualistik, otonom dan memandang adanya kesamaan derajat . akan tetapi penelitian oleh Milgram itu tidak juga mengizinkan orang yang tergolong dalam kebudayaan tersebut berorientasi secara homogen berkenaan dengan kekuasaan, konformitas dan hierarki. Untuk sebagian besar subyek itu, keengangannya untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain tunduk pada penghayatan keabsahan konteks saintifik, dengan struktur sosial yang hierarkis. Persoalan-persoalan tentang pertautan antara pertimbangan moral dengan perilaku moral. Bila kita hanya memperhatikan temuan-temuan yang berasal dari kondisi yang baku, maka tampak terdapat inkonsistensi antara apa yang dipikirkan seseorang dengan apa yang diperbuatnya. Dapat dikatakan sesuatu yang baik menurut seseorang belum tentu itu baik pula bagi orang lain. Sangat mungkin jika dalam pertimbangan-pertimbangan yang muncul mengakibatkan kerugian pada orang lain. Kesimpulan tersebut diambil dari reaksi para subyek.
Perbandingan antara berbagai kondisi yang berbeda dalam suatu ekperimen itu memperlihatkan bahwa perilaku seseorang itu dipengaruhi oleh konteks situasional yaitu bahwasanya perilaku tidak sekedar diendalikan oleh kesatuan lingkungan. Suatu temuan-temuan yang bermuculan itu telah mencerminkan adannya hubungan antara berbagai struktur peristiwa sosial dan berbagai ranah dari pertimbangan sosial. Penjelasan yang demikian itu maka temuan dalam kondisi baku itu mencerminkan juga adanya konsistensi antara pertimbangan sosial (yang menyangkut kekuasaan dan sistem sosial) dengan perilaku.
Temuan-temuan yang bermunculan itu mencakup nilai peran yang dapat di kategorikan sebagai berikut :
  1. Ranah pertimbangan moral itu (menyangkut kerugian, hak dan keadilan) membentuk suatu sistem konsep.
  2. Membentuk suatu sitem perkembangan yang berbeda dengan pengembangan tentang konvensi sosial (keseragaman yang dimaksud untuk mengkoordinasi interaksi sosial dan menjadikannya sebagai bagian dari sistem sosial).
Oleh karena itu tindakan-tindakan tertentu yang merupakan bagian dari sistem konvensi sosial dalam suatu konteks masyarakatan tertentu mungkin saja berbeda dari konteks kemasyarakatan yang lain. Tindakan moral dan konvensional dipandang tidak harus ditentukan atas dasar pilihan pribadi. Karena itu tindakan moral dianggap sebagai tindakan yang tidak bersifat pribadi, dan tindakan moral yang berupa pelanggaran dianggap terlepas dari aturan kemasyarakatan.
Dalam mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa sosial, para subjek dalam beberapa studi, menujukkan adanya orientasi-orientasi ke arah pandangan yang individualistik, kolektiv dan kesalingtergantungan. Antara eksperimen yang dilakukan oleh Milgram maupun Nucci misalnya, kesuanya menujukkan adanya berbagai jenis perilaku dan bermacam-macam pertimbangan. Pertimbangan itu memunculkan beberapa kategori tindakan yaitu :
  1. Tindakan itu menyerupai pandangan individualisme yang dipandang seharusnya ditentukan oleh keputusan pribadi.
  2. Tindakan itu berorientasi kolektivistik. Beberapa tindakan dianggap dengan menggunakan cara-cara yang digariskan dalam rangka sistem sosial.
  3. Tindakan itu berkenaan dengan perbuatan konvensional tidak bersifat individualistik, sebab yang dijadikan atokan adalah koordinasi interaksi dalam kerangka sistem sosial.
  1. Tindakan itu tidak di kategorikan dalam dalam pandangan individualistik maupun kolevistik, karena pertimbangan tentang perangkat tindakan lain yang menyangkut hubungan antar pribadi didasarkan atas preskripsi moral yang bersifat pribadi.
Pengamatan tentang pertimbangan seperti itu menunjukkan : bahwa para individu memiliki pemahaman yang berbeda-beda berkenaan dengan interaksi sosial dan sistem budaya, dan bahwa pertimbangan sosialnya tidak begitu saja menyelaraskan diri dengan kategori budaya tunggal. Konsekuensinya. Apa yang tampil sebagai orientasi yang berbeda atau yang bertentangan, semuanya merupakan bagian dari penalaran individual. Hanya jika berasal konseptualisasi tipe-tipe interaksi sosial dalam suatu sistem budaya atau sosial yang sama, maka orientasi-orientasi tampil secara tidak bertentangan. Dengan kata lain, dalam sistem organisasi sosial, makna dan fungsi preskripsi moral itu berbeda dengan makna dan fungsi dari konvensi.
Konvensi itu sendiri memiliki kriteria yang mencakup : kontigensi aturan, kontekstualitas, relativisme, hierarki, dan pengadilan berkuasa. Sedangkan moral itu sendiri mencakup : tidak berkepribadian mungkin untuk digeneralisasi, kewajiban, kesamaan, dan bebas dari pimpinan atau penguasa. Kriteria-kriteria tersebut telah tumbuh bersama dalam kebudayaan kita. Konvensi itu dipandang sebagai aturan yang menyeluruh, sedangkan preskripsi moral tidak. Dalam kaitanya dengan konvensi, individu itu bersifat relativistik yaitu konveksi dievaluasi berdasarkan konteks sosialnya. Dalam kaitan dengan moralitas, individu itu bersifat universalistik yakni preskripsi moral dipandang sebagai suatu kewajiban yang bersifat umum. Pertimbangan konvensional mungkin didasarkan pada hierarki sosial yang mungkin didasarkan pada kesamaan pertimbangan moral (equality). Dalam menerapkan konvensi. Ditandaskan akan perlunya keseragaman dengan pimpinan, walaupun pertimbangan tentang berbagai masalah moral (dalam situasi tertentu) bertentangan dengan perintah pimpinan atau penguasa.

  1. KOMBINASI DAN KOORDINASI ANTARA BERBAGAI RANAH
Banyak situasi sosial yang dihadapi setiap orang yang bersifat multidimensional dan mencangkup komponen-komponen moral dan konvensional. Salah satu contoh seperti seorang editor majalah sains yang mengajukan kritik tajam terhadap sebuah manuskrip, dengan pengetahuan bahwa kritikannya itu pasti akan menimbulkan rasa tidak senang, bahkan menyakiti manuskrip tersebut. Dari contoh seperti itu menunjukkan adanya kekosongan konsep moral yang formal, seperti kesamaan, kerugian, dan keadilan. Konsep tersebut hanya berarti apabila konten yang dianggap telah ditentukan secara kultural. Secara menyeluruh bahwa prinsip persamaan harus tunduk kepada prinsip hierarki. Demikian pula masalah keadilan ada kalanya harus mendahulukan tujuan-tujuan organisasi.
Sebagian besar orang menganggap aspek moral dari kesamaan itu harus siap untuk ditempatkan dalam tempat yang lebih rendah dibawah kepentingan organisasi demi tercapainya suatu tujuan.Untuk memelihara otoritas yang konvensional, maka perlu diambil tindakan yang bertentangan dengan preskripsi moral para subyeknya. Keseimbangan antara komponen-komponen moral dengan keseimbangan dalam kondisi yang dibakukan. Dan hasil yang didapat ialah bahwa hasil perilaku merupakan fungsi dari koordinasi dari berbagai tipe. Dalam situasi ditemukan hal-hal yang tidak sama yang pada umumnya diterima oleh mereka yang mendukung prinsip persamaan itu. Hipotesis yang diajukan ialah orientasi subyek secara konseptual mengenai aspek-aspek eksperimen yang bersifat keorganisasian-sosial.
Pertentangan terbuka dapat muncul karena tindakan tertentu secara tersirat yang dapat menimbulkan gangguan substansial secara fisik terhadap orang lain. Pertentangan itu muncul karena untuk menghindari gangguan yang dapat mempengaruhi jalannya eksperimen itu, maka perlu diubah secara mendasar atau bahkan dihentikan. Identifikasi dan pemisahan antara persoalan moral dengan pertimbangan moral dengan persoalan keorganisasian dalam situasi sosial dihubungkan dengan identifikasi perbedaan-perbedaan sejenis dalam pertimbangan individual, dan perhatian akan koordinasi pertimbangan, merupakan landasan untuk menafsirkan perangkat temuan dari kondisi-kondisi yang bervariasi dalam eksperimen Milgram. Walaupun penafsiran ini mencangkup juga spekulasi mengenai pertimbangan iitu karena data langsung tidak didapatkan, namun penafsiran tersebut seirama dengan hasil prilakunya.

  1. PEMIKIRAN SOSIAL DANTINDAKAN SOSIAL
Kami mengusulkan suatu strategi yang bersifat empiris dan analitis yang berbeda dengan strategi yang berdasarkan pada pertanyaan:apakah perilaku moral itu konsisten dengan pertimbangan.menghadapi permasalahan yang dirumuskan sebagai penelitian tentang hakikat pertautan dan koordinasi antara pertimbangan sosial dan perilaku.memiliki berbagai implikasi terhadap strategi dan metode penelitian.metode itu seharusnya lebih dekat dengan metode yang digunakan piaget(dalam penelitian mengenai korespondensi dalam organisasi penalaran dan pola perilaku).daripada dengan metode korelasional dari hartshome dan may,akan tetapi pieget itu memusatkan perhatiannya pada apa yang dipandangnya sebgai suatu rentangan pertimbangan dan perilaku yang terbatas.maka fokus perhatiannya itu tidak terarak kepada kriteria untuk mengidentifikasi dan memisah komponen situasi tertentu.
Dalam kriteria untuk mengadakan spesifikasi terhadap ranah_ranah yang tercakup didalamnya dan apabila terdapat lebih dari satu ranah itu( dalam eksperimen milgram misalnya pertautan antara ranah itu ditempatkan dalam pertautan-pertautan pertentangan.selanjutnya hendaknya diadakan perkiraan terhadap orientasi subyek terhadap ranah dalam konteks situasional. Analisis yang dilakukan hendaknya mencangkup pertimbangan dalam ranah dari subyek yangbersangkutan mengenai masing-masing komponen maupun koordinasi dari ranah-ranah itu dalam konteks situasional tersebut. Bahwa dalam melihat implikasi moral yang mungkin timbul itu dan keputusan yang harus mereka ambil sulit dan penuh dengan tantangan emosional.mereka menyadari kemungkinan dampak moral itu dan berupaya memberikan yustifikasi bagi statusn keputusan tersebut yang memang menyisihkan aspek moral.maka masalah tersebut digolongkan ke dalam kategori yurisdiksi personal.yang dimaksud mencerminkan status epistemologisnya.yang ditempatkan ke subyek masalah

  1. PEMBAHASAN

  1. PEMIKIRAN MORAL, TINDAKAN MORAL, DAN KATEGORI-KATEGORI BUDAYA
Bab pemikiran moral, tindakan moral, dan ketegori-kategori budaya ini membahas tentang hubungan antara pertimbangan sosial dengan tindakan sosial. Sebelumnya membahasnya, kita harus mengetahui pengertian dari moralitas, tindakan sosial, budaya.
  1. Pengertian Tindakan Sosial
Kita sebagai makhluk hidup senantiasa melakukan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan merupakan suatu perbuatan, perilaku, atau aksi yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya guna mencapai tujuan tertentu. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan berorientasi pada atau dipengaruhi oleh orang lain.
  1. Jenis-Jenis Tindakan Sosial
Menurut Max Weber, tindakan sosial dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afeksi.
  1. Tindakan Rasional Instrumental
Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai. Misalnya guna menunjang kegiatan belajarnya dan agar bisa memperoleh nilai yang baik, Fauzi memutuskan untuk membeli buku-buku pelajaran sekolah daripada komik.
  1. Tindakan Rasional Berorientasi Nilai
Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya. Misalnya menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing.
  1. Tindakan Tradisional
Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Misalnya berbagai upacara adat yang terdapat di masyarakat.
  1. Tindakan Afektif
Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa pertimbangan-pertimbangan akal budi. Seringkali tindakan ini dilakukan tanpa perencanaan matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Contohnya tindakan meloncat-loncat karena kegirangan, menangis karena orang tuanya meninggal dunia, dan sebagainya.
Tindakan individu dipengaruhi oleh dua macam orientasi yaitu orientasi motivasional yang bersifat pribadi dan orientasi nilai yang bersifat sosial. ini berarti tindakan individu dipengaruhi kehendak pribadinya dan dikontrol nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tak ada sistem yang tidak memerlukan pendidikan. Seperti Durkheim yang melihat fungsi pendidikan sebagai pemegang fungsi sosialisasi dan seleksi, tetapi Parsons hanya menekan kan pada aspek yang pertama yaitu sosialisasi. Sosialisasi yang meliputi aspek nilai, kognisi, maupun motorik.
Masyarakat terbagi atas 3 sub sistem: sub sistem budaya (cultural system), sub sistem sosial atau struktur sosial, sistem sosial, sub sistem kepribadian (personality sistem) berupa individu. Pertama, sistem budaya memuat nilai, norma, pengetahuan dan kepercayaan bersama. Kedua, sistem sosial terdapat struktur peran sesuai dengan status sosial atau role expextation. Ketiga, sistem kepribadian, individu memiliki keperluan yang lahir atau dibentuk pada saat berlangsungnya proses sosialisasi. Hirarki pengawasan: kebudayaan mengontrol masyarakat, masyarakat mengontrol individu, dan arus berlainan melihat arah individu melakukan sesuatu dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan norma sosial dan nilai kultural masyarkatnya. Pendidikan menurut Parson dapat disimpulkan merupakan proses sosialisasi yang dalam diri individu-individu memungkinkan berkembangnya rasa tanggung jawab dan kecakapan-kecakapan (comitment dan capacities) yang semuanya diperlukan dalam melaksanakan peran sosial. Kecakapan yang harus dimiliki yakni teknis, sosial dan tanggung jawab menenai terselenggaranya masyarakat yang bernilai budaya sesuai dengan pegangan masyarakatnya.
Dalam bab mengenai pemikiran moral, tindakan moral dan kategori-kategori budaya ini ada beberapa tokoh yang melakukan penelitian. Diantaranya Hartshorne dan May, dan Piaget yaitu meneliti mengenai hubungan antara pemikiran moral dengan perilaku moral. Dalam hal ini Hartshorne dan May memusatkan penelitianya pada pengukuran perilaku daripada pengukuran pertimbangan moral. Mereka juga berupaya untuk memperkirakan sejauh mana pengetahuan tentang moral dapat meramalkan perilaku moral. Yaitu masalah berkenaan dengan hubungan antara apa yang dikatakan seseorang dengan apa yang dilakukanya dan yang ingin ia lakukan. Dalam penelitianya, Hartshorne dan May menyimpulkan pertautan antara perilaku-perilaku seseorang tidak begitu sejalan dengan pertimbanganya. Temuan ini didasarkan pada kolerasi antara pengukuran perbuatan yang tidak jujur misalnya penipuan, dengan skor yang didapat dari hasil tes tulis tentang pengetahuan moral subjek yang bersangkutan. Pada sebagian besar kasus, para subjek ditempatkan dalam situasi-situasi yang memungkinkan dalam perbuatan menyontek. Dalam kasus lain diadakan pengukuran mengenai perbuatan berdusta dan mencuri. Sedangkan tes mengenai pengetahuan moral dirancang untuk mengukur kesadaran akan standar perilaku moral pada subjeknya. Korelasi antara skor tentang pengetahuan moral dan perilaku dalam situasi-situasi khusus itu sangat rendah.
Berbeda sekali dengan penelitian yang dilakukan oleh Piaget. Piaget lebih banyak menekankan perhatianya pada pertimbangan moral daripada perilakunya. Beliau berupaya untuk meneliti keselarasan antara organisasi sistem pertimbangan dengan organisasi sistem tindakanya. Piaget mengajukan proposisi bahwa koordinasi tindakan dan pertimbangan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral. Ia melakukan penelitian secara komparatif tentang perilaku dan pertimbangan anak itu menurut aturan-aturan dari berbagai permainan. Ia melakukan pengamatan terhadap permainan anak secara aktual dan terhadap jawaban pada pertanyaan-pertanyaan tentang cara mereka melakukan permainan-permainan tersebut. Berdasarkan penelitian ini dirumuskan dua urutan perkembangan yang pararel. Satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan praktikum aturan, sedangkan rumusan yang lainya berkenaan dengan kesadaran akan aturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris dan heteronom, ke arah orientasi yang menunjukan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama. Dengan adanya kesamaan antara tahapan berbagai perkembangan kesadaran dengan praktiknya, Sehingga Piaget dapat menyimpulkan bahwa pertimbangan dan perbuatan itu saling berkaitan.
Pertimbangan moral dan dengan perilaku moral dikaitkan dengan premis tentang perkembangan moral sebagai salah satu aspek dari pembelajaran sosial. Penalaran moral dan perilaku sosial dibentuk oleh orientasi budaya. Dengan berpegang pada hipotesis bahwa perkembangan sosial seseorang individu itu tidak terlepas dari sumber kemasyarakatan dan sumber bersangkutan, bahwa ada berbagai kombinasi penalaran. Pertimbangan moral itu merupakan satu-satunya penyebab langsung dari perilaku moral itu.

  1. HETEROGENITAS DALAM PETIMBANGAN SOSIAL DAN PERILAKU
Heterogenitas sosial yang terlalu tajam sulit memungkinkan untuk menjaga ciri khas budaya. Padahal, salah satu strategi pembangunan dunia adalah melindungi ciri khas budaya, di samping HAM, tegaknya hukum dan lingkungan alam. Hal ini telah menjadi kebijakan UNDP yaitu Badan Pembangunan Dunia di bawah PBB. Heterogenitas sosial, apalagi dalam era globalisasi ini, memang tidak mungkin dihindari. Yang mungkin dapat dilakukan adalah mengendalikannya agar jangan terlalu berlebihan. Heterogenitas yang terlalu tajam akan menimbulkan individualisme yang tajam juga. Individualisme yang berlebihan akan menipiskan rasa kebersamaan sosial. Tipisnya rasa kebersamaan sosial akan menurunkan juga tanggung jawab sosial, seperti menjaga ciri khas budaya dan juga kelestarian lingkungan alam.
Pada sub bab mengenai heterogenitas dalam pertimbangan sosial dan perilaku sosial ini Miligram melakukan eksperimen. Yaitu temuan Miligaram yang menyangkut persoalan tentang pertautan antara pertimbangan moral dengan perilaku moral. Dalam eksperimenya membuktikan tentang adanya konsistensi, karena sebagian besar subjek menolak untuk terus berpartisipasi. Perbandingan antara kondisi yang berbeda dalam eksperimen Miligram itu memperlihatkan bahwa perilaku seseorang sampai batas yang wajar dan dipengaruhi oleh konteks sitiasional. Perbandingan ini mengatakan juga bahwa para subjek menafsirkan konteks situsional itu bahwa perilaku tidak sekedar dikendalikan oleh kesatuan lingkungan. Adanya variasi yang teramati dalam kondisi itu tidak berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang sistematis antara perilaku dengan pertimbangan itu. Pengamatan pada pertimbangan pada kelompok yang sama (Davision, Turiel, dan Black) menunjukan bahwa para individu memiliki pemahaman yang berbeda-beda berkenaan dengan interaksi soaial, dan sistem budaya, dan bahwa pertimbangan sosialnya tidak begitu saja menyelaraskan diri dengan kategori budaya yang tunggal. Suatu seri dimensi-dimensi pertimbangan yang mengacu pada sesuatu sebagai pertimbangan kriteria dapat digunakan dalam rangka membedakan dan merumuskan kedua ranah.

  1. KOMBINASI DAN KOORDINASI ANTARA BERBAGAI RANAH
Bukti-bukti yang mendukung proposisi bahwa moralitas dan konvensi itu merupakan konsep dan sistem perkembangan yang berbeda dan untuk mengadakan studi tentang pertimbangan para subyek maka banyak situasi yang dihadapi orang itu bersifat multidimensional dan mencangkup komponen-komponen moral dan konvesional. Berlin menunjukkan bahwa banyak dalam situasi ditemukan hal-hal yang tidak sama yang pada umumnya diterima oleh mereka yang mendukung prinsip persamaan itu. Contohnya kekuasaan yang dimiliki pemimpin suatu orkestra. Yang merupakan alasan alasan adanya kepemimpinan yang berkuasa itu ialah tujuan permainan orkestra tersebut, yaitu menghasilkan paduan suara yang jelas tidak mungkin dicapai tanpa disertai disiplin yang ketat.
Contoh yang diajukan Berlin cukup menarik karena dalam kehidupan kita temui situasi yang menempatkan soal kerugian untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Misalnya seorang editor majalah sains mengkritik tajam terhadap manuskrip, dengan pengetahuan bahwa kritiknya itu pasti akan menimbulkan rasa senang, bahkan menyakiti manuskrip tersebut. Contoh seperti itu sebagai pertanda kekosongan konsep moral yang formal, seperti kesamaan, kerugian, dan keadilan. Konsep tersebut hanya berarti apabila orang melihat kepada konten yang dipetakan didalamnya, yaitu konten yang dianggap telah ditentukan secara kultural.
Individu maupun kelompok memiliki lebih dari satu tujuan sosial, dan beberapa tujuan yang berbeda kadang-kadang bahkan saling bertentangan muncul dalam satu konteks situasi yang sama. Dan secara menyeluruh bahwa prinsip persamaan harus tunduk kepada prinsip hierarki. Fakta bahwa anak-anak maupun orang dewasa dalam berbagai situasi menerapkan kriteria substansi moral yang khas atau spesifik itu dengan cara yang tidak bervariasi. Berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang bersifat prototipe ditemukan bukti-bukti secara substansial yang mendukung proposisi yang menyatakan bahwa anak-anak maupun orang dewasa menerapkan pertimbangan moral yang berbeda secara substansif.
Bukti ini berasal dari berbagai studi mengenai pertimbangan dalam konteks perilaku maupun bukan. Moralitas hanyalah salah satu komponen dalam situasi yang mencangkup lebih dari satu tujuan. Dalam mempertimbangkan mana yang lebih penting diantara moral dan tujuan, terkadang orang mendahulukan yang satu dari yang lainnya. Sebagian besar orang menganggap aspek moral dari kesamaan itu harus siap untuk ditempatkan dalam tempat yang lebih rendah dibawah kepentingan organisasi orkestra misalnya untuk tercapainya sebuah tujuan, namun ada pula yang memunculkan pertentangan kepentingan dalam memberikan prioritas itu.
Konsep organisasi sosial maupun pertimbangan moral harus mendapat perhatian penuh. Pemisahan antara kedua ranah ini diperlukan sebagai landasan metodologis. Awalnya memulai dengan mengadakan penelitian tentang pertimbangan ini dengan menggunakan informasi. Masalah yang memiliki banyak segi yang membingungkan seperti masalah abortus (pengguguran kandungan. Mengenai cara mengkoordinasi berbagai pertimbangan (masalah yang menyangkut kedudukan peranan pria dan wanita) dalam suatu situasi pertentangan pendapat antara pandangan dan harapan konvensional.
Rincian lebih lanjut mengenai tipe penelitian akan ditayangkan kemnudian dalam mendiskusikan studi yang mencangkup pengukuran perilaku dan penalaran tentang pengguguran kandungan. Unutuk tahapan sekarang dengan mengatakan bahwa dalam kedua penelitian itu ditemukan berbagai situasi, yang mana sebagian besar dari para subyek menyadari dan sampai kepada pertimbangan yang berbeda sehingga muncullah tiga modus yang berhubungan dengan ranah itu.
  • Ada tekanan perhatian terhadap salah satu ranah dengan menomorduakan ranah lain.
  • Ada pertentangan antara kedua ranah itu disertai sikap yang tidak konsisten.
  • Ada koordinasi antara kedua komponen.
Dalam studi lain yang dilakukan Smetana diadakan perbandingan antara pertimbangan yang dibuat anak-anak mengenai peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam ranah tersebut. Pertimbangan tersebut selaras dengan temuan dalam studi lain yaitu peristiwa moral dapat dibedakan peristiwa konvensional yang menyangkut beberapa dimensi pertimbangan. Kelompok subyek yang sama mengkoordinasikan peristiwa yang mengkombinasikan berbagai ranah, dengan menempetkan kedudukan suatu ranah dibawah ranah lain, atau dengan mengabstraksikan serta mempertautkan komponen dari masing-masing ranah itu.
Suatu upaya tambahan untuk mengetes proposisi yang menyatakan bahwa dalam peristiwa yang mengkombinasikan berbagai ranah itu kedua komponennya dikenali secara tergabung dan subyek diajukan kondisi-kondisi dengan sugesti-tandingan. Dalam sugesti tandingan itu diberikan tambahan deskripsi mengenai peristiwa-peristiwanya. Dengan maksud uuntuk pergantian agar lebih menonjolkan komponen konvensionalnya. Kondisi eksperimen dibandingkan dengan contoh dari Berlin mengenai permainan orkestra. Menerima organisasi suatu orkestra dan otoritas pimpinannya (dirigen) tidak didasarkan atas alasan moral, melainkan didasarkan atas hasrat untuk mencapai hasrat lain. Jenis organisasi orkestra itu secara implisit bertentangan dengan prinsip kesamaan. Dalam eksperimen Miligrampertentangan itu lebih bersifat eksplisit.
Eksperimen Miligram mengandung suatu organisasi sosial yang dirancang untuk melengkapi tujuan-tujuan ilmiah.persoalan konvensional-keorganisasian terus disoroti melalui komentar eksperimentator. Hipotesis yang diajukan ialah orientasi subyek secara konseptual mengenai aspek-aspek eksperimen yang bersifat keorganisasian-sosial. Pertentangan terbuka dapat muncul karena tindakan tertentu secara tersirat yang dapat menimbulkan gangguan substansial secara fisik terhadap orang lain. Pertentangan itu muncul karena untuk menghindari gangguan yang dapat mempengaruhi jalannya eksperimen itu, maka perlu diubah secara mendasar atau bahkan dihentikan.
Sebaliknya, untuk memelihara otoritas yang konvensional maka perlu diambil tindakan yang bertentangan dengan preskripsi moral para subyek. Pertimbangan keorganisasian-sosial mengatasi mengatasi pertimbangan moral. Tetapi dari laporan Miligram (1974) tersebut tampak jelas bahwa sebagian besar dari para subyek ini menyandang pertentangan batin. Hal ini menandakan bahwa selama eksperimen tersebut para subyek sangat peduli akan kerugian (rasa sakit) yang ditimbulkan oleh getaran listrik dan mereka tidak menyisihkan pertimbangan moralnya. Pertimbangan moral sering mengatasi pertimbangan keorganisasian. Keseimbangan antara komponen-komponen moral dengan keorganisasian didapatkan perbedaan dengan keseimbangan dalam kondisi yang dibakukan.

  1. PEMIKIRAN SOSIAL DAN TINDAKAN SOSIAL
  1. Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah dua puluh tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer: ” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis obat ia membayar dua ratus dolar dan menjualnya dua ribu dolar. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan seribu dolar atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat tiga tingkat dan enam tahap pada masing-masing tingkat terdapat dua tahap diantaranya sebagai berikut:
  1. Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
  • Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan. Yaitu tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
  • Tahap II. Individualisme dan tujuan. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
  1. Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar Internal tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
  • Tahap III. Norma-norma Interpersonal. Yaitu: dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
  • Tingkat IV. Moralitas Sistem Sosial. Yaitu: dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
  1. Tingkat Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Yaitu suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
  • Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual. Yaitu nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
  • Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal. Yaitu seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Validitas pendekatan ini didukung oleh studi yang dilakukan smetana yang disinggung dimuka mengenai pengambilan keputusan tentang pengguguran kandungan.penelitian tersebut didasarkan pada asumsi,bahwa pengguguran kandungan itu merupakan suatu masalah yang multidimensional dan ambigu yang hendaknya tidak hanya diteliti melalui mengukuran korelasi antara perilaku dengan pertimbangan moral belaka.salah satu sumber hipotesisnya ialah suatu perdebatan umum yang mendalam mengenai dasar hakiki dari pengguguran kandungan itu. Maka jelaskan kalau masalah tersebut kebijakan yang salah dari pertimbangan moral.
Sumber kedua dari hipotesis yang diajukan sehubungan dengan permasalahan ini ialah suatu pekerjaan yang ekstensif yang merintis pertimbangan dari pengguguran suatu masalah yang menyangkut insani,suatu kandungan yang digugurkan yaitu menyangkut hidup insani.oleh karena itu salah satu tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi orientasi sesorang menegnal ranah serta kriteria konseptural dalam masalah pengguguran kandungan .tujuan lain dari penelitian ini ialah untuk menguji pertautan antara pertimbangn dengan perilaku. Disamping mereka yang dijadikan sampel lain dalam studi ini ialah sekelompok wanita yang berpasangan.akan tetapi tidak pernah mengandung.
Analisis jawaban terhadap wawancara mengenai masalah penguguran kandungan itu, misalnya dalam pengguran kandungan itu apa termasuk dalam ranah moral. Beberapa responden pengguran itu bukan termasuk dalam moral.karena dalam pengguran itu termasuk merenggut nyawa hidup seseorang.oleh karena itu perbedaan pertimbangan itu tidak sekedar menyangkut persoalan bahwa membunuh itu salah. Ada empat corak pandangan yang berbeda berkaitan dengan aspek-aspek moral dan non moral dalam situasi ini. Pandangan pertama menganggap masalah pengguguran kandungan sebagai menjadi masalah pilihan pribadi lebih bersifat non moral.pandangan kedua menyatakan bahwa masalah pengguguran kandungan lebih merupakan masalah hidup dan mati,sehingga memandangnya sebagai suatu masalah moral.pandangan ketiga melihat adanya pertentangan antara pandangan yang menggangapnya sebagai masalah kebijakan moral dan yang tidak menganggap sebagai masalah kebijkan moral. Pandangan keempat menunjukkan adanya koordinasi antara aspek moral dengan aspek pribadi berdasarkan masa kandungan,para subyek yang melihat permasalahan demikian merumuskan kehidupan dan membandingkan dengan bentuk kehidupan insani karena masalah ini dilihat dari suatu saat tertentu maka masalah pengguguran tersebut mula-mula masalah bersifat pribadi.
Maka kesimpulan dari studi ini mendukung proposisi umum yang diajuakan dimuka bahwa perilaku itu berkaitan dengan pengambilan keputusan,dan bahwa pertautan itu diasosiasikan dengan pengkoordinasian pertimbangan sosial.studi ini juga memperlihatkan juga bahwa kejelasan perilaku tidak dapat dilihat semata-mata melalui pengukuran tingkat konsisten dengan pertimbangan moralnya.

  1. KESIMPULAN
  • Tindakan sosial itu merupakan hasil koordinasi dari berbagai ranah pertimbangan sosial. Artinya bahwa suatu keputusan perilaku tertentu dihasilkan oleh lebih dari satu jenis pertimbangan. Penalaran moral seseorang dibentuk melalui perolehan cara-cara orientasi budaya.
  • Dari hasil studi menunjukan perilaku itu berkaitan dengan pengambilan keputusan, dan pertautan itu diasosiasikan dengan pengkoordinasikan pertimbangan sosial. Perilaku soaial dapat membawakan pertimbangan yang konsisten maupun yang tidak konsisten, tergantung dari tipe pertimbangan yang dinilai. Adanya ranah menunjukan pertimbangan itu berkaitan dengan penafsiran individu mengenai situasi sosial dengan cara mempengaruhi perilaku. Pemilihan perilaku dan konten budaya tidak bersifat dikatomis dengan penalaran sosial. Untuk memehami suatu tindakan diperlukan suatu studi mengenai interelasi berbegai tipe pertimbangan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar