Selasa, 25 Juni 2013

PENENTUAN LEBAR LAUT TERRITORIAL

LAUT TERRITORIAL

Dahulu sejarah penentuan laut territorial menurut teori yang merupakan penyempurnaan dari teori Bartolus, laut yang berdekatan dengan pantai dijadikan bagian dari wilayah negara pantai sehingga lenyaplah perbedaan antara imperium (kedaulatan) dan dominium (kepemilikan) yang dibuat oleh Grotius. Pontanus dapat dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya dari konsepsi laut teritorial yang dikenal dalam hukum laut sekarang. Seratus tahun setelah terbitnya Mare Liberium, Cornelius van Bynkershoek (Belanda) menulis buku De Dominio Maris Dissertatio yang menolak dalil John Selden yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur tertentu (dengan ukuran lebar yang tidak terlalu besar) di bawah kedaulatan negara pantai. Sehingga dikenal suatu azas penguasaan laut dari darat berupa suatu Kaidah Tembakan Meriam, yaitu berbunyi :”kedaulatan teritorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir”. Dalam sejarahnya ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai, yaitu :
1. Ukuran tembakan meriam.
2. Ukuran pandangan mata.
3. Ukuran marine league.

Setelah itu baru muncul ukuran tiga mil laut yang dalam jangka panjang waktu cukup lama dianggap sebagai ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum. Usaha untuk mencoba menggambarkan kaidah tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit pertama kali dilakukan oleh Galiani (Italia) dengan menghubungkannya dengan suatu jalur netralitas yang lebarnya tiga mil, selanjutnya Domenico Anzuni (Italia) lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan kaidah tembakan meriam 3 mil. Terjadi kekeliruan seperti penulis George Friedrich Von Marten yang tidak menyamakan dengan tiga mil melainkan dengan tiga league (suatu ukuran dengan panjangnya tiga mil). Diundangkannya Territorial Waters Jurisdiction Act (1878) oleh Inggris, memperjelas ukuran tiga mil sebagai kaidah yang berdiri sendiri apalagi saat itu kedudukan armada perang dan niaganya dengan negara-negara Eropa Barat lainnya dan Amerika Serikat yang semuanya menganut kaidah tiga mil, memberikan kesan ini berlaku umum.

Kemudian, pengertian laut territorial berdasarkan ketentuan Pasal 2 UNCLOS 1982 yaitu Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya.
Penetuan lebar laut territorial berdasarkan ketentuan Pasal 3 UNCLOS 1982 yaitu Setiap Negara berhak menetapkan lebar laut territorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konstitusi.


PERAIRAN PEDALAMAN ( INTERNAL WATERS )

Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.
Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas:
a. Laut pedalaman
b. Perairan darat
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996), hukum laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Dilaut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada. Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun 1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan. Mengenai hak lintas damai dilaut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi).

Perairan pedalaman Indonesia adalah sepenuhnya berada di bawah kedaulatan Negara Indonesia, sampai saat ini Indonesia belum menetapkan wilayah perairan pedalaman, dengan identifikasinya. Selain itu di perairan pedalaman tersebut terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang ekspor-impor dari dan ke Indonesia. Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional Indonesia, pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia sudah seharusnya mempunyai standar internasional dan mampu bersaing secara global dengan pelabuhanpelabuhan luar negeri. Indonesia wajib memberikan keamanan dan keselamatan pelayaran internasional sejalan dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang diadopsi oleh International Maritime Organization (IMO) tanggal 12 Desember 2002.

Di samping itu, perairan pedalaman Indonesia sering dijadikan tempat pembuangan limbah sehingga perairan pedalaman di beberapa tempat di Indonesia sering tampak kotor, dan mungkin terjadi pencemaran lingkungan laut dan perusakan habitatnya. Apabila pemerintah membiarkan keadaan tersebut di perairan pedalaman, maka dapat dianggap telah melanggar kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 192 Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi : “States have the obligation to protect and preserve the marine environment”. Kewajiban Indonesia di perairan pedalaman adalah untuk kepentingan Indonesia, yaitu berupa kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan hidup secara keseluruhan, walapun dalam konteks lingkungan laut sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Laut yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1 komentar: