Pada hampir semua
negara berkembang, standar hidup (Level of Livings) dari
sebagian besar penduduknya sangat rendah. Sebutan rendah tersebut
bukan hanya dalam pengertian global, (bila dibandingkan dengan
standar hidup orang-orang di negara-negara kaya), namun juga di dalam
pengertian domestik, (bila dibandingkan dengan golongan elite di
negara mereka sendiri). Standar hidup yang rendah tersebut secara
kuantitatif diukur dalam bentuk jumlah pendapatan uang yang sangat
sedikit (dibawah 2 USD).
Kondisi masyarakat
miskin selalu diikuti dengan kesehatan yang buruk, perumahan yang
kurang layak, bekal pendidikan yang minim, angka kematian bayi yang
tinggi, angka harapan hidup yang rendah dan sebagainya. Dalam banyak
hal, mereka umumnya dalam keadaan yang sangat sulit, sehingga tidak
mengherankan jika diantara mereka yang sudah tak mempunyai harapan
sedikitpun untuk meraih kehidupan yang lebih bagus dan manusiawi.
Selama dasawarsa
1970-an, pada saat meningkatnya minat dan perhatian terhadap masalah
kemiskinan, para ahli ekonomi pembangunan mulai berusaha mengukur
luasnya atau kadar parahnya tingkat kemiskinan di dalam suatu negara
dan kemiskinan relatif antar negara dengan cara menentukan garis
kemiskinan (Poverty Line). Setelah melakukan telaah yang
lebih mendalam, mereka akhirnya menemukan konsep yang disebut
Kemiskinan Absolut (Absolute Poverty). Konsep ini dimaksudkan
untuk menentukan tingkat pendapatan minimun yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan fisik minimum setiap orang berupa kecukupan
makanan, pakaian serta perumahan sehingga dapat menjamin kelangsungan
hidupnya.
Generalisasi yang
dilakukan oleh United Nations Development Program (UNDP),
Human Development Report menunjukkan bahwa tinggi rendahnya
tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada 2 (dua)
faktor utama, yaitu : (1) Tingkat pendapatan nasional rata-rata, (2)
Tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Setinggi apapun
tingkat pendapatan nasional per kapita yang dicapai oleh suatu
negara, tetapi apabila distribusi pendapatannya tidak merata, maka
tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti tinggi. Demikian pula
sebaliknya, apabila distribusi pendapatan di suatu negara merata,
namun jika tingkat pendapatan nasional per kapitanya tidak mengalami
kenaikan (perbaikan), maka angka kemiskinan tetap meluas.
Generalisasi penting
berikutnya mengenai kemiskinan adalah bahwa kemiskinan itu lebih
banyak di derita oleh kaum wanita. Lebih dari 70% orang miskin di
dunia ini adalah wanita. Jika diperbandingkan standar hidup penduduk
termiskin di berbagai negara berkembang, maka akan terungkap fakta
bahwa ternyata penduduk yang paling menderita pada umumnya adalah
kaum wanita beserta anak-anak. Merekalah yang paling sedikit menerima
pelayanan kesehatan, air, sanitasi dan bentuk jasa sosial lainnya.
Banyaknya kaum wanita yang menjadi kepala rumahtangga, rendahnya
kesempatan dan kapasitas mereka dalam mencetak pendapatan sendiri,
serta terbatasnya kontrol mereka terhadap penghasilan suami adalah
merupakan sebab-sebab pokok yang mendorong timbulnya fenomena
tersebut.
Berdasarkan pada
rincian tersebut di atas, selanjutnya dapat dikemukakan bahwa
terdapat berbagai pandangan berkaitan dengan dimensi kemiskinan,
antara lain :
- Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan).
- Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi).
- Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
- Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
- Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam.
- Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat.
- Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
- Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
- Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar