Senin, 10 Juni 2013

PERTENTANGAN ANTAR TEORI DARI PENELITIAN DALAM PERKEMBANGAN MORAL

PERTENTANGAN ANTAR TEORI DARI PENELITIAN DALAM PERKEMBANGAN MORAL
  1. RANGKUMAN
Faktor-faktor esensial dalam penentu perkembangan moral ialah tindakan, afeksi, dan kognisi. Agar mendapatkan suatu yang terkonsep dan dapat menandai tentang perkembangan moral, ketiga faktor itu harus dikaji dengan saksama. Terdapat banyak asumsi bahwa tindakan moral akan dengan sendirinya mengikuti lajunya peningkatan moral. Jadi, anggapan bahwa kajian tentang perkembangan moral yang banyak dilakukan itu dianggap secara langsung telah menyiratkan pengukuran tindakan moral, dan sehingga masalah pengukuran tindakkan moral agak diacuhkan.
Perspektif perkembangan moral memerlukan suatu ketentuan yang menyatakan bahwa bidang tindakan dan bidang pertimbangan itu sama pentingnya. Untuk mengukur perkembangan moral tidak akan cukup hanya dengan menyampaikan pertimbangan ataupun keputusan yang mengenai dilema moral yang abstrak. Apa yang pernah dipelajari mengenai pelajaran moral atau tindakan moral di masa kecil banyak yang cukup menentukan bagi perbuatan moralnya pada perkembangan usia selanjutnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penalaran moral dalam hal situasi moral yang sering dialami, merupakan hasil dari tindakan yang diambil, bukan hasil dari komponen penentunya.
Dalam BAB ini akan diperbandingkan dua buah model yang secara kontras berlawanan, yaitu yang pertama adalah model teori yang menunjukkan adanya alur dari struktur tindakan kea rah struktur kognitif, sedangkan yang kedua menunjukkan adanya alur dari struktur kognitif ke struktur perilaku. Analisis ini menunjukkan bahwa kedua posisi tersebut ternyata tidak lengkap. Oleh karena itu, masih diperlakukan berbagai upaya yang kiranya dapat menyingkap betapa kognisi dan tindakan itu terjalin melalui seperangkat perkembangan pengalaman sehari-hari. Model teori tersebut ialah suatu model teori yang mengandung empat langkah, yang sangat perlu dalam mengkaji perkembangan moral, dimulai dengan tekanan pada perbuatan, kemudian beranjak ke arah pemberian perhatian pada pemikiran dan penalaran.

  1. ANTESEDEN HISTORIS
Terdapat dua unsur utama dalam mengadakan studi masalah perkembangan moral. Pertama orientasi behavioristik dari Hartshorn dan May dalam buku “studies nature of character” yang dalam pengkajiannya memberikan tekanan pada situasi-situasi khusus dan mereka berkesimpulan bahwa tidak ada kesatuan sifat watak kejujuran. Dan mereka beranggapan bahwa mengadakan studi mengenai perkembangan moralitas merupakan suatu penghamburan waktu, karena sebenarnya dalam diri individu tidak ada perilaku moral sebagai suatu satuan batin yang terorganisasi. Sedangkan yang kedua ialah orientasi penalaran moral dari piaget dalam bukunya “The moral judgement of the Child”.
Perkembangan moral itu pertama-tama adalah suatu refleksi dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup tentang keadilan dan kebersamaan moral secara teoritis untuk melahirkan perbuatan yang berbobot moral yang menyingkapkan tahapan moral seorang individu.. Lawrence Kohlberg (1958) menyatakan bahwa Piaget itu berada pada alur yang benar, bahwa perkembangan moralitas pertama kali berasal dari proses kognitif, oleh karena itu penalaran moral harus menjadi perhatian. Munculnya komponen-komponen afektif dan emosional dalam situasi moral, tidak dengan sendirinya menghasilkan tindakan moral ataupun tindakan tipuan.
Konteks kognitif yang digunakan untuk pemunculan ataupun inhibisi emosional akan melahirkan bermacam-macam respon terbuka. Interaksi antara emosi, kognisi, dan perilaku bersifat sangat kompleks, dan interpretasi kognitif mengenai situasi serta mengenai status afektif diri seseorang yang berada dalam situasi tersebut, mungkin bersifat gawat dalam menentukan tindakan moral. Tujuan orientasi kognitif ialah untuk memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana orang berpikir dan bernalar.

  1. PARADOKS DALAM PENELITIAN PERKEMBANGAN MORAL DEWASA INI
Yang merupakan paradoks perkembangan moral ialah pengalaman yang sering didapatkan sehubungan dengan pengambilan keputusan moral yang tidak tercakup dalam definisi operasional tersebut. Peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi sehari-hari, seperti berdusta, mencuri, menipu dapat diartikan sebagai suatu situasi moral. Namun bagi sebagian orang yang beradab hal seperti itu merupakan hal yang tidak patut atau bukan lagi situasi moral.

  1. PERANAN PERILAKU DALAM PENELITIAN TENTANG PERKEMBANGAN KOGNITIF PEMULA
Piaget dan Kohlberg, pada mulanya menaruh perhatian pada perilaku maupun pertimbangan. Piaget (1932) merintis studinya mengenai perkembangan moral dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng. Salah satu pengamatan yang paling menarik dalam studi yang tergolong klasik ini ialah adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia, dengan ketaatan terhadap aturan. Anak-anak kecil yang berada pada tahapan kedua memainkan suatu permainan yang mempunyai aturan, mempersepsi aturan-aturan itu secara mutlak. Sedangkan anak yang lebih besar dalam permainan aturan itu berada pada tahapan keempat, memahami benar bahwa aturan disepakati oleh rekan sepermainan. Bagaimana kedua komponen dari perkembangan moral ini, yakni pengenalan dan ketaatan terhadap aturan terjalin bersama dan terpaut pada perkembangan pertimbangan moral, merupakan pertanyaan yang patut dikaji dalam penelitian lanjutannya. Akan tetapi justru persoalan yang menyangkutkan kognisi dan perilaku itu belum pernah dikembangkan lebih lanjut oleh para pengikut Piaget (Burton, 1977).
Kohlberg (1958) memulai karyanya dengan menaruh perhatian pada tindakan dengan asumsinya bahwa melalui pemahaman akan perkembangan moral, ia akan dapat mengetahui bagaimana caranya ia meningkatkan tahapan moralitasnya, sehingga mereka akan menjadi orang yang menaati hukum. Akan tetapi pada umumnya bukti-bukti mengenai pertautan antar pertimbangan moral dengan ukuran tentang perilaku moral yang terkontrol hanya menunjukkan korelasi yang rendah. Sebagaimana terlihat pada data empiris, tidak adanya kemungkinan meramalkan perilaku moral dari pertimbangan moral telah bertumpuk, secara konsisten perhatian terhadap cara bagaimana pula pertautan antara penalaran dengan perbuatan itu terciptakan, tampak makin menjauh. “logika dalam bentuk tindakan” (logic in action) (Kohlberg, 1964), yaitu tindakan yang dilakukan pribadi secara aktual dalam suatu situasi moral tertentu.

  1. PERISTIWA KUMULASI DALAM RANGKA MEMPELAJARI MORALITAS
Untuk dapat memahami sejarah belajar moral diperlukan suatu contoh peristiwa kumulasi. Yang didalamnya ada jenis pengalaman yang merupakan purwadasar dari pengambilan keputusan moral dalam komponen–komponen kognitif sebagai penafsiran situasi, perumusan rangkaian tindakan yang tepat, penyadaran akan adanya alternatif tindakan lain serta mempertautkan diri dengan pilihan moral yang semuanya berlangsung tanpa disadari secara khusus. Jenis pengalaman tersebut sekaligus merupakan juga jenis perkembangan moral yang terjalin dengan peningkatan berbagai permasalahan sosial yang terjalin dengan peningkatan berbagai permasalahan sosial yang ditemukan saat ini, seperti masalah penggunaan obat bius, kenakalan remaja dan kejahatan.

  1. IMPLIKASI TEORITIS
Bukti dari tahapan penyadaran akan praktik disiplin yang bersifat langsung dan tidak langsung seperti pada anak kecil kearah penyadaran melalui isyarat yang tersirat dalam lisan dan pembiasaan moral (Burton, Maccoby, dan Allinsmith 1961), berbagai studi eksperimental menunjukkan bahwa anak mempunyai alasan yang dapat menghindarkan suatu hukuman yang dijatuhkan, maka hukuman berpengaruh terhadap perbuatan moral. Hal ini sejalan dengan pendapat umum maupun dengan bukti pengalaman sehari-hari, bahwa anak menganggap pemahaman moral mereka selaras dengan tahapan kemampuan mereka sendiri (Turiel 1966).
Dalam perkembangan penalaran moral secara kognitif, pengalaman berupa perilaku menduduki peranan utama. Hipotesis tersebut sejalan dengan Piaget yang menyatakan “bahwa struktur-struktur dini berkembang dari hasil interaksi anak dengan lingkungannya dan bahwa struktur berikutnya berkembang dari struktur yang telah ada dalam interaksinya dengan pengalaman perilaku yang terakhir”. Akan tetapi perkembangan kognitif yang ditemukan akhir-akhir ini pengaruhnya telah berubah. Sedangkan hipotesis Kohlberg mengatakan “agar dapat berbuat moral dalam kualitas yang tinggi diperlukan penalaran moral yang berkualitas tinggi pula”. Yang paling penting adalah strukturnya, sedang konten dari interaksi khusus dengan lingkungannya akan ditentukan struktur internalnya.
Perilaku maupun sikap dibentuk hanya melalui peguatan yang positif akan tetapi harus bersifat luwes hal ini dikarenakan tidak akan muncul permasalahan berkaitan dengan menjadi macetnya perbuatan itu atau tidak responsifnya terhadap berbagai macam penguatan positif dan dilaksanakan secara terampil. Sepanjang masa dini anak penting juga untuk dibentuk secara terpadu dalam penguatan positif bagi respon moralnya selama masa awal belajar moral. Dalam berbagai tindakan prososial dan altuiristik, kita dapat dengan mudah menata penguatan melalui ucapan seperti “Baik sekali kamu dapat membantu temanmu” atau “Ohh begitu sopan kamu anak cantik” dan sebagainya. Akan tetapi untuk tindakan yang berkaitan dengan pengendalian diri atau menolak godaan ternyata jauh lebih sukar sehingga harus dilakukan adanya suatu hukuman guna anak yang melakukan tindakan menyimpang dari moral menjadi takut. Akan tetapi tindakan moral yang diharapkan memerlukan penguatan positif untuk menyakinkan bahwa tidak semua perbuatan harus ditekan.

  1. PARADIGMA PENGAJARAN MORAL
Dalam mempertemukan kedua pendekatan yang bersifat behavioral dan kognitif developmental terhadap perkembangan moral, dan menghasilkan konsistensi dalam perbuatan berterus terang yaitu struktur kognitif ataupun orientasi moral. Ada empat langkah yang perlu diperhatikan untuk tujuan heuristik dan teoristik, yaitu sebagai berikut :
  1. Ada keharusan untuk mengkondisi pemunculan isyarat-isyarat yang tersirat dalam situasi pertentangan moral, secara otomatis.
  2. Menyangkut tingkatan keabstrakan dari konteks verbal.
  3. Menggunakan konsep yang dipelajarinya untuk menafsirkan situasi moral dan dengan demikian memantapkan langkahnya.
  4. Respons moral yang aktual.

  1. PEMBAHASAN
Terdapat tiga faktor dalam penentuan perkembangan moral, yaitu tindakan, afeksi, dan kognisi. Ketiga faktor itu sangat penting dan harus dilakukan secara seimbang serta saling berhubungan dalam perkembangan moral, karena tindakan moral akan selalu dengan sendirinya mengikuti lajunya peningkatan moral. Penalaran moral dalam situasi moral yang sering dialami merupakan hasil dari tindakan yang diambil, bukan hasil dari komponen yang lain. Seperti apa yang telah dipelajari anak dimasa kecil akan berpengaruh besar dalam menetukan perkembangan moral si anak diusia selanjutnya.
Dalam BAB ini akan membandingkan dua buah model teori yang secara kontras berlawanan. Model yang pertama ialah model teori yang menunjukkan adanya alur dari struktur tindakan ke struktur kognitif, sedangkan yang kedua menunjukkan adanya alur dari struktur kognitif ke struktur perilaku. Kedua model teori ini kurang lengkap, sehingga dilakukan berbagai upaya yang dapat menggabungkan kedua model ini, sehingga dapat menyingkap bahwa kognisi dan tindakan terjalin melalui seperangkat perkembangan pengalaman sehari-hari. Posisi ini menyebabkan banyak pengambilan keputusan moral yang bersifat purwadasar dan tidak disadari. Dan setiap pemberian alasan yang dari tindakan moral diambil setelah tindakan itu terjadi, namun tindakan moral tersebut tetap memperlihatkan perilaku moral yang matang. Tindakan moral seperti itu merupakan bagian yang berkaitan dalam riwayat pengsosialisasian anak yang bersangkutan.
Dalam mengkaji perkembangan moral, Roger V. Burton mengajukan suatu model teori yang mengandung empat langkah, yaitu :
  • Memberikan tekanan pada perbuatan,
  • Memberikan perhatian pada pemikiran, dan
  • Penalaran, serta
  • Tindakan terbuka.
Model tersebut dimaksudkan untuk mempertemukan orientasi behavioral dengan teori perkembangan kognitif.

  1. ANTESEDEN HISTORIS
Dalam mengadakan pembelajaran masalah perkembangan moral, yaitu yang pertama orientasi behavioristik dari Hartstorn dan May dalam buku "studies in the nature of character", di dalam pengkajiannya memberikan tekanan pada situasi-situasi khusus dan tidak ada kesatuan sifat watak kejujuran. Dalam teori di buku ini mempengaruhi para peneliti yang berorientasi behavioral, sehingga anggapan mereka bahwa mengadakan studi atau penelitian mengenai perkembangan moralitas merupakan suatu yang sia-sia, karena sebenarnya dalam individu tidak ada perilaku moral sebagai suatu satuan batin yang terorganisasi itu.
Sedangkan yang kedua ialah orientasi penalaran moral dari Piaget dalam bukunya "The Moral Judgment of The Child", namun teori tersebut kurang direspon oleh masyarakat, karena gaya penulisannya sulit dan kurang dikenal. Secara umum studi tentang moralitas ini lebih didominasi oleh orientasi – orientasi yang bersifat behavioral yang kerangka teoritisnya merupakan rumusan dari konsep -konsep psikoanalisis ke dalam orientasi psikologi belajar dan psikologi behavioral dan lebih menitik beratkan pada masalah godaan dan rasa bersalah, respons terbuka dan kecemasan itu diidentifikasikan sebagai pendorong.
Lawrence Kohlberg menyatakan bahwa Piaget berada pada alur yang benar, karena perkembangan moralitas pertama kali berasal dari proses kognitif, oleh karena itu penalaran moral harus menjadi perhatian. Munculnya komponen-komponen afektif dan emosional dalam situasi moral, tidak akan dengan sendirinya menghasilkan tindakan moral atau tipuan. Tujuan orientasi kognitif ialah untuk memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana orang berpikir dan bernalar.

  1. PARADOKS DALAM PENELITIAN PERKEMBANGAN DEWASA INI
Paradoks perkembangan moral merupakan pengalaman yang paling umum didapat yang berkaitan dengan pengambilan keputusan moral. Contohnya ketika seseorang menemukan sebuah dompet, dan dia mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya tanpa mengambil uang yang ada di dompet tersebut. Peristiwa seperti itu dapat disebut sebagai situasi moral. Namun bagi sebagian besar orang yang beradab, peristiwa semacam itu tidak lagi disadari sebagai suatu konflik moral. Keputusan tindakan-tindakan tersebut dilakukan tanpa didahului pemikiran yang benar-benar disadari. Jadi, perkembangan moral itu pertama-tama adalah suatu refleksi dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam konsepsi tentang keadilan dan kebersamaan moral secara teoritis untuk melahirkan perbuatan yang berbobot moral dan meningkapkan tahapan moral seorang individu.

  1. PERANAN PERILAKU DALAM PENELITIAN TENTANG PERKEMBANGAN KOGNITIF PEMULA
Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. “Moral” berasal dari kata latin yang berarti tatacara, kebiasaan dan adat. Perilaku moral di kendalikan oleh konsep-konsep moral peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok. Perilaku tak bermoral berarti perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan oleh ketidak acuhan akan harapan sosial, melainkan ketidak setujuan dengan standart sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Perilaku amoral berarti perilaku yang lebih disebabkan ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standart kelompok. Beberapa diantara perilaku anak kecil lebih bersifat amoral daripada tak bermoral.
Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya, tiap bayi yang baru lahir dapat dianggap amoral. Tidak seorang anakpun dapat diharapkan mengembangkan kode moral sendiri. Maka, tiap anak harus diajarkan standart kelompok tentang yang benar dan yang salah.
Dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama:
  1. Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan.
  2. Mengembangkan hati nurani.
  3. Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok.
  4. Mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok.
Menurut Peaget, perkembangan moral terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama disebut tahap realisme moral (moralitas oleh pembatasan). Tahap kedua disebut moralitas otonomi (moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik). Dalam tahap yang pertama ini seorang anak menilai tindakan sebagai benar atau salah atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motifasi dibelakangnya. Moral anak otomatis mengikuti peraturan tanpa berfikir atau menilai, dan cenderung menganggap orang dewasa yang berkuasa sebagai maha kuasa. Yang paling penting menurut Piaget bahwa anak menilai suatu perbuatan benar atu salah berdasarkan hukuman bukan pada nilai moralnya. Di tahap kedua perkembangan kognitif anak telah terbentuk sehingga dia dapat mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu. Anak mulai dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan dapat mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkan masalah.

  1. PERISTIWA KUMULASI DALAM RANGKA MEMPELAJARI MORALITAS
Bagi usia anak yang berusia satu setengah tahun untuk mencegah tindakan yang menyimpang tidak perlu menggunakan cara fisik karena dengan cara fisik akan mengganggu psikologis anak sehingga anak akan merasa tertekan takut dan bahkan bisa melakukan tindakan yang menyimpang lagi melainkan dengan cara verbal dengan memberikan teguran, arahan pengertian. Dan memasuki umur tiga atau enam tahunan si anak telah memiliki struktur kognitif yang lebih luas untuk menerima penjelasan yang diberikan agar lebih bisa mengendalikan diri, manakala muncul godaan sehingga cara yang cocok untuk mencegah penyimpangan adalah dengan cara verbal. Dan selain itu dengan menyampaikan apa yang harus dilakukan danapa yang harus dilakukan selaras dengan tingkat pemahaman anak.
Ketika pada peristiwa di babak terakhir di usia 10 tahun respon moral itu tampak muncul seperti otomatis seperti memungut dompet kembali dan mengembalikanya kepada yang punya dan peristiwa itu sudah tuntutan dan ini semuanya berlangsung tanpa dirasakn adanya perjuangan batin. Jenis pengalaman inilah yang merupakan suatu purwadasar ( prototypical ) dari pengambilan keputusan moral dan juga jenis perkembangan moral yang terjalin dengan peningkatan berbagai masalah social yang ditemukan dewasa ini.

  1. IMPLIKASI TEORETIS
Implikasi moral seseorang termasuk anak harus ditangani dengan cara yang luwes. Setiap tindakan yang dilakukan oleh anak maupun seseorang termasuk baik harus di kasih suatu penghargaan dan jika tindakan yang dilakukan menyimpang maka harus diberi hukuman guna anak yang melakukan tindakan tidak sesuai tersebut diharapkan dia tidak melakukannya lagi. Dan sebagai orang yang bertanggungjawab dalam pembentukan moral hendaknya harus lebih banyak mendasarkan pelaksanaan pendidikan moralnya pada struktur kognitif dalam teknik latihan yang diberikan dengan menjelaskan pula kepada anak apa yang dilakukannya, mengapa, bilamana, di mana, dan bagaimana pelaksanaannya. Dan masa dini anak penting untuk dibentuk secara terpadu dalam penguatan positif bagi respon moralnya selama masa awal belajar moral yang dilakukan, akan tetapi anak menahan diri dari godaan lebih sukar dari yang diharapkan maka terbentuklah suatu hukuman yang dapat atau dengan sengaja membentuk moral anak itu sendiri.

  1. PARADIGMA PENGAJARAN MORAL
Kita semua menyadari bahwa pendidikan bukan sekedar menyalurkan ilmu pengetahuan namun juga menyalurkan nilai. Karena itu, penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pendidikan sangat diperlukan. Pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan untuk membantu peserta didik memahami perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam pendidikan nilai-nilai budaya dan karakter adalah salah satu pencegahan terjadinya penyimpangan etika dan moral di kalangan remaja. Oleh karena itu, pendidikan karakter sangat penting untuk membangun moral dan kepribadian bangsa.
Dalam langkah pertama paradigma pengajaran moral yaitu ada keharusan untuk mengkondisi kemunculan isyarat-isyarat yang tersirat dalam suatu situasi pertentangan moral secara otomatis. Jadi belajar moral baru terjadi saat dilaksanakan tindakan, sedangkan konsekuensi tindakan itu mengkondisikan kecemasan. Isyarat-isyarat yang dikondisikan bagi lahirnya kecemasan itu tampaknya merupakan isyarat fisik yang terkadnung dalam situasi tersebut. Yang kedua yaitu, menyangkut tingkatan keabstrakan dari konteks verbal. Ada pengaruhnya dalam mengendalikan perilaku anak atau dapat membuatnya berhenti melakukan perbuat-perbuatn tertentu dal situasi tertentu akan tetapi isyarat-isyarat itu tidak ada kontribusinya bagi anak dalam mempersepsi situasi baru yang sejenis dengan situasi tersebut. Yang ketiga, mensyaratkan bahwa anak yang bersangkutan harus dapat menggunakan konsep yang dipelajarinya itu untuk menafsirkan situasi moral dan dengan demikian memantapkan langkah tersebut. Proses kognitif dituntun untuk mengklasifikasian situasi yang perlu diperhatikan. Penentuan situasi yang dialami dengan konsep tertentu masih harus dipelajari anak secara khusus. Anak sebagai individu harus mengenali bahwa situasi tersebut mengundang respon moral. Yang terakhir, dalam urutan model ini ialah respon moral yang aktual. Tuntutan untuk mendapatkan generasi inilah yang telah mendorong mempertemukan kedua pendekatan yang bersifat behavioral dan kognitif developmental terhadap perkembangan moral itu.

  1. KESIMPULAN
Faktor penentu perkembangan moral ialah tindakan, afeksi, dan kognisi. Serta penalaran moral merupakan hasil dari tindakan moral yang telah dialami. Ada empat langkah yang dapat mengkaji perkembangan moral, antara lain; memberikan tekanan pada perbuatan, memberikan perhatian pada pemikiran, dan penalaran, serta tindakan terbuka. Terdapat dua orientasi moral yaitu orientasi behavioristik dan penalaran moral. Paradoks perkembangan moral berasal dari sebuah pengalaman yang berkaitan dengan pengambilan keputusan moral. Dalam mempelajari moral ada empat aspek, yaitu : mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial, mengembangkan hati nurani, belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu, mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial. Dalam memberikan pengertian kepada anak tentang mana hal yang baik dan buruk yang dilakukan tidak memerlukan cara fisik melainkan dengan cara verbal yaitu dengan memberikan arahan- arahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar