PERTENTANGAN
ANTAR TEORI DARI PENELITIAN DALAM PERKEMBANGAN MORAL
- RANGKUMAN
Faktor-faktor
esensial dalam penentu perkembangan moral ialah tindakan, afeksi, dan
kognisi. Agar mendapatkan suatu yang
terkonsep dan dapat menandai
tentang perkembangan moral, ketiga faktor itu harus dikaji dengan
saksama. Terdapat banyak asumsi bahwa tindakan moral akan dengan
sendirinya mengikuti lajunya peningkatan moral. Jadi,
anggapan bahwa kajian tentang perkembangan moral yang banyak
dilakukan itu dianggap secara langsung telah menyiratkan pengukuran
tindakan moral, dan sehingga
masalah pengukuran tindakkan moral agak diacuhkan.
Perspektif
perkembangan moral memerlukan
suatu ketentuan yang menyatakan bahwa bidang tindakan dan bidang
pertimbangan itu sama pentingnya. Untuk
mengukur perkembangan moral tidak akan cukup hanya dengan
menyampaikan pertimbangan ataupun keputusan yang mengenai dilema
moral yang abstrak.
Apa yang pernah dipelajari mengenai pelajaran moral
atau tindakan
moral di masa kecil banyak yang cukup menentukan bagi perbuatan
moralnya pada perkembangan usia selanjutnya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penalaran moral dalam hal situasi moral yang
sering dialami, merupakan hasil dari tindakan yang diambil, bukan
hasil dari komponen penentunya.
Dalam
BAB ini akan diperbandingkan dua buah model yang secara kontras
berlawanan, yaitu yang pertama adalah model
teori
yang menunjukkan adanya alur dari struktur tindakan kea rah struktur
kognitif, sedangkan yang kedua menunjukkan adanya alur dari struktur
kognitif ke struktur perilaku. Analisis ini menunjukkan bahwa kedua
posisi tersebut ternyata tidak lengkap. Oleh karena itu, masih
diperlakukan berbagai upaya yang
kiranya
dapat menyingkap betapa kognisi dan tindakan itu terjalin melalui
seperangkat perkembangan pengalaman sehari-hari. Model teori tersebut
ialah suatu model teori yang mengandung empat langkah, yang sangat
perlu dalam mengkaji perkembangan moral, dimulai dengan tekanan pada
perbuatan, kemudian beranjak ke arah pemberian perhatian pada
pemikiran dan penalaran.
- ANTESEDEN HISTORIS
Terdapat
dua unsur
utama dalam mengadakan studi masalah perkembangan moral.
Pertama orientasi behavioristik dari Hartshorn dan May dalam buku
“studies nature of character” yang dalam pengkajiannya memberikan
tekanan pada situasi-situasi khusus dan mereka berkesimpulan bahwa
tidak ada kesatuan sifat watak kejujuran. Dan mereka beranggapan
bahwa mengadakan studi mengenai perkembangan moralitas merupakan
suatu penghamburan waktu, karena sebenarnya dalam diri individu tidak
ada perilaku moral sebagai suatu satuan batin yang terorganisasi.
Sedangkan
yang kedua ialah orientasi penalaran moral dari piaget dalam bukunya
“The moral judgement of the Child”.
Perkembangan
moral itu pertama-tama adalah suatu refleksi dari perubahan-perubahan
yang terjadi dalam lingkup tentang keadilan dan kebersamaan moral
secara teoritis untuk melahirkan perbuatan yang berbobot moral yang
menyingkapkan tahapan moral seorang individu.. Lawrence Kohlberg
(1958) menyatakan bahwa Piaget itu berada pada alur yang benar, bahwa
perkembangan moralitas pertama kali berasal dari proses kognitif,
oleh karena itu penalaran moral harus menjadi perhatian. Munculnya
komponen-komponen afektif dan emosional dalam situasi moral, tidak
dengan sendirinya menghasilkan tindakan moral ataupun tindakan
tipuan.
Konteks
kognitif yang digunakan untuk pemunculan ataupun inhibisi emosional
akan melahirkan bermacam-macam respon terbuka. Interaksi antara
emosi, kognisi, dan perilaku bersifat sangat kompleks, dan
interpretasi kognitif mengenai situasi serta mengenai status afektif
diri seseorang yang berada dalam situasi tersebut, mungkin bersifat
gawat dalam menentukan tindakan moral. Tujuan orientasi kognitif
ialah untuk memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana orang
berpikir dan bernalar.
- PARADOKS DALAM PENELITIAN PERKEMBANGAN MORAL DEWASA INI
Yang
merupakan paradoks perkembangan moral ialah pengalaman yang sering
didapatkan sehubungan dengan pengambilan keputusan moral yang tidak
tercakup dalam definisi operasional tersebut. Peristiwa-peristiwa
yang dapat terjadi sehari-hari, seperti berdusta, mencuri, menipu
dapat diartikan sebagai suatu situasi moral. Namun bagi sebagian
orang yang beradab hal seperti itu merupakan hal yang tidak patut
atau bukan lagi situasi moral.
- PERANAN PERILAKU DALAM PENELITIAN TENTANG PERKEMBANGAN KOGNITIF PEMULA
Piaget
dan Kohlberg, pada mulanya menaruh perhatian pada perilaku maupun
pertimbangan. Piaget (1932) merintis studinya mengenai perkembangan
moral dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng. Salah satu
pengamatan yang paling menarik dalam studi yang tergolong klasik ini
ialah adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan persepsi yang
berkaitan dengan usia, dengan ketaatan terhadap aturan. Anak-anak
kecil yang berada pada tahapan kedua memainkan suatu permainan yang
mempunyai aturan, mempersepsi aturan-aturan itu secara mutlak.
Sedangkan anak yang lebih besar dalam permainan aturan itu berada
pada tahapan keempat, memahami benar bahwa aturan disepakati oleh
rekan sepermainan. Bagaimana kedua komponen dari perkembangan moral
ini, yakni pengenalan dan ketaatan terhadap aturan terjalin bersama
dan terpaut pada perkembangan pertimbangan moral, merupakan
pertanyaan yang patut dikaji dalam penelitian lanjutannya. Akan
tetapi justru persoalan yang menyangkutkan kognisi dan perilaku itu
belum pernah dikembangkan lebih lanjut oleh para pengikut Piaget
(Burton, 1977).
Kohlberg
(1958) memulai karyanya dengan menaruh perhatian pada tindakan dengan
asumsinya bahwa melalui pemahaman akan perkembangan moral, ia akan
dapat mengetahui bagaimana caranya ia meningkatkan tahapan
moralitasnya, sehingga mereka akan menjadi orang yang menaati hukum.
Akan tetapi pada umumnya bukti-bukti mengenai pertautan antar
pertimbangan moral dengan ukuran tentang perilaku moral yang
terkontrol hanya menunjukkan korelasi yang rendah. Sebagaimana
terlihat pada data empiris, tidak adanya kemungkinan meramalkan
perilaku moral dari pertimbangan moral telah bertumpuk, secara
konsisten perhatian terhadap cara bagaimana pula pertautan antara
penalaran dengan perbuatan itu terciptakan, tampak makin menjauh.
“logika dalam bentuk tindakan” (logic in action) (Kohlberg,
1964), yaitu tindakan yang dilakukan pribadi secara aktual dalam
suatu situasi moral tertentu.
- PERISTIWA KUMULASI DALAM RANGKA MEMPELAJARI MORALITAS
Untuk
dapat memahami sejarah belajar moral diperlukan suatu contoh
peristiwa kumulasi. Yang didalamnya ada jenis pengalaman yang
merupakan purwadasar dari pengambilan keputusan moral dalam
komponen–komponen kognitif sebagai penafsiran situasi, perumusan
rangkaian tindakan yang tepat, penyadaran akan adanya alternatif
tindakan lain serta mempertautkan diri dengan pilihan moral yang
semuanya berlangsung tanpa disadari secara khusus.
Jenis pengalaman tersebut sekaligus merupakan juga jenis perkembangan
moral yang terjalin dengan peningkatan berbagai permasalahan sosial
yang terjalin dengan peningkatan berbagai permasalahan sosial yang
ditemukan saat ini, seperti masalah penggunaan obat bius, kenakalan
remaja dan kejahatan.
- IMPLIKASI TEORITIS
Bukti
dari tahapan penyadaran akan praktik disiplin yang bersifat langsung
dan tidak langsung seperti pada anak kecil kearah penyadaran melalui
isyarat yang tersirat dalam lisan dan pembiasaan moral (Burton,
Maccoby, dan Allinsmith 1961), berbagai studi eksperimental
menunjukkan bahwa anak mempunyai alasan yang dapat menghindarkan
suatu hukuman yang dijatuhkan, maka hukuman berpengaruh terhadap
perbuatan moral. Hal ini sejalan dengan pendapat umum maupun dengan
bukti pengalaman sehari-hari, bahwa anak menganggap pemahaman moral
mereka selaras dengan tahapan kemampuan mereka sendiri (Turiel 1966).
Dalam
perkembangan penalaran moral secara kognitif, pengalaman berupa
perilaku menduduki peranan utama. Hipotesis tersebut sejalan dengan
Piaget yang menyatakan “bahwa struktur-struktur dini berkembang
dari hasil interaksi anak dengan lingkungannya dan bahwa struktur
berikutnya berkembang dari struktur yang telah ada dalam interaksinya
dengan pengalaman perilaku yang terakhir”. Akan tetapi perkembangan
kognitif yang ditemukan akhir-akhir ini pengaruhnya telah berubah.
Sedangkan hipotesis Kohlberg mengatakan “agar dapat berbuat moral
dalam kualitas yang tinggi diperlukan penalaran moral yang
berkualitas tinggi pula”. Yang paling penting adalah strukturnya,
sedang konten dari interaksi khusus dengan lingkungannya akan
ditentukan struktur internalnya.
Perilaku
maupun sikap dibentuk hanya melalui peguatan yang positif akan tetapi
harus bersifat luwes hal ini dikarenakan tidak akan muncul
permasalahan berkaitan dengan menjadi macetnya perbuatan itu atau
tidak responsifnya terhadap berbagai macam penguatan positif dan
dilaksanakan secara terampil. Sepanjang masa dini anak penting juga
untuk dibentuk secara terpadu dalam penguatan positif bagi respon
moralnya selama masa awal belajar moral. Dalam berbagai tindakan
prososial dan altuiristik, kita dapat dengan mudah menata penguatan
melalui ucapan seperti “Baik sekali kamu dapat membantu temanmu”
atau “Ohh begitu sopan kamu anak cantik” dan sebagainya. Akan
tetapi untuk tindakan yang berkaitan dengan pengendalian diri atau
menolak godaan ternyata jauh lebih sukar sehingga harus dilakukan
adanya suatu hukuman guna anak yang melakukan tindakan menyimpang
dari moral menjadi takut. Akan tetapi tindakan moral yang diharapkan
memerlukan penguatan positif untuk menyakinkan bahwa tidak semua
perbuatan harus ditekan.
- PARADIGMA PENGAJARAN MORAL
Dalam
mempertemukan kedua pendekatan yang bersifat behavioral dan kognitif
developmental terhadap perkembangan moral, dan menghasilkan
konsistensi dalam perbuatan berterus terang yaitu struktur kognitif
ataupun orientasi moral. Ada empat langkah yang perlu diperhatikan
untuk tujuan heuristik dan teoristik, yaitu sebagai berikut :
- Ada keharusan untuk mengkondisi pemunculan isyarat-isyarat yang tersirat dalam situasi pertentangan moral, secara otomatis.
- Menyangkut tingkatan keabstrakan dari konteks verbal.
- Menggunakan konsep yang dipelajarinya untuk menafsirkan situasi moral dan dengan demikian memantapkan langkahnya.
- Respons moral yang aktual.
- PEMBAHASAN
Terdapat
tiga faktor dalam penentuan perkembangan moral, yaitu tindakan,
afeksi, dan kognisi. Ketiga faktor itu sangat penting dan harus
dilakukan secara seimbang
serta saling berhubungan dalam
perkembangan moral, karena tindakan moral akan selalu dengan
sendirinya mengikuti lajunya peningkatan moral.
Penalaran moral dalam situasi moral yang sering dialami merupakan
hasil dari tindakan yang diambil, bukan hasil dari komponen yang
lain. Seperti apa yang telah dipelajari anak dimasa kecil akan
berpengaruh besar dalam menetukan perkembangan moral si anak diusia
selanjutnya.
Dalam
BAB ini akan membandingkan dua buah model teori yang secara kontras
berlawanan. Model yang pertama ialah model teori yang menunjukkan
adanya alur dari struktur tindakan ke struktur kognitif, sedangkan
yang kedua menunjukkan adanya alur dari struktur kognitif ke struktur
perilaku. Kedua model teori ini kurang lengkap, sehingga dilakukan
berbagai upaya yang dapat menggabungkan kedua model ini, sehingga
dapat menyingkap bahwa kognisi dan tindakan terjalin melalui
seperangkat perkembangan pengalaman sehari-hari. Posisi ini
menyebabkan banyak pengambilan keputusan moral yang bersifat
purwadasar dan tidak disadari. Dan setiap pemberian alasan yang dari
tindakan moral diambil setelah tindakan itu terjadi, namun tindakan
moral tersebut tetap memperlihatkan perilaku moral yang matang.
Tindakan moral seperti itu merupakan bagian yang berkaitan dalam
riwayat pengsosialisasian anak yang bersangkutan.
Dalam
mengkaji perkembangan moral, Roger V. Burton mengajukan suatu model
teori yang mengandung empat langkah, yaitu :
- Memberikan tekanan pada perbuatan,
- Memberikan perhatian pada pemikiran, dan
- Penalaran, serta
- Tindakan terbuka.
Model
tersebut dimaksudkan untuk mempertemukan orientasi behavioral dengan
teori perkembangan kognitif.
- ANTESEDEN HISTORIS
Dalam
mengadakan pembelajaran masalah perkembangan moral, yaitu yang
pertama orientasi behavioristik dari Hartstorn dan May dalam buku
"studies in the nature of character", di dalam
pengkajiannya memberikan tekanan pada situasi-situasi khusus dan
tidak ada kesatuan sifat watak kejujuran. Dalam teori di buku ini
mempengaruhi para peneliti yang berorientasi behavioral, sehingga
anggapan mereka bahwa mengadakan studi atau penelitian mengenai
perkembangan moralitas merupakan suatu yang sia-sia, karena
sebenarnya dalam individu tidak ada perilaku moral sebagai suatu
satuan batin yang terorganisasi itu.
Sedangkan
yang kedua ialah orientasi penalaran moral dari Piaget dalam bukunya
"The Moral Judgment of The Child", namun teori tersebut
kurang direspon oleh masyarakat, karena gaya penulisannya sulit dan
kurang dikenal. Secara umum studi tentang moralitas ini lebih
didominasi oleh orientasi – orientasi yang bersifat behavioral
yang kerangka teoritisnya merupakan rumusan dari konsep -konsep
psikoanalisis ke dalam orientasi psikologi belajar dan psikologi
behavioral dan lebih menitik beratkan pada masalah godaan dan rasa
bersalah, respons terbuka dan kecemasan itu diidentifikasikan sebagai
pendorong.
Lawrence Kohlberg menyatakan bahwa Piaget berada pada alur yang benar, karena perkembangan moralitas pertama kali berasal dari proses kognitif, oleh karena itu penalaran moral harus menjadi perhatian. Munculnya komponen-komponen afektif dan emosional dalam situasi moral, tidak akan dengan sendirinya menghasilkan tindakan moral atau tipuan. Tujuan orientasi kognitif ialah untuk memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana orang berpikir dan bernalar.
Lawrence Kohlberg menyatakan bahwa Piaget berada pada alur yang benar, karena perkembangan moralitas pertama kali berasal dari proses kognitif, oleh karena itu penalaran moral harus menjadi perhatian. Munculnya komponen-komponen afektif dan emosional dalam situasi moral, tidak akan dengan sendirinya menghasilkan tindakan moral atau tipuan. Tujuan orientasi kognitif ialah untuk memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana orang berpikir dan bernalar.
- PARADOKS DALAM PENELITIAN PERKEMBANGAN DEWASA INI
Paradoks
perkembangan moral merupakan pengalaman yang paling umum didapat yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan moral. Contohnya ketika
seseorang menemukan sebuah dompet, dan dia mengembalikan dompet
tersebut kepada pemiliknya tanpa mengambil uang yang ada di dompet
tersebut. Peristiwa seperti itu dapat disebut sebagai situasi moral.
Namun bagi sebagian besar orang yang beradab, peristiwa semacam itu
tidak lagi disadari sebagai suatu konflik moral. Keputusan
tindakan-tindakan tersebut dilakukan tanpa didahului pemikiran yang
benar-benar disadari. Jadi, perkembangan moral itu pertama-tama
adalah suatu refleksi dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam
konsepsi tentang keadilan dan kebersamaan moral secara teoritis untuk
melahirkan perbuatan yang berbobot moral dan meningkapkan tahapan
moral seorang individu.
- PERANAN PERILAKU DALAM PENELITIAN TENTANG PERKEMBANGAN KOGNITIF PEMULA
Perilaku
moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial.
“Moral” berasal dari kata latin yang berarti tatacara, kebiasaan
dan adat. Perilaku moral di kendalikan oleh konsep-konsep moral
peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu
budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh
anggota kelompok. Perilaku tak bermoral berarti perilaku yang tidak
sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan oleh
ketidak acuhan akan harapan sosial, melainkan ketidak setujuan dengan
standart sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.
Perilaku amoral berarti perilaku yang lebih disebabkan ketidak acuhan
terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja
terhadap standart kelompok. Beberapa diantara perilaku anak kecil
lebih bersifat amoral daripada tak bermoral.
Pada
saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala
nilai. Akibatnya, tiap bayi yang baru lahir dapat dianggap amoral.
Tidak seorang anakpun dapat diharapkan mengembangkan kode moral
sendiri. Maka, tiap anak harus diajarkan standart kelompok tentang
yang benar dan yang salah.
Dalam
mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama:
- Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan.
- Mengembangkan hati nurani.
- Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok.
- Mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok.
Menurut
Peaget, perkembangan moral terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama
disebut tahap realisme moral (moralitas oleh pembatasan). Tahap kedua
disebut moralitas otonomi (moralitas oleh kerja sama atau hubungan
timbal balik). Dalam tahap yang pertama ini seorang anak menilai
tindakan sebagai benar atau salah atas dasar konsekuensinya dan bukan
berdasarkan motifasi dibelakangnya. Moral anak otomatis mengikuti
peraturan tanpa berfikir atau menilai, dan cenderung menganggap orang
dewasa yang berkuasa sebagai maha kuasa. Yang paling penting menurut
Piaget bahwa anak menilai suatu perbuatan benar atu salah berdasarkan
hukuman bukan pada nilai moralnya. Di tahap kedua perkembangan
kognitif anak telah terbentuk sehingga dia dapat mempertimbangkan
semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu. Anak mulai
dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan dapat
mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkan masalah.
- PERISTIWA KUMULASI DALAM RANGKA MEMPELAJARI MORALITAS
Bagi
usia anak yang berusia satu setengah tahun untuk mencegah tindakan
yang menyimpang tidak perlu menggunakan cara fisik karena dengan cara
fisik akan mengganggu psikologis anak sehingga anak akan merasa
tertekan takut dan bahkan bisa melakukan tindakan yang menyimpang
lagi melainkan dengan cara verbal dengan memberikan teguran, arahan
pengertian. Dan memasuki umur tiga atau enam tahunan si anak telah
memiliki struktur kognitif yang lebih luas untuk menerima penjelasan
yang diberikan agar lebih bisa mengendalikan diri, manakala muncul
godaan sehingga cara yang cocok untuk mencegah penyimpangan adalah
dengan cara verbal. Dan selain itu dengan menyampaikan apa yang harus
dilakukan danapa yang harus dilakukan selaras dengan tingkat
pemahaman anak.
Ketika
pada peristiwa di babak terakhir di usia 10 tahun respon moral itu
tampak muncul seperti otomatis seperti memungut dompet kembali dan
mengembalikanya kepada yang punya dan peristiwa itu sudah tuntutan
dan ini semuanya berlangsung tanpa dirasakn adanya perjuangan batin.
Jenis pengalaman inilah yang merupakan suatu purwadasar (
prototypical ) dari pengambilan keputusan moral dan juga jenis
perkembangan moral yang terjalin dengan peningkatan berbagai masalah
social yang ditemukan dewasa ini.
- IMPLIKASI TEORETIS
Implikasi
moral seseorang termasuk anak harus ditangani dengan cara yang luwes.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh anak maupun seseorang termasuk
baik harus di kasih suatu penghargaan dan jika tindakan yang
dilakukan menyimpang maka harus diberi hukuman guna anak yang
melakukan tindakan tidak sesuai tersebut diharapkan dia tidak
melakukannya lagi. Dan sebagai orang yang bertanggungjawab dalam
pembentukan moral hendaknya harus lebih banyak mendasarkan
pelaksanaan pendidikan moralnya pada struktur kognitif dalam teknik
latihan yang diberikan dengan menjelaskan pula kepada anak apa yang
dilakukannya, mengapa, bilamana, di mana, dan bagaimana
pelaksanaannya. Dan masa dini anak penting untuk dibentuk secara
terpadu dalam penguatan positif bagi respon moralnya selama masa awal
belajar moral yang dilakukan, akan tetapi anak menahan diri dari
godaan lebih sukar dari yang diharapkan maka terbentuklah suatu
hukuman yang dapat atau dengan sengaja membentuk moral anak itu
sendiri.
- PARADIGMA PENGAJARAN MORAL
Kita
semua menyadari bahwa pendidikan bukan sekedar menyalurkan ilmu
pengetahuan namun juga menyalurkan nilai. Karena itu, penanaman
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pendidikan sangat
diperlukan. Pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan
dilaksanakan untuk membantu peserta didik memahami perilaku manusia
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam pendidikan nilai-nilai
budaya dan karakter adalah salah satu pencegahan terjadinya
penyimpangan etika dan moral di kalangan remaja. Oleh karena itu,
pendidikan karakter sangat penting untuk membangun moral dan
kepribadian bangsa.
Dalam
langkah pertama paradigma pengajaran moral yaitu ada keharusan untuk
mengkondisi kemunculan isyarat-isyarat yang tersirat dalam suatu
situasi pertentangan moral secara otomatis. Jadi belajar moral baru
terjadi saat dilaksanakan tindakan, sedangkan konsekuensi tindakan
itu mengkondisikan kecemasan. Isyarat-isyarat yang dikondisikan bagi
lahirnya kecemasan itu tampaknya merupakan isyarat fisik yang
terkadnung dalam situasi tersebut. Yang kedua yaitu, menyangkut
tingkatan keabstrakan dari konteks verbal. Ada pengaruhnya dalam
mengendalikan perilaku anak atau dapat membuatnya berhenti melakukan
perbuat-perbuatn tertentu dal situasi tertentu akan tetapi
isyarat-isyarat itu tidak ada kontribusinya bagi anak dalam
mempersepsi situasi baru yang sejenis dengan situasi tersebut. Yang
ketiga, mensyaratkan bahwa anak yang bersangkutan harus dapat
menggunakan konsep yang dipelajarinya itu untuk menafsirkan situasi
moral dan dengan demikian memantapkan langkah tersebut. Proses
kognitif dituntun untuk mengklasifikasian situasi yang perlu
diperhatikan. Penentuan situasi yang dialami dengan konsep tertentu
masih harus dipelajari anak secara khusus. Anak sebagai individu
harus mengenali bahwa situasi tersebut mengundang respon moral. Yang
terakhir, dalam urutan model ini ialah respon moral yang aktual.
Tuntutan untuk mendapatkan generasi inilah yang telah mendorong
mempertemukan kedua pendekatan yang bersifat behavioral dan kognitif
developmental terhadap perkembangan moral itu.
- KESIMPULAN
Faktor
penentu perkembangan moral ialah tindakan, afeksi, dan kognisi. Serta
penalaran moral merupakan hasil dari tindakan moral yang telah
dialami. Ada empat langkah yang dapat mengkaji perkembangan moral,
antara lain; memberikan tekanan pada perbuatan, memberikan perhatian
pada pemikiran, dan penalaran, serta tindakan terbuka. Terdapat dua
orientasi moral yaitu orientasi behavioristik dan penalaran moral.
Paradoks perkembangan moral berasal dari sebuah pengalaman yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan moral. Dalam mempelajari moral
ada empat aspek, yaitu : mempelajari apa yang diharapkan kelompok
sosial, mengembangkan hati nurani, belajar mengalami perasaan
bersalah dan rasa malu, mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial.
Dalam memberikan pengertian kepada anak tentang mana hal yang baik
dan buruk yang dilakukan tidak memerlukan cara fisik melainkan dengan
cara verbal yaitu dengan memberikan arahan- arahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar