1.1. Sumberdaya LAHAN dan PENGELOLAANNYA
Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi, terutama di wilayah pertanian lahan kering-kritis yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering (Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) ekonomis menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan (Satari, dkk., 1991).
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degrad¬asi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pede¬saan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebija¬kan-kebijakan lokal ini adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumber¬daya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga¬kerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu (1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, (2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka panjang, (4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5) degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya. Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting adalah (1) para perencana program harus men¬guasai pengetahuan tentang "sistem pertanian ber-kelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan, (2) para pelaksana program harus mampu "ber-komunikasi dengan petani" dalam rangka untuk meng-akomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) para perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses peruba¬han berlangsung secara lambat dan lama, sehingga diperlukan "komitmen jangka panjang"; (4) para perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan petani dan alternatif solusinya" yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan, dan (5) para perencana harus menge¬tahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan" pengelolaan lahan dan menelusurinya.
Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebu-tuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian. Collison (1982) mengemukakan empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahata¬ni konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah pegunun¬gan, Dimyati Nangju (1991) mengemukakan tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh, yaitu (1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan (3) strategi dan kebija¬kan pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan. Dalam kai¬tannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di daerah pegu¬nungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu (1) aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogeni¬tas dan diversitas, (5) suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah meka-nisme adaptasi manusia.
1.2. Konsepsi Umum tentang Lahan
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis, (iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan). Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahan-permasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagian-bagiannya atau karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990).
1.3. Sistem Sumberdaya Lahan
Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian mempu- nyai komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi-interaksi yang berlang sung di dalam ekosistem ini menimbulkan beberapa proses kunci, seperti proses perkembangan tanah (tercermin dalam ting¬kat kesesuaian lahan), proses erosi dan lim pasan permu¬kaan, proses produksi tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-ekonomi . Proses perkembangan tanah di alam terjadi secara terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi satu sama lain . Beberapa faktor yang sangat penting adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-faktor ini menen¬tukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken, 1980).
Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985).
Upaya pemanfaatan lahan pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk mendapatkan hasil-hasil dari komoditas pertanian. Aktivitas pengelolaan sumberdaya lahan dalam hal ini pada dasarnya merupakan upaya penyesuaian antara kondisi lahan yang ada dengan persyaratan bagi ko- moditas pertanian (Sitorus, 1985). Kondisi lahan ini menjadi kendala yang membatasi kemampuan dan kesesuaian sumberdaya lahan terhadap persyaratan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Secara lebih operasional, konsepsi tentang kondisi lahan ini dapat dijabarkan dalam konsepsi kualitas lahan yang dapat dievaluasi secara lebih kuanti¬tatif dan lebih obyektif (Soemarno, 1990; Janssen, 1991). Hubungan antara kondisi lahan dengan respon tanaman dalam upaya pengelolaan lahan akan menentukan tingkat produktivitas lahan (Wood dan Dent, 1983). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memperkirakan tingkat produktivitas lahan melalui proses evaluasi lahan. Hasil evaluasi ini penting dalam rangka perencanaan dan pengelo¬laan sumberdaya lahan (Sys, 1985; Soemarno, 1990).
Salah satu bentuk pengelolaan lahan yang terkenal adalah menggunakan lahan sebagai komponen sistem usahata¬ni. Suatu sistem usahatani komoditas pada kenyataannya sangatlah kompleks (subsistem sumberdaya alam, dan subsis¬tem sosial-ekonomi-budaya), bersifat dinamis, dan senan¬tiasa berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Pendekatan sistemik dipersyaratkan demi keberhasilan penelaahan usahatani komoditas dalam kerangka pewilayahannya (Dent dan Young, 1971; Shanner, et al., 1982, dan Wright, 1971). Melalui serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struk¬tur sistem dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga dengan mensimulasi input sistem diharapkan dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut ialah dimungkinkannya rekayasa agroteknologi arahan bagi setiap sistem usahatani komoditas di suatu wilayah pengem-bangan (Soemarno, 1988).
1.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Dalam bidang perta¬nian, kesesuaian lahan dikaitkan dengan penggunaannya untuk usaha pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat.
Suatu bagan umum untuk evaluasi lahan pertanian telah dikembangkan oleh FAO (1976). Menurut bagan ini istilah lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi. Proses evaluasi lahan pada hakekatnya melibatkan klasifikasi interpretatif, baik yang bersifat kualitatif maupun kuan¬titatif. Sistem evaluasi lahan dengan komputer (Land Evalua¬tion Computer System, LECS) pada dasarnya merupakan penjabaran dari kerangka evaluasi lahan (Framework for Land Evaluation, FAO, 1976) . Penggunaan fasilitas kom¬puter dalam analisis kesesuaian lahan sangat diperlukan karena: (i) melibatkan banyak data yang meliputi berbagai unit lahan, berbagai taraf pengelolaan, jenis-jenis tanaman pertanian dan tanaman hutan; (ii) penilaian dilakukan secara kuantitatif untuk menyatakan tingkat kesesuaian tanaman; dan (iii) pemodelan diperlukan untuk lebih memahami interaksi yang rumit dalam sistem pertanian (Wood dan Dent, 1983).
1.5. Pengelolaan Lahan
Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mem¬pengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984).
Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la¬han kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air). Persesuaian syarat agroeko-logis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbul¬kan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering-kritis di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut dapat bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedi¬mentasi di berbagai fasilitas perairan (Rauschkolb, 1971). Soekardi dan Eswaran (1991) mengemukakan beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai keunggulan komparatif bagi pengembangan berba¬gai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggu¬naan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang memper¬tahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani menge¬lola sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan (3) teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena keterbatasan penguasaan pengeta¬huan, teknologi dan kapital (Dimyati Nangju, 1991).
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan untuk peng¬gunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi per¬encanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, se¬dangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebalik¬nya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum meli¬batkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperi¬mental di lapangan yang sangat ter¬gantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987).
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, tekno-logi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-ba¬han kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasa¬nya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempu¬nyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendung¬an, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbul-kannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sa¬ngat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kon¬disi seperti ini di-perlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan bebera¬pa macam campur tangan pemerintah untuk mengendali¬kan efek eksternalitas, yaitu (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efe eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan de¬gradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988).
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pemba¬tas yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987, Is¬pandi, 1990; dan Sembiring, 1990). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor le¬reng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tin¬dakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi la¬han. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanam¬an tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan (Anwarhan, Supriadi, dan Sugandi, 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional (P3HTA, 1987). Suatu peluang yang tampak¬nya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa (Nuhar¬diya¬ti, 1988; Djumali dan Sasa, 1988). Kedua jenis komodi¬tas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman (Thamrin, 1990; Soelaiman, 1990). Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum mengana¬lisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan lim¬pasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memper¬hitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya kom- ponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifi- kasi adalah ternak (Hardianto, 1990a; Hardianto, 1990 b; dan Lubis, 1990). Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengu¬rangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminan¬sia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberi¬kan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat ber¬pengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak (Syam, 1988).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpul¬kan bahwa upaya pengelolaan lahan kering - kritis dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara me¬madai . Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara lokal (Toha, 1990; Hardianto, 1990c; dan Rachman, 1990). Tam-paknya para peneliti ini menghada¬pi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga in-formasi tentang kesesuaiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar