2.1 Ruang Terbuka Kota (Urban Open Space)
2.1.1 Definisi Ruang Terbuka
Beberapa definisi ruang terbuka
antara lain:
- Menurut Rustam Hakim (1987), ruang terbuka pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung kegiatan aktivitas tertentu dari warga lingkungan tersebut baik secara individu atau secara kelompok. Bentuk daripada ruang terbuka ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan. Contoh ruang terbuka adalah jalan, pedestrian, taman, plaza, pemakaman di sekitar lapangan olahraga.
- Menurut Perda Jatim No. 7 tahun 1997, ruang terbuka kota adalah bagian dari kota yang tidak didirikan bangunan atau sesedikit mungkin unsur bangunan, terdiri dari unsur alami (vegetasi dan air) dan unsur binaan (produksi, budidaya, pemakaman, pertanian kota, taman kota, jalur hijau, tempat satwa, rekreasi ruang luar, berbagai upaya pelestarian lingkungan)
2.1.2 Sifat dan Fungsi Ruang Terbuka
Roger Trancik (1986), dalam
bukunya ”Finding Lost Space”, mengungkapkan bahwa menurut sifatnya ruang
terbuka kota dapat dibagi menjadi:
- Hard space, yaitu ruang terbuka yang secara prinsip dibatasi oleh dinding arsitektural dan biasanya sebagai kegiatan sosial. Ruang terbuka jenis ini tidak tertutup oleh massa bangunan namun tertutup oleh pengerasan seperti ubin, aspal, plesteran, paving stone, dan lain-lain.
- Soft space, yaitu ruang terbuka yang didominasi oleh lingkungan alam. Pada setting kota, soft space berbentuk taman (park) dan kebun (garden) serta jalur hijau (greenways) yang dapat memberikan kesempatan untuk berelaksasi (santai).
Menurut Rustam Hakin (1987), ada beberapa fungsi
ruang terbuka, antara lain:
- Tempat bermain, berolahraga
- Tempat bersantai
- Tempat komunikasi sosial
- Tempat peralihan, tempat menunggu
- Sebagai ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar dengan lingkungan
- Sebagai sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat yang lain
- Sebagai pembatas/jarak di antara massa bangunan
- Fungsi ekologis, yang meliputi: penyegaran udara, menyerap air hujan, pengendalian banjir, memelihara ekosistem tertentu dan pelembut arsitektur bangunan.
2.1.3 Bentuk Ruang Terbuka
Rob Krier (1979), mengklasifikasikan ruang
terbuka berdasarkan bentuk fisik dan pola ruangnya, yang meliputi:
- Berbentuk memanjang, yaitu ruang terbuka yang hanya mempunyai batas-batas di sisi-sisinya, seperti jalanan, sungai dan lain-lain. Ruang terbuka yang berbentuk memanjang ini juga merupakan ruang-ruang sirkulasi karena dimanfaatkan untuk melakukan pergerakan oleh masyarakat sekitarnya.
- Berbentuk cluster, yaitu ruang terbuka yang mempunyai batas-batas di sekelilingnya, seperti lapangan, bundaran dan lain-lain. Ruang terbuka dengan bentuk cluster ini membentuk “kantong-kantong” yang berfungsi sebagai ruang-ruang akumulasi aktivitas kegiatan masyarakat kota.
Rustam Hakim (1987) mengklasifikasikan ruang
terbuka berdasar sifatnya yaitu:
- Ruang terbuka lingkungan, yaitu ruang terbuka yang terdapat pada suatu lingkungan dan sifatnya umum. Adapun tata penyusunan ruang-ruang terbuka dan ruang-ruang tertutupnya akan mempengaruhi keserasian lingkungan.
- Ruang terbuka bangunan, yaitu ruang terbuka yang dibatasi oleh dinding bangunan dan lantai halaman bangunan. Ruang terbuka ini bersifat umum atau pribadi sesuai dengan fungsi bangunannya.
2.2 Ruang Terbuka Hijau
2.2.1 Definisi Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam (Undang-Undang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat
1).
Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan
ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan
sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang
selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih
meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah,
masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung
miliknya (Undang-Undang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 2).
Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas
minimal 20 (dua puluh) persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota
dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin
pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat
(Undang-Undang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 3).
2.2.2 Bentuk Ruang Terbuka Hijau
Bentuk ruang terbuka hijau kawasan
perkotaan ada berbagai macam versi bergantung pada sumber peraturan yang berlaku.
Diantaranya menurut dokumen yang
berjudul “Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Pembentuk Kota Taman”, tahun
2005 yang dikeluarkan oleh Dirjen Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang
terbuka hijau terdiri dari:
- Ruang Terbuka privat; halaman rumah, halaman kantor, halaman sekolah, halaman tempat ibadah, halaman rumah sakit, halaman hotel, kawasan industri, stasiun, bandara, dan pertanian kota.
- Ruang Terbuka publik; taman rekeasi, taman/lapangan olahraga, taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau (sempadan jalan, sungai, rel KA, SUTET), dan hutan kota (HK konservasi, HK wisata, HK industri).
Sedangkan menurut Undang-Undang Penataan
Ruang no 26 Tahun 2007 pasal 29 menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau dibagi
menjadi ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang
terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola
oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara
umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota,
taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai.
Sedangkan yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun
atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri no
1 Tahun 2007 pasal 6 mengenai Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
menyebutkan, yang termasuk kedalam ruang terbuka hijau antara lain:
- Taman kota;
- Taman wisata alam;
- Taman rekreasi;
- Taman lingkungan perumahan dan permukiman;
- Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;
- Taman hutan raya;
- Hutan kota;
- Hutan lindung;
- Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah;
- Cagar alam;
- Kebun raya;
- Kebun binatang;
- Pemakaman umum;
- Lapangan olah raga;
- Lapangan upacara;
- Parkir terbuka;
- Lahan pertanian perkotaan;
- Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET);
- Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;
- Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian;
- Kawasan dan jalur hijau;
- Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan
- Taman atap (roof garden).
A.
Taman kota
Taman kota merupakan sebidang lahan yang
ditata sedemikian rupa, sehingga mempunyai keindahan, kenyamanan dan keamanan
bagi pemiliknya atau penggunanya. Kota-kota di negara maju lebih mengutamakan
taman kota untuk tujuan rekreasi dan sekaligus untuk menyegarkan kembali badan
dan pikiran setelah bekerja lama dan terjadi kejenuhan. Taman kota merupakan
fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman, dan nampaknya merupakan suatu unsur yang penting bagi
kegiatan rekreasi (Arifin & Nurhayati, 1996:1).
Taman kota pada awalnya memiliki dua
fungsi utama yaitu:
·
Memberikan
kesempatan rekreasi bagi masyarakat kota, aktif maupun pasif
·
Memberikan
efek visual dan psikologis yang indah dalam totalitas ruang kota.
Dalam perkembangannya, taman kota tidak
lagi terbatas untuk menampung kegiatan santai dan piknik saja, tetapi harus
dapat menampung kegiatan-kegiatan lain secara maksimal seperti rekreasi aktif,
olah raga, kegiatan kebudayaan, hiburan dan interaksi sosial. Karenanya, suatu
taman kota memiliki berbagai fungsi yakni ekologis, biologis, hidrologis,
estetis, rekreasi dan sosial.
B.
Taman wisata alam
Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan
pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan taman wisata alam berada di bawah
kewenangan BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) bersama dengan pengelolaan
ruang terbuka hijau lainnya seperti taman nasional berukuran kecil, kawasan
suaka alam, taman hutan raya dan taman buru (SNI 01-5009.5-2001 tentang istilah
dan definisi berkaitan dengan pengusahaan pariwisata alam berasaskan konservasi
hayati).
C.
Taman rekreasi
Rekreasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu
rekreasi aktif dan rekreasi pasif. Rekreasi aktif adalah bentuk pengisian waktu
senggang yang didominasi kegiatan fisik dan partisipasi langsung dalam kegiatan
tersebut, seperti olah raga dan bentuk-bentuk permainan lain yang banyak
memerlukan pergerakan fisik. Sedangkan rekreasi pasif adalah bentuk kegiatan
waktu senggang yang lebih kepada hal-hal yang bersifat tenang dan relaksasi
untuk stimulasi mental dan emosional, tidak didominasi pergerakan fisik atau
partisipasi langsung pada bentuk-bentuk permainan atau olah raga. Sehingga
taman rekreasi merupakan suatu tempat/areal yang dapat menampung kebutuhan
dalam berekreasi (Permendagri No 1 Tahun 2007, pasal 1).
D.
Taman lingkungan
Pada dasarnya tanah milik hak milik
perorangan maupun badan hukum memiliki fungsi sebagai ruang publik (UUPA No 5
Tahun 1960), maka sudah selayaknya setiap lahan pekarangannnya digunakan baik
ruang terbuka hijau taman untuk kepentingan pribadi maupun umum. Setiap
bangunan yang berada di atas ruang tanah perlu difungsikan untuk taman pekarangan,
untuk keperluan keluarga, untuk tanaman obat, rempah-rempah kebutuhan
sehari-hari, sirkulasi udara, penyinaran matahari yang cukup, mencegah
kebakaran, dan sebagai ruang terbuka hijau pekarangan. Bangunan swasta seperti
hotel, industri, pertokoan, melalui rencana detail disediakan hijauan berupa
rumput, bunga, tanaman pot, taman hias, kolam, dan sebagainya. Bila aktivitas
memanfaatkan lahan pekarangan ini sudah melembaga di kalangan rumah tangga dan
swasta, maka ruang terbuka hijau pekarangan berskala kecil secara merata akan
memberikan dampak kumulatif yang besar terhadap ruang terbuka hijau kota secara
keseluruhan.
E.
Taman hutan raya
Taman Hutan Raya adalah kawasan
pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/ atau satwa yang alami atau
buatan , jenis asli atau bukan jenis asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi. Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) berada di bawah kewenangan
Departemen Kehutanan. Kawasan Taman Hutan Raya ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan dari Menteri Kehutanan RI. Tahura di Jawa Timur yaitu Tahura R. Suryo
(luas ±25.000 Ha) yang berada di
Kabupaten Malang (SNI 01-5009.5-2001 tentang istilah dan definisi berkaitan
dengan pengusahaan pariwisata alam berasaskan konservasi hayati).
F.
Hutan kota
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Sedangkan hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan
pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah
negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang (PP Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota).
Hutan selain berfungsi sebagai sarana
rekreasi dapat juga menjadi sarana pendidikan, darah penyangga kebutuhan air,
mencegah banjir, erosi, melindungi sistem tata air dan sebagai sumber air minum
kota yang perlu dilindungi dari segala bentuk pencemaran. Karena itu lokasi
hutan yang dilindungi semestinya dikaitkan dengan faktor kemiringan tanah
(Keppres No 32 Tahun 1990).
Tujuan penyelenggaraan hutan kota sebagai
bagian dari ruang terbuka hijau kota adalah untuk kelestarian, keserasian, dan
keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial, dan
budaya. Fungsi hutan kota
adalah untuk:
·
Memperbaiki
dan menjaga iklim mikro serta nilai estetika
·
Meresapkan
air
·
Menciptakan
keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota
·
Mendukung
pelestarian keaneka ragama hayati Indonesia
Luas hutan kota dalarn satu hamparan yang
kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar. Persentase luas
hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau
disesuaikan dengan kondisi setempat (PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota).
Peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan hutan kota dapat berbentuk antara lain:
- penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota;
- penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota;
- pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota;
- pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam masalah
- penyelenggaraan hutan kota;
- kerjasama dalam penelitian dan pengembangan;
- pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan
- hutan kota;
- pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
- bantuan pelaksanaan pembangunan;
- bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota;
- bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan;
- menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.
Bentuk hutan kota dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
- jalur adalah hutan kota yang dibangun memanjang antara lain berupa jalur peneduh jalan raya, jalur hijau di tepi jalan kereta api, sempadan sungai, sempadan pantai dengan memperhatikan zona pengaman fasilitas/instalasi yang sudah ada, antara lain ruang bebas SUTT dan SUTET.
- mengelompok adalah hutan kota yang dibangun dalam satu kesatuan lahan yang kompak.
- menyebar adalah hutan kota yang dibangun dalam kelompok-kelompok yang dapat berbentuk jalur dan atau kelompok yang terpisah dan merupakan satu kesatuan pengelolaan.
Untuk masing~masing kelompok baik yang
berbentuk jalur atau kelompok yang terpisah luas minimum 0,25 (dua puluh lima
per seratus) hektar tetap diberlakukan pada setiap kelompok dan bukan merupakan
akumulasi luas dari kelompok~kelompok yang tersebar itu meskipun merupakan satu
kesatuan pengelolaan (PP Nomor 63 Tahun 2002).
G.
Hutan lindung
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut dan memelihara kesuburan tanah (SNI 01-5009.5-2001 tentang istilah dan
definisi berkaitan dengan pengusahaan pariwisata alam berasaskan konservasi
hayati). Menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, Hutan Lindung adalah hutan yang memiliki sifat khas yang mampu
memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur
tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Hutan
lindung juga merupakan kawasan hutan yang pengelolaannya bertujuan untuk
memperoleh fungsi sebesar besarnya terhadap pengaturan tata air, pemeliharaan
kesuburan tanah serta pencegahan bencana banjir dan erosi (PP no 33 tahun 1970
tentang Perencanaan Hutan pasal 7 ayat 2). Penunjukkan Hutan Lindung, Hutan
Produksi, Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata dilakukan oleh Menteri Pertanian
(PP no 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan pasal 8 ayat 1).
H.
Bentang alam
Bentang alam menurut SNI 01-5009.5-2001
tentang istilah dan definisi berkaitan dengan pengusahaan pariwisata alam
berasaskan konservasi hayati adalah kenampakan alam secara visual atau panorama
alam. Pengelolaan bentang alam dilakukan dalam rangka membangun kawasan, baik
perlakuan yang mengubah bentuk muka tanah/ topografi, maupun perlakuan dalam
rangka membangun di atas permukaan tanah.
I.
Cagar alam
Kawasan cagar alam merupakan kawasan suaka
alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami (Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 pasal 1 ayat
3 ).
Upaya pengawetan kawasan cagar alam dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan antara lain (Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 pasal 16):
a. Perlindungan dan pengamanan kawasan
b. inventarisasi potensi kawasan
c. penelitian dan pengembangan dalam menuju
pengawetan
J.
Kebun raya
Kebun raya merupakan suatu kawasan/areal
yang memiliki fungsi dan peranan utama dalam melakukan inventarisasi,
eksplorasi dun konservasi tumbuh-tumbuhan dataran rendah kering yang mempunyai
nilai ilmu pengetahuan dan ekonomi (http://www.cifor.cgiar.org). Berdasarkan
Departemen Kehutanan RI yang juga disetujui oleh Menteri PU Djoko Kirmanto dan
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Umar Anggara Jenie,
menyatakan bahwa kebun raya sebaiknya dimiliki oleh setiap propinsi (Kominfo
Newsroom dan Kompas). Saat ini kebun raya yang dimiliki oleh Indonesia sebanyak
4 unit yaitu Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan
Kebun Raya Eka Karya Bedugul.
Untuk pembangunan kebun raya di Indonesia,
Departemen PU akan membantu secara teknis, dan pendanaan akan dilakukan secara
bersama antara LIPI, Pemda provinsi dan kabupaten. Sementara itu kepala LIPI
mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi kebun raya nomor dua terbesar di
dunia setelah Brazil, tapi yang telah dilakukan penyempurnaan baru di empat
kawasan seperti Kebun Raya Bogor, Cibodas, Purwodadi dan Eka Karya Bedugul.
K.
Pemakaman umum
Tempat Pemakaman Umum adalah areal tanah
yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa
membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa (Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1987
tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman)
Penggunaan tanah untuk pemakaman jenazah
seseorang baik pada pemakaman umum maupun pemakaman bukan umum ditetapkan
panjang makan tidak lebih dari 2,5 m, lebar makam tidak lebih dari 1,5 m dengan
kedalaman minimum 1,5 m, dan jarak antar makam satu sama lain tidak lebih dari
0,5 m (PP No 9 Tahun 1987 pasal 4). Tempat pemakaman disamping berfungsi
sebagai makam juga dapat berfungsi sebagai taman atau penghijauan, kelestarian
dan keindahan lingkungan. Lampu taman juga sebaiknya tersedia pada kawasan
pemakaman, sehingga pemakaman tidak gelap dan tidak menimbulkan kesan angker.
Selain itu lampu taman tersebut dapat dijadikan sebagai hiasan bagi taman di
pemakaman.
L.
Lapangan olahraga
Olahraga adalah gerak badan untuk
menyehatkan, menguatkan badan, pembentukan watak dan kepribadian serta
sportifitas, dengan demikian akan tercipta manusia Indonesia yang berkualitas.
Dalam kamus arsitektur disebutkan bahwa lapangan olah raga adalah lapangan yang
dibangun sedemikian rupa untuk menampung kegiatan olah raga beserta
sarana-sarananya. Untuk membantu kebijakan memasyarakatkan olah raga maka
diperlukan lapangan olah raga terbuka guna meningkatkan aktivitas olah raga
baik di lingkungan sekolah-sekolah, universitas maupun di kawasan permukiman.
Dengan demikian perlu dirancang lapangan terbuka dan olah raga dengan baik
serta dikaitkan dengan penataan dan pengembangan ruang terbuka hijau kota.
Fungsi ruang terbuka kota berupa lapangan olah raga antara lain sebagai wadah
berbagai jenis kegiatan olah raga yang relevan dengan jenis lapangan olah raga,
misalnya sepakbola, golf, dan lain sebagainya.
M.
Lahan pertanian perkotaan
Penggunaan lahan kota ditentukan oleh
jumlah penduduk dan aktivitasnya. Sebagian besar penduduk kota bekerja di
sektor tersier (service/jasa) dan sektor sekunder (manufaktural) yaitu
pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi. Aktivitas penduduk kota di
sektor primer berupa budidaya pertanian, pengembangan bibit bunga dan
buah-buahan serta perikanan. Aktivitas pertanian lahan basah diutamakan pada
lahan produktif. Lahan pertanian difungsikan sebagai green belt yang diusulkan sebagai kawasan hijau permanen yang
menjadi bagian integral dari kota (Howard, 1965:34). Pertumbuhan penduduk kota
yang cepat biasanya menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
terbangun. Bila keadaan itu tidak dikendalikan dan juga tidak diimbangi dengan
pengembangan ruang terbuka hijau jenis lainnya maka suatu kota akan mengalami
kekurangan ruang terbuka hijau kota.
N.
Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET)
Salah satu utilitas yang terpenting adalah
jaringan listrik. Jaringan listrik tegangan tinggi diusulkan menjadi satu
dengan jaringan listrik tegangan rendah. Untuk itu diperlukan suatu ruang
terbuka khusus yang telah diatur dalam Peraturan Umum Instalasi Listrik Tahun
1977 (PUIL 1977) pasal 745, yaitu:
- Pada setiap persilangan dengan jalan umum, jalan kereta api, jaringan telekomunikasi dan tempat ramai (pasar, terminal bus, dan semacamnya), dimana dapat timbul bahaya terhadap keselamatan umum, maka dalam pemasangan hantaran udara telanjang untuk tegangan tinggi harus diperhitungkan syarat teknis keamanannya, terutama jarak minimum hantaran udara telanjang tersebut terhadap benda-benda yang dilalui serta faktor keamanan dari hantaran sendiri. Cara pengamanan adalah misalnya dengan mempergunakan konstruksi “STOP MAST” pada kedua sisi persilangan atau dengan memasang jala-jala pengaman.
- Untuk perlindungan terhadap bahaya kebakaran, maka jarak minimum antara gedung dengan proyeksi hantaran yang paling luas pada bidang datar yang melewati bagian bawah kaki tiang adalah:
-
20 m
bagi pondasi yang letaknya paling dekat dengan SUTT
-
20 m
bagi pompa bensin diukur sampai bagian yang menunjukkan dekat dengan SUTT
-
50 m
bagi tempat penimbunan bahan bakar diukur dari sisi tangki yang paling dekat
dengan SUTT
-
3 m bagi
pagar
- Dalam keadaan khusus dimana hantaran SUTT memotong bidang datar yang melalui kaki-kaki tiang tumpu SUTT yang terdekat, jarak antara hantaran benda-benda yang menyilang di sekitar penghantar tersebut (bangunan, pohon-pohon dan semacamnya) harus memperhatikan ketentuan yang telah diatur sebelumnya, yaitu 20 m dari benda hantaran yang paling dekat dengan SUTT.
- Di sekitar atau di bawah SUTT dilarang atau tidak diperkenankan mendirikan bangunan atau benda lainnya dan menanam atau membiarkan tumbuh pohon atau tanaman lainnya yang bagiannya memasuki daerah terlarang.
O.
Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa
Menurut Peraturan Menteri PU No 63 Tahun
1993 pasal 1, sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan
pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan
kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Garis sempadan
sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai. Daerah sempadan sungai adalah
kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan
terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan
manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik
pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai (Keppres No 32 Tahun
1990 pasal 15).
Penetapan garis sempadan sungai
dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, penggunaan dan
pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai termasuk danau dan waduk
dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Penetapan garis sempadan sungai
bertujuan (Peraturan Menteri PU No 63 Tahun 1993 pasal 3):
a. Agar fungsi sungai termasuk danau dan
waduk tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang disekitarnya.
b. Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya
peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil
secara optimal sekaligus menjaga ke fungsi sungai.
c. Agar daya rusak air terhadap sungai dan
lingkungannya dapat dibatasi.
Penetapan garis sempadan sungai bertanggul
didalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kuranguya 3 (tiga) meter di
sebelah luar sepanjang kaki tanggul. Sedangkan garis sempadan sungai tak
bertanggul di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria (Peraturan
Menteri PU No 63 Tahun 1993):
a. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak
lebih dan 3 (tiga) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnva 10
(sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
b. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak
lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (duapuluh) meter, garis sempadan
ditetapkan sekurangkurangnya 15 (lima belas) meter dihitung dari tepi sungai
pada waktu ditetapkan.
c. Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum
lebih dari 20 (dua puluh) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya
30 (tigapuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu
sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai. Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan
untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian
fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter
dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Keppres No 32 Tahun 1990 pasal 15).
P.
Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, dan pedestrian
Jalur pengaman pada ruang terbuka hijau
kota meliputi jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan
pedestrian. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun,
meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap jalan dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas (UU No.38 tahun 2004).
Disamping kiri-kanan jalan bahkan median jalan perlu ditanami pepohonan,
rerumputan dan tanaman perdu pada pinggiran jalur pergerakan.
Setiap pembangunan jalan baru di perkotaan
akan menambah cakupan hijau pepohonan yang ditanam di atas daerah manfaat
jalan, media jalan dan jalur pemisah yang sekaligus menyerap sisa pembakaran,
debu maupun sebagai perlindungan dari teriknya panas matahari sehingga akan
memberikan kenyamanan bagi orang yang lewat atau berteduh di bawah pepohonan
tersebut. Akar pepohonan dapat menyerap air hujan sebagai cadangan air di dalam
lapisan tanah dan membantu menetralisir limbah industri dan limbah rumah tangga
yang dihasilkan kota setiap saat (Nazaruddin, 1994:28).
Penghijauan yang ada di sepanjang jaringan
jalan memiliki fungsi lain bagi pengemudi kendaraan dan bagi pejalan kaki
diantaranya.
·
Bagi
pengemudi kendaraan
-
Memberikan
suasana teduh dan mengurangi pengaruh sinar matahari
-
Efektif
meredam kebisingan dan polusi akibat asap kendaraan bermotor
-
Memberikan
kesan indah dan menarik sehingga mengurangi kebosanan
-
Menjadi
pengarah jalan atau penandan adanya persimpangan
·
Bagi
pejalan kaki
-
Memberikan
rasa aman misalnya dengan meletakkan tanaman diantara jalur kendaraan dengan
trotoar
-
Memberikan
kesan teduh, indah dan nyaman
Penghijauan pada jalur kereta api
ditekankan pada fungsi penghijauan sebagai peneduh dan pelindung struktur jalan
kereta api dari erosi. Penghijauan dapat diletakkan berderet atau berjajar pada
kedua sisi dari jalur kereta api tersebut. Jarak minimal yang diperbolehkan
untuk penghijauan dihitung ari tepi jalur kereta api adalah 15-20 m (UU
Perkeretaapian No 13 tahun 1992).
Q.
Daerah penyangga (buffer zone)
Daerah penyangga merupakan wilayah yang
berada di luar kawasan pelestarian alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah
negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga
kawasan pelestarian alam (SNI 01-5009.5-2001 tentang istilah dan definisi berkaitan
dengan pengusahaan pariwisata alam berasaskan konservasi hayati).
R.
Taman Atap (roof garden)
Taman atap (roof garden) adalah salah satu
model ruang terbuka hijau berupa taman untuk lahan pekarangan yang terbatas. Taman
atap dibangun diatas atap datar sebuah bangunan gedung bertingkat
(http://www.trubus-online.co.id/mod.php?,/7 Jan 2009). Di beberapa negara maju,
pembangunan taman-taman atap gedung perkotaan bukan lagi hal yang baru. Di
beberapa negara maju, pembangunan taman-taman atap gedung perkotaan bukan lagi
hal yang baru. Misalnya Jerman dengan nama ecoroof project nya. Bersama dengan
Swis, Austria dan Skandinavia, Jerman merupakan pelopor pembangunan ruang hijau
atap bangunan di belahan Benua Eropa. Dimulai dari tahun 1989, Jerman telah
berhasil menghijaukan 10 juta m2 dalam kurun waktu 7 tahun yaitu sampai tahun
1996. Sebagai salah satu negara pelopor, keberhasilan pembangunan taman atap
ini tentunya tidak terlepas dari dukungan peraturan dan finansial pemerintah
kota untuk setiap meter persegi luas atap (http://www.w3.org/1999/xhtml/ 7 Jan
2009).
Pada tahun 2001, negara di Asia sudah
mulai menerapkan pembangunan taman atap. Dipelopori oleh Jepang dan Hongkong dengan flying green
project. Bahkan pemerintah Jepang pada tahun 2004 memberlakukan aturan yang
mewajibkan penyediaan minimum 20% dari areal atap datar gedung bertingkat
sebagai ruang hijau. Peraturan ini berlaku untuk setiap pembangunan gedung
layanan publik yang memiliki luas minimum 250 m2 atau fasilitas komersial
privat yang memiliki luas minimum 1.000 m2, yang kemudian juga diikuti oleh
Hongkong. Selain contoh di atas, negara-negara lainnya yang sukses membangun
taman-taman di atap gedung diantaranya Singapura (skyrise greening project),
New York dan Washington (green roof project), Kanada, dan Korea.
Desain ruang hijau atap dapat bervariasi
dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan
(pemeliharaannya). Pembangunan taman atap sudah berkembang mulai dari model
yang sederhana hingga modern. Baik pada model sederhana maupun modern,
pengembangan taman atap mensyaratkan memiliki atap yang kuat karena harus mampu
menahan beban. Taman atap dapat dikembangkan menjadi taman kafe terbuka, kolam
renang, lapangan olahraga atau mini golf (hotel, apartemen, gedung perkantoran,
pusat perbelanjaan), kebun sayuran organik (apartemen, rumah susun, pusat
perbelanjaan) , taman terapi (rumah sakit, pusat klinik kesehatan, apartemen
lansia), atau plaza penghubung antargedung (perkantoran, apartemen, hotel,
pusat perbelanjaan) yang dapat digabungkan dengan stasiun kereta api atau
monorel.
2.2.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka tidak dapat dipisahkan dari
manusia baik secara psikologis, emosional, ataupun dimensional. Manusia berada
didalam ruang, bergerak, menghayati, dan berpikir, juga membuat ruang untuk
menciptakan dunianya (Djoko Sujarto, 1999:91). Ruang terbuka sebenarnya
merupakan wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakat di
wilayah tersebut. karena itu, ruang terbuka mempunyai kontribusi yang akan
diberikan kepada manusia berupa dampak yang positif. Fungsi tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Fungsi sosial
·
Tempat bermain, berolah raga
·
Tempat bersantai
·
Tempat komunikasi sosial
·
Tempat
peralihan atau tempat menunggu
·
Memberikan
cadangan ruang kota untuk keperluan darurat
·
Sebagai
sarana penghubung antara satu tempat dengan tempat yang lain
·
Sebagai
pembatas atau jarak di antara massa bangunan
2.
Fungsi Ekologis
·
Penyegaran udara
·
Penyerap air hujan
·
Pengontrol radiasi matahari
·
Pengendalian banjir
·
Memelihara ekosistem tertentu
·
Pelembut arsitektur bangunan
·
Meredam kebisingan
·
Menyerap debu
Sedangkan
fungsi ruang terbuka hijau kawasan perkotaan menurut Permendagri Nomor 1 Tahun
2007 pasal 3 antara lain:
a. Pengamanan keberadaan kawasan lindung
perkotaan;
b. Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah,
air dan udara;
c. Tempat perlindungan plasma nuftah dan
keanekaragaman hayati;
d. Pengendali tata air; dan
e. Sarana estetika kota.
2.3 Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau
Menurut Sharma (1989) dalam Hakim (2008),
pengelolaan kota dapat digambarkan sebagai sekumpulan kegiatan yang
bersama-sama membentuk dan mengarahkan pada bidang sosial, fisik dan
perkembangan ekonomi kota.
Pengelolaan
ruang terbuka hijau akan memberi pengaruh terhadap perubahan kualitas dan
kuantitas, sebagaimana teruraikan dalam penelitian Halle yang menunjukkan bahwa
tidak mudah untuk memperbaiki strategi kelembagaan perkotaan dan mempunyai
output yang terukur.
Terdapat
beberapa aspek dalam pengelolaan RTH (Hakim,2008) yaitu perencanaan, kelembagaan,
sumber daya manusia, koordinasi dan pendanaan.
2.3.1 Perencanaan
Dalam konteks pengelolaan, maka perencanaan yang dimaksud mencakup
pemilihan tujuan dan tindakan untuk pencapaiannya, serta memerlukan pengambilan
keputusan secara rasional. Perencanaan kota harus dilihat sebagai bagian dari
fungsi perencanaan pengelolaan kota. Hal ini diperlukan untuk membandingkan
rencana dengan hasil, dan untuk mengambil tindakan perbaikan dalam rangka
pencapaian hasil, dengan demikian perencanaan dan pengendalian fungsi tidak
dapat dipisahkan. Terdapat 4 elemen perencanaan pengelolaan utama yang mempengaruhi
ruang terbuka kota yaitu, elemen fisik, ekologis, partisipasi dan transparansi/
keterbukaan.
Ruang terbuka hijau sebagai elemen fisik kota, sangat penting bagi fungsi
lingkungan dan rekreasi. Namun oleh sebagian masyarakat kota ada pemikiran
bahwa nilai ekonomi ruang terbuka hijau kota tidak bermanfaat dari sudut
pandang ekonomi, karena ruang terbuka hijau dianggap adalah barang pemerintah (public goods) tanpa harga pasar. Sedangkan sebagai elemen ekologis kota dapat
memberikan kestabilan lingkungan bagi masyarakat kota.
Ruang terbuka hijau kota sangat bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat
kota. Kadang-kadang, kemungkinan masyarakat tidak mengetahui lokasi alami yang
dapat dimanfatkan. Masyarakat kota biasanya mendukung konservasi alami secara
umum di kota-kota, tetapi mereka tidak mempunyai gambaran perencanaan yang
jelas apakah ruang terbuka hijau kota termasuk didalamnya. Mereka sebagian
besar adalah para pemakai yang tidak secara intensif memelihara ruang terbuka
hijau kota.
2.3.2 Kelembagaan
Untuk memberikan fasilitas integrasi
kepada penataan kota dan pengelolaan strategis ke kerangka administratif, maka
diperlukan lembaga pengelola kota yang dapat melihat dan mengidentifikasikan
berbagai pilihan alternatif fasilitas yang sesuai. Dalam rangka untuk
meminimalisir dampak /terhadap struktur operasi yang sudah ada, maka salah satu
pilihan adalah sebagian besar pengadaan harus menetapkan strategi perencanaan
kota.
Ada beberapa penelitian tentang pembuat
keputusan dan evaluasi dalam institusi pengelolaan kota. Wonga (2006) dalam
Hakim (2008) berpendapat untuk memberikan fasilitas integrasi kepada penataan
kota dan pengelolaan strategis ke kerangka administratif, maka diperlukan lembaga
pengelola kota yang dapat melihat dan mengidentifikasikan berbagai pilihan
alternatif fasilitas yang sesuai. Dalam rangka untuk meminimalisir dampak/
terhadap struktur operasi yang sudah ada, maka salah satu pilihan adalah
sebagian besar pengadaan harus menetapkan strategi perencanaan kota dan laporan
unit pengelola kepada direktur komite administratif.
McGill (1996) dalam Hakim (2008) berpendapat
bahwa kebutuhan wawasan institusi adalah sebagai pembinaan dari pusat untuk
memastikan perencanaan antar instansi dan koordinasi anggaran sesuai yang
diperlukan. Idealnya, pembinaan itu berada pada tingkat desentralisasi
pemerintah, baik di pemerintah kota atau pemerintah lokal. Ini menguatkan
pentingnya pengembangan kelembagaan pengelolaan perkotaan. Sesuai dengan McGill,
pengembangan organisasi kelembagaan memerlukan prinsip yakni, menyetujui fungsi
(proses pengelolaan kota) ke arah pertama,
struktur organisasi dan personalia. Kedua,
perencanaan dan penganggaran. Ketiga,
reformasi pemikiran.
2.3.3 Sumber Daya Manusia
Diperlukan
strategi yang logis dan realistis untuk mengkoordinir upaya sumber daya manusia
guna menghadapi faktor-faktor lemahnya kapasitas pemerintah daerah. Secara
signifikan untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang pengelolaan kota,
pengetahuan dan keterampilan harus disampaikan kepada pembuat-keputusan. Dua
masalah utama kondisi sumber daya manusia dalam pengelolaan kota yaitu
ketrampilan dan kemampuan.
Pemerintah
harus menyiapkan dan membangun strategi untuk meningkatkan kemampuan sumber
daya staff guna mendukung pengelolaan kota yang efektif. Disamping itu,
kombinasi sektor swasta, organisasi sektor publik dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) sebagai lembaga pelatihan sangat penting bagi efektifitas
program kerja pemerintah.
Lima faktor kompetensi didalam kemampuan
dan penguasaan keterampilan individu staf pemerintah daerah untuk pengelolaan
kota yang proaktif yaitu: pertama,
kemampuan dalam mempersiapkan strategi untuk memandu dan mengkoordinir input
stakeholder; kedua, kemampuan untuk
meningkatkan otonomi dan mengelola dana; ketiga,
kemampuan untuk pengembangan kelembagaan; keempat,
kemampuan untuk merancang proyek dalam rangka mendapatkan bantuan dan sumbangan
pelaksanaan program; kelima,
kemampuan melakukan pendekatan yang fleksibel dalam memberi penghargaan
personil yang produktif (prestasi mendasarkan penggajian dan promosi).
2.3.4 Koordinasi
Koordinasi pengelolaan kota adalah dasar
untuk monitoring dan mengontrol pengelolaan kota. Ada empat faktor sebagai
elemen koordinasi ruang terbuka hijau kota yaitu, tata guna lahan, kewenangan/
otoritas, keputusan dan informasi.
Perubahan cepat tata guna lahan dan pola
ruang hijau dalam pengembangan kota membawa konflik antara persyaratan
keberadaan perumahan dan ruang hijau. Salah satu kegagalan mengintegrasikan
dimensi wilayah yang terbangun dengan pengembangan ruang terbuka hijau kota
adalah pedoman pengendaliannya. Evolusi pendekatan pengelolaan memerlukan
instrumen dan perangkat baru guna pembaruan informasi, dan untuk monitoring
pengembangannya. Terdapat banyak kebutuhan tertentu untuk indikator, terutama
mengenai ruang, untuk secara kontinyu memonitor tata kota, mengendalikan
perencanaan strategis, dan membandingkan praktek pengelolaan.
Pengelolaan kota di negara-negara harus
mencapai dua hal yaitu Pertama, harus
memahami sifat alami lingkungan kota. Kedua,
harus mengatur instrumen intervensi institusi sehingga dalam melakukan
pengelolaan kota agar dapat sesuai dengan rencana induk kota yang telah
disetujui.
Wonga (2006) dalam Hakim (2008) mendukung
keputusan penggunaan perangkat seperti analisa manfaat biaya (cost-benefit analysis), pengkajian
dampak sosial, peraturan perundang- undangan dan pengkajian dampak lingkungan
dalam perumusan strategi. Perangkat ini akan membantu memastikan ketegasan perlindungan
lingkungan dan pertimbangan sosial di dalam pengendalian pengelolaan.
2.3.5 Pendanaan
Beberapa penyelidik melakukan kajian
tentang pengelolaan pendanaan yang meliputi pajak masyarakat, pendanaan swasta serta gaji dan penghargaan pemerintah.
tingkat pendapatan masyarakat tidak akan mempengaruhi willingness-to-pay untuk ruang terbuka hijau kota. Ini menyiratkan
bahwa ruang hijau bukan hal mutlak, tetapi merupakan bagian penting dari
kehidupan sehari-hari. Untuk menghindari penyimpangan pembayaran, prosedur-prosedur
pembayaran seperti pajak dan pembayaran bea masuk harus jelas masuk kedalam kas
pemerintah lokal. Jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau kota, pada akhirnya,
harus menjadi pemikiran dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian
menyiratkan dengan jelas akan perlunya kebijakan-kebijakan ruang terbuka hijau
kota.
2.4 Good Governance
The United Nations Development Program [UNDP,1997]
menyampaikan berbagai pemikiran dan pandangan yang bervariasi dan terbit dalam
berbagai tulisan. Tata pemerintahan menurut UNCHS – Habitat, adalah memiliki
arti yang luas dan dinamis, sebagai fungsi dengan tempat dan waktu yang
berbeda. Namun demikian, secara umum good
governance (tata pemerintahan yang baik) dapat diartikan sebagai upaya
merespons berbagai permasalahan pembangunan kawasan perkotaan secara efektif
dan efisien yang diselenggarakan oleh pemerintah yang akuntabel bersama-sama dengan
unsur-unsur masyarakat. UNDP mengidentifikasi adanya 2 (dua) aspek utama dari
tata pemerintahan, yakni: pertama,
secara teknis merupakan suatu proses dan prosedur dalam memobilisasi sumber
daya, formulasi rencana, aplikasi teknis dan alokasi sumber daya, serta kedua, secara representatif merupakan
proses pengambilan keputusan termasuk partisipasi, akuntabilitas, dan
pemberdayaan masyarakat. Sedangkan Bank Dunia sendiri mengidentifikasi adanya
empat aspek utama dalam tata pemerintahan yang baik yakni pertama, pengelolaan sektor publik, kedua, bertanggung jawab, ketiga,
kerangka hukum dalam pembangunan, dan keempat,
informasi publik dan transparansi. Lima prinsip utama dalam tata pemerintahan yang
baik, yaitu Legitimacy and Voice, Direction, Performance, Accountability (Akuntabilitas), Fairness (Kewajaran),
dengan tujuh karakter, yaitu partisipasi, konsensus, tanggung
jawab, transparan, responsif, efektif dan efisien, adil dan mentaati aturan.
Tata pemerintahan yang baik dapat dipastikan akan mengurangi korupsi. [UN
ESCAP].
Pada konperensi
Habitat Agenda ke 2 United Nations
Conference on Human Settlements (Habitat II). Pengalaman dari operasional
habitat, menyarankan munculnya suatu pendekatan baru untuk tata pemerintahan
kota yang baik didasarkan pada suatu pergeseran barang dan jasa oleh
pemerintah. Tiga strategi prinsip yaitu mendesentralisasi tanggung-jawab dan
sumber daya ke otoritas lokal, partisipasi masyarakat sipil, dan menggunakan
kerjasama kemitraan untuk mencapai sasaran. Tata pemerintahan kota yang baik
harus memungkinkan kaum perempuan untuk mengakses dan mendapatkan
keuntungan-keuntungan sebagai masyarakat. Tata pemerintahan kota yang baik,
berdasarkan prinsip dari kewarga negaraan kota, menyatakan bahwa tidak ada kaum
perempuan atau anak yang ditolak memperoleh keperluan hidup di kota, mencakup
tempat perlindungan, keamanan hak milik, air bersih, kebersihan lingkungan, kesehatan,
pendidikan dan gizi, ketenaga-kerjaan, keselamatan publik dan mobilitas.
Definisi umum governance
adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan di dalam suatu
negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2)
kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara
efektif, dan (3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi
yang mengatur interaksi antara mereka.
Unsur yang
terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan,
legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk
membuat keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu
pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi
rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh
karena masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan
baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi. Representasi diartikan
sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain
dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya. Dari sini terlihat bahwa good
governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah menjalankan
wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana
masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan
wewenang tersebut dengan baik (accountable). Karenanya, seringkali tata
pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah bangunan dengan 3 tiang”.
Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
(Rochman, 1998).
A.
Transparansi
Transparansi
berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap
informasi terkait (seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta
kebijakan pemerintah) dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan
politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat
diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung
jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi
yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau.
Keterbukaan data dapat membantu memberikan
penjelasan perselisihan dan perbedaan pendapat, terutama dalaqm rangka meminta
pendapat publik (public inquiries).
Sebagai contoh, tanpa adanya pendapat publik (public inquiries), masyarakat lokal dengan dukungan organisasi
lembaga swadaya masyarakat (LSM), dapat menghentikan rencana pembangunan
lingkungan yang tidak baik.
Transparansi
jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang
selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan
kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya,
perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan
bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk
mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan
“terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
B.
Akuntabilitas
Akuntabilitas
atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk
bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan
misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik.
Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya
yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai
pada pemantauan dan evaluasi.
Akuntabilitas
merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan
sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan
kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang
dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan
sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah,
serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai
standar tersebut.
Berbeda dengan
akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability
structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor
publik bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai
pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat.
Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan
terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan
komponen masyarakat lainnya. Semua itu berarti pula, akuntabilitas internal
(administratif) dan eksternal ini menjadi sama pentingnya.
Akhirnya,
akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari
hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu
pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang
bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam
menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan
rakyatnya, dan dunia internasional.
C.
Partisipasi
Ada beberapa
hal utama yang dilakukan untuk mengatur ruang terbuka hijau kota yaitu
meningkatkan partisipasi publik dalam hal proses pembuatan kebijakan, serta
memperhatikan prinsip prinsip tata pemerintahan yang baik. Di berbagai negara
maju, partisipasi masyarakat memerlukan kepastian hukum yang memungkinkan
masyarakat terlibat dalam pembuatan kebijakan. Termasuk juga hak publik untuk
menghentikan kegiatan suatu proyek
Partisipasi
merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam
pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries)
atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subyek) yang mempunyai porsi
yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”, mereka harus memiliki
akses pada berbagai institusi yang mempromosikan pembangunan. Karenanya,
kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga yang dilayani dan
dilindunginya menjadi penting di sini.
Hubungan yang
pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota
legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi
inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah (yang
diberi mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini) dengan masyarakat
(yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik. Pola hubungan yang
kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil
dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses “pembangunan”
tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau “kebebasan” bagi masyarakatnya.
Pemerintah
menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang kondusif. Sektor swasta
menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluang untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga
swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi,
serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.
Sementara itu,
di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang
andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas
implementasi kebijakan pemerintah, yang akan meningkatkan “rasa memiliki” dan
kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di tingkatan yang berbeda,
efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan mensyaratkan adanya dukungan yang
luas dan kerja sama dari semua pelaku (stakeholders) yang terlibat dan
memiliki kepentingan.
D.
Hubungan antar Komponen Good Governance
Secara
konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang baik itu
mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dalam
mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas
penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi
public untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara,
sulit diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
Di lain pihak,
partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya hak
publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah. Sebaliknya,
transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggung
gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai
informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat
berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya.
Satu hal
penting lainnya, untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk
yang besar seperti Indonesia, dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis di
tingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah
dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang
kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar