BAB I
PENDAHULUAN
Menurut pasal 1 undang-undang No. 4 Tahun 2003 tentang Perbankan, Bank
adalah Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan menurut pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank didefinisikan
sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Dengan demikian jelas dinyatakan dalam kedua pasal di atas bahwa
bank adalah lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya baik secara
syariah maupun konvensional dalam fungsinya sebagai intermediasi antara
masyarakat yang memiliki dana lebih (deposan) dengan masyarakat yang
membutuhkan dana (kreditur).
Dalam
fungsinya sebagai intermediasi antara deposan dengan kreditur, maka bank harus
melakukan kegiatan penghimpunan dana dari pihak deposan yang nantinya akan
disalurkan kepada kreditur. Dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai
produk-produk penghimpunan serta pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan
subject yang dikenakan yaitu Bank Syariah. Demikian materi yang akan kami
sampaikan dalam makalah ini, semoga dapat bermanfaat.
BAB II
SISTEM PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARI’AH
A. Pengertian
Pengertian penghimpunan dana adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan
bank untuk mencari dana kepada pihak deposan yang nantinya akan disalurkan
kepada pihak kreditur dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai intermediasi
antara pihak deposn dengan pihak kreditur.
B. Sumber-sumber dana bank
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan
menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana
yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain:
1. Modal, yaitu dana
yang diserahkan oleh pemilik. Pada akhir priode tahun buku, setelah dihitung
keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh
bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. Dana modal dapat
dipergunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya.selain
itu, modal juga dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu
disalurkan menjadi pembiayaan.
2. Titpan
3. investasi
C. Prinsip penghimpunan dana
bank syari’ah
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak
didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan
fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam
bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah
Prinsip wadiah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada kegiatan
penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Di Indonesia, hampir semua Bank
Syariah menerapkan prinsip wadiah pada tabungan giro. Giro wadiah adalah
titipan pihak ketiga pada Bank Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
Penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah, dapat dibagi atas dua skema
yaitu skema muthlaqah dan skema muqayyadah. Dalam penghimpunan dana dengan
prinsip mudharabah muthalaqah, kedudukan Bank Syariah adalah sebagai mudharib
(pihak yang mengelola dana) sedangkan penabung atau deposan adalah pemilik dana
(shahibul maal). Hasil usaha yang diperoleh bank selanjutnya dibagi antara bank
dengan nasabah pemilik dana sesuai dengan porsi nisbah yang disepakati dimuka.
Dalam penghimpunan dana dengan pinsip mudharabah muqayyadah, kedudukan
bank hanya sebagai agen saja, karena pemilik dana adalah nasabah pemilik dana
mudharabah muqayyadah, sedang pengelola dana adalah nasabah pembiayaan
mudharabah muqayyadah. Pembagian hasil usaha dilakukan antara nasabah pemilik
dana mudharabah muqayyadah dengan nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah.
Bank sebagai agen dalam hal ini menerima fee saja. Pola investasi terikat dapat
dilakukan dengan cara chaneling dan executing. Pola chaneling adalah apabila
semua risiko ditanggung oleh pemilik dana dan bank sebagai agen tidak
menanggung risiko apapun. Pola executing adalah apabila bank sebagai agen juga
menanggung risiko. Prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam kegiatan
usaha bank syariah untuk produk tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Tujuan dari kegiatan penghimpunan dana adalah untuk memperbesar modal,
memperbesar asset dan memperbesar kegiatan pembiayaan sehingga nantinya dapat
mendukung fungsi bank sebagai lembaga intermediasi.
1. Tabungan Wadi’ah
Salah satu prinsip yang digunakan bank syari’ah dalam memobilisasi dana
adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan
prinsip ini ialah al-wadi’ah.[1]
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad
wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat
sesuai dengan kehendak pemiliknya. Terkait dengan produk tabungan wadiah, Bank
Syariah menggunakan akad wadiah yad
adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang
memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang
atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang
dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan
dana atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab
terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja
pemiliknya (nasabah) menghendaki. Di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya
atas keuntungan dari hasil pemanfaatan harta titipan tersebut.
Dalam tabungan wadiah, bank dengan nasabah tidak boleh mensyaratkan
pembagian hasil keuntungan atas pemanfaatan harta tersebut. Namun bank
diperbolehkan memberikan bonus (fee) kepada pemilik harta titipan (nasabah)
selama tidak disyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus (fee)
merupakan kebijakan bank yang bersifat sukarela.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa
ketentuan umum berkenaan dengan tabungan wadiah, yaitu sebagai berikut:
l
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat
titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai
dengan kehendak pemilik.
l
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana
atau pemanfaatan barang menjadi hak atau tanggung jawab bank, sedangkan nasabah
penitip tidak dijanjikan imbalan dan menanggung kerugian.
l
Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
harta sebagai insentif selama tidak diperjanjikan di akad awal pembukaan
rekening.
2. Tabungan Mudharabah
Prinsip lain yang digunakan bank
syari’ah dalam menghimpun dana adalah dengan memakai prinsip investasi. Akad
yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah.
Tujuan dari mudharabah adalah kerja
sama antara pemilik dana (shahibul mal)
dan pengelola dana (mudharib) dalam
hal ini adalah bank syari’ah.[2]
Yang dimaksud dengan tabungan
mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah.
Mudharabah sendiri mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutalaqah dan
mudharabah muqayyadah, perbedaan yang mendasar diantara keduanya terletak pada
ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik harta kepada pihak bank
dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai
mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal
(pemilik dana). Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib berhak untuk
melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
Namun, di sisi lain, Bank Syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali
amanah (trustee), yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta
beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat
kesalahan atau kelalaiannya.
Dari hasil pengelolaan dana
mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil kepada pemilik dana sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam
mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang
terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, bila yang terjadi adalah miss
management (salah urus), bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Dalam mengelola harta mudharabah,
bank menutup biaya oprasional tabungan dengan hasil nisbah yang menjadi hak
nasabah pemilik dana. Disamping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan nasabah penabung tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan. Sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. PPH bagi hasil tabungan mudharabah dibebankan
langsung ke rekening tabungan nasabah pada saat penghitungan bagi hasil.
3. Simpanan Giro
Dalam bahasa sehari-hari kata
simpanan sering disebut dengan nama rekening atau account, dimana artinya sama. Dengan demikian simpanan atau
rekening berarti memiliki sejumlah uang yang disimpan di bank tertantu atau
dengan kata lain simpanan adalah dana yang diamanahkan oleh masyarakat untuk
dititipkan di bank. Dana dana tersebut kemudian dikelola oleh bank dalam bentuk
simpanan, seperti trekening giro, rekening tabungan dan rekening deposito unutk
kemudian diusahakan kembali dengan cara disalurkan ke masyarakat.
Pengertian giro menurut
Undang-Undang Perbankkan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 adalah Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah lainnya atau
dengan cara pemindah bukuan.[3]
Secara umum, yang dimaksud dengan
giro adalah cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan
pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah
Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang benar secara
syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Yang dimaksud giro wadiah adalah
giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap
saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah yad
al-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan
uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti wadiah yad dhamanah mempunyai
implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak
yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian,
pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan
atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk
giro, Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah
bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk
menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank
Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola
dana titipan dengan tanpa kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan
pengelolaan dana tersebut. Namun Bank Syariah diperkenankan untuk memberikan
insentif berupa bonus (fee) dengan catatan tidak diperjanjikan sebelummnya.
Dari pemaparan di atas, maka dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum
giro wadiah sebagai berikut:
l
Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk
kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal
dana wadiah tersebut.
l
Keuntungan atau kerugian dari pegelolaan dana
menjadi milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik tidak dijanjikan imbalan
atau menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak
diperjanjikan di awal.
l
Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali
dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian maupun seluruhnya.
4. Simpanan Deposito
Yang juga termasuk produk bank
dalam bidang penghimpunan dana (founding) adalah deposito. Berdasarkan
undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7
Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah
simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu
menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan
deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan
prinsip mudharabah
Dalam hal ini, Bank Syariah
bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak
sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank
Syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah
dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, Bank Syariah
dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai wali amanah
(trustee), yakni harus bertindak hati-hati atau bijaksana serta beritikad baik
dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau
kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak sebagai kuasa dari
usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal
mungkin tanpa melanggar aturan syariah.
Dari hasil pengelolaan dana
mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil keuntungan kepada pemilik dana
sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening.
Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang
terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah miss
management (salah urus), maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian
tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana terhadap bank,
terdapat dua bentuk mudharabah, yaitu:
l
Mudharabah Mutalaqah
l
Mudharabah Muqayyadah
Dalam deposito mutalaqah, pemilik
dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada pihak Bank
Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara,
maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan
kebebasan penuh dalam mengelola dan menginvestaikan dana mudharabah muthalaqah
ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
Berbeda dengan deposito mudharabah
mutalaqah, dalam deposito mudharabah muqayyadah, pemilik dana memberikan
batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam mengelola
investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya.
Dengan kata lain, Bank Syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya
dalam menginvestasikan dana mudharabah muqayyadhah ini ke berbagai sektor
bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
a. Deposito berjangka
Deposito berjangka merupakan deposito yang diterbitkan dengan
jenis jangka waktu tertentu. Deposito berjangka diterbitkan atas nama baik
perorangan maupun lembaga. Artinya, di dalam bilyet deposito tercantum nama
seseorang atau lembaga si pemilik deposito berjangka. Dan penarikan deposito
ini dapat dilakukan jika sujah jatuh tempo.[4]
b. Sertifikat deposito
Sama seperti deposito berjangkan, sertifikat deposito
merupakan deposito yang diterbitkan berdasarkan jangka waktu tertentu. Bedanya,
kalau sertifikat deposito diterbitkan atas unjuk dalam bentuk sertifikat serta
dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
BAB
III
SISTEM
PENGELOLAAN DANA BANK SYARI’AH
A. Pendahuluan
Bank syari’ah adalah lembaga
perantara anatara pemilik dana dengan pemakai dana. Sebagaimana pengertian bank
di atas, disini bank mengambil peran pemilik dana untuk mengelola dana tersebut
dengan cara menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan dana.
Dalam penyaluran dana tersebut,
bank syari;ah dapat melakukannya dengan cara memberikan pembiayaan, dimana
pembiayaan ini merupakan salah satu tugas pokok bank untuk mendapatkan
keuantungan.
Menurut sifat pengunaannya,
pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:
1. Pembiayaan produktif, yaitu
pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas,
yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun
investasi.
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu
pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan
produksi dapat dibagi menjadi dua, yaoitu:
1. Pembiayaan modal kerja,
yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi baik secara
kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu
peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (b) untuk keperluan
perdagangan.
2. Pembiayaan investasi, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal serta fasilitas-fasilitas yang
erat kaitannya dengan investasi sendiri.[5]
B. Pembiayaan modal kerja
Unsur-unsur modal kerja terdiri
atas komponen-komponen alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang umumnya
terdiri atas persediaan bahan baku,
persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Oleh karena itu,
pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan
likuiditas, pembiayaan pitang dan pembiayaan persediaan.
Bank syari’ah dalam membantu
memenuhi kebutuhan modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan
menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai
penyandang dana (shahibul mal),
sedangkan nasabah sebagai pengusaha atau pengelola (mudharib). Pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Adapun keuntungan transaksi
jenis ini adalah bagi hasil/rugi dari pengelolaan dana tersebut.
1. Pembiayaan likuiditas
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash
inflow dan cash outflow pada
perusahaan nasabah.
Bank syari’ah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk qard timbale balik atau yang disebut
dengan compensating balance. Melalui
fasilitas ini nasabah membuka rekening giro dan bank tidak memberikan bonus
atas giro tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia
sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad.
Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun kecuali
sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2. Pembiayaan persediaan
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal
kerja yang dipergunaka untuk mendanai pengadaan persediaan.
Bank syari’ah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi
kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan
prinsip jual beli dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari
supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua,
bank menjual kepada nasabah pembeli denganpembayaran tangguh dan dengan
mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Adapun
jenis akad yang digunakan dalam pembiayaan jenis ini bias dengan akad al-murabahah, al-istisna’, as-salam.
C. Pembiayaan investasi
Pembiayaan investasi diberikan
kepada nasabah untuk keperluan investasi. Keperluan investasi secara umum dapat
dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah maupun
musyarakah. Sebagai contoh, pembuatan pabrik baru, perluasan pabrik, usaha
baru, perluasan usaha, dan sebagainya.
Dengan cara ini, bank syari’ah
dan pengusaha merbagi resiko usaha yang saling menguntungkan dan adil. Agar
bank syari’ah dapat berperan aktif dalam kegiatan usaha dan mengurangi
kemungkinan risiko, seperti moral hazard
(jebakan moral), maka bank dapat memilih untuk menggunakan akad musyarakah.[6]
Melihat luasnya aspek yang harus
dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syari’ah menggunakan
musyarakah mutanaqishah. Dalam hal
ini bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap
bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih usaha
tersebut.
Skema lain yang dapat digunakan
oleh bank syari’ah adalah al-ijarah
al-muntahiya bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri
dengan kepemilikan.
D. Pembiayaan konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan
oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas
kebutuhan primer (pokok) dan kebutuhan skunder.kebutuhan primer adalh kebutuhan
pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan.
Adapun kebutuhan skunder adalah
kebutuhan tambahan yang secara kualitatif maupun kuantitatif yang lebih tinggi
atau lebih mewah dari kebutuhan primer baik berupa barang, seperti makanan dan
minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraandan sebagainya, maupun
berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan dan
sebagainya.
Pada umumnya, bank syari’ah
membatasi pemberian biaya untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai
dengan bukti kepemilikan yang sah. Seperti rumah, kendaraan bermotor yang kemudian
menjadi barang jaminan utama.[7]
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbankan
syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana.
Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan
dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain: modal,titipan
dan investasi.
Dalam
Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas
nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan
Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah
ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah
B. Saran
Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang
kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi
sempurnanya materi dalam makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar