1.PRINSIP-PRINSIP
PENGUKURAN LAUT.
Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengaturmengenai beberapa hal,
pertama mengenai laut teritorial. Penarikangaris pangkal untuk
mengukur lebar laut teritorial harus sesuai denganketentuan garis
pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batasyang
diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yangditarik
sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapangaris
batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainyaberhadapan
atau berdampingan, harus dicantumkan dalam petadengan skala atau
skala-skala yang memadai untuk penetapan garisposisinya (pasal 16
ayat 1).
Kedua,
untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garisbatas terliat
ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuaidengan ketentuan
penetapan batas yang ditarik harus sesuai denganketentuan penetapan
batass ekonomi eksklusif antar negar yangpantainya berhadapan
(opposite) atau berdampingan (adjacent) harusdicantumkan pada pea
dengan sekala yang memadai untukmenentukan posisi nya (Pasal 75 Ayat
1).
Ketiga,
untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluarlandas kontinen
dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai denganketentuan
penentuan batas landas kontinen antara negara yangpantainya
berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harusdicantumkan
pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadaiuntuk penentuan
posisinya (pasal 84 ayat 1).
Konvensi
Hukum Laut Internasional memberikan kesempatankepada negara pantai
untuk melakukan tinjauan terhadap wilayahlandas kontinen hingga
mencapai 350 mil laut dari garis pangkal.Berdasarkan ketentuan UNCLOS
jarak yang diberikan adalah 200 millaut, maka sesuai ketentuan yang
ada di Indonesia berupaya untukmelakukan submission ke PBB mengenai
batas landas kontinenIndonesia diluar 200 mil laut, karena secara
posisi geografis dankondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki
wilayah yang dapatdiajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas
landas kontinendiluar 200 mil laut.
Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan
zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat
yang
digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8..Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8..Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
Konvensi
Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan lautsesuai dengan status
hukum dari kedelapan zonasi pengaturantersebut. Negara-negara yang
berbatasan dengan laut, termasukIndonesia memiliki kedaulatan penuh
atas wilayah perairanpedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial; sedangkan untukzona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan
landasan kontinen,negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak
memanfaatkansumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya,
laut lepas
merupakan
zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,sedangkan
kawasandasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagianwarisan umat
manusia.
2.
Sejarah Rezim-rezim Hukum Laut.
Pada
abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritimdiberbagai kawasan
Eropa saling merebutkan dan memperdebatkanmelalui berbagai cara untuk
menguasai lautan di dunia ini. Negara-negara tersebut yaiut adalah
Negara-negara yang terkenal kuat dantangguh di lautan yaitu antara
Spanyol dan Portugis.
• Spanyol
dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjianTordesillas
thn 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (dibawah
Elizabeth 1) dan Belanda.
• Konferensi
Internasional utama yang membahas masalah lautteritorial ialah
“codification conference” (13 Maret – 12 April 1930) diDen
Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiridelegasi dari
47 negara.
• Konferensi
ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar darilaut
teritorial dan hak menangkap ikan dari negaranegara pantai padazona
tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil
(20negara), 6 mil (12 negara), dan
4
mil.
Setelah
perdebatan panjang dan tidak menemukan katakesepakatan diantara
negara-negara yang bersengketa tentangwilayah maritim, maka PBB yang
sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konfrensi hukum laut
pertama pada tahun 1958dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun
1960 yaitu yanglebuh dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS 2.
Dalam
konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah
konvensi,
dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah, yaitu:
1.
Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention onthe
territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan
dandiusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2.
Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)
a. Kebebasan pelayaran
b. Kebebasan menangkap ikan
c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
a. Kebebasan pelayaran
b. Kebebasan menangkap ikan
c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
3.
Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumberhayati di
laut lepas (convention on fishing and conservation of theliving
resources of the high sea)
4.
Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf).
Konvensi
ini telah disetujui.
Pada
tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanaknkonfrensi hukum
lautyang kedua atau UNCLOS II, membicarakantentang lebar laut
teritorial dan zona tambahan perikanan, namunmasih mengalami
kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehinggaperlu diadakan
konferensi lagi.
Pada
pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati
untukmengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan
dalampengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum
LautPBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan
ini,disapakati 2 konvensi yaitu:
• Konvensi
hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBBtentang hukum laut,
yang disetujui di Montego Bay, Jamaica
(10Desember1982),ditandatangani oleh 119 negara.
• Ada
15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat,
Australia,Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil,
Mexico,Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik
Malagasi.
Dalam
dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk
memperoleh
suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1.
Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan Liga
Bangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III
Kepentingan
dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknyapada abad ke-20.
Faktor-faktor yang mempengaruhi negaranegara didunia membutuhkan
pengaturan tatanan hukum laut yang lebih
sempurna
adalah:
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi
bertambahnya
perhatian pada usaha penangkapan ikan.
Dari
penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas,terdapat 4
pengaturan hukum laut internasional yang telahdisepakati oleh
beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yangselanjut nya dikatakan
sebagai rezim-rezim hukum laut.
Daftar
Pustaka
Peter
Malacz Akehurst’s, Modern Introduction to International Law
karangan
Routledge Press London,
UK pada
tahun 2003(The Law of
The
Sea).
SEJARAH
PENETAPAN BATAS LAUT NEGARA
1
Votes
Penetapan
batas negara secara alamiah menjadi menjadi salah satu syarat utama
suatu bangsa sudah berdaulat, yaitu:
(a)
Memiliki wilayah,
(b)
Memiliki pemerintahan,
(c)
Memiliki warga negara.
Batas
negara diperlukan untuk memberikan batas kewenangan dan penguasaan
bagi suatu pemerintahan selain menunjukkan suatu negara memiliki
wilayah. Untuk dapat menetapkan suatu batas wilayah diperlukan suatu
landasan hukum yang mengaturnya. Bila dilihat dari perjalanan waktu,
penetapan batas negara di laut jauh lebih maju daripada darat
dikarenakan tingkat kesulitan penetapan batas di laut yang lebih
tinggi.
I.1.
Masa Imperium Romawi
Sebelum
Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes
mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut.
Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut
Rhodes tentang perdagangan) karena tenggelam dalam perkembangan laut
yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat
itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi
terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam
wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan
bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan
aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa
Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama
seluruh umat (res
communis omnium)
sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang.
Peraturan-peraturan
hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 atau ke-3 SM, sangat
berpengaruh di daerah Laut Tengah karena prinsip-prinsipnya diterima
baik oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Kitab Undang-Undang Rhodes
yang dikeluarkan pada abad ke-7 Masehi oleh orang-orang Romawi
didasarkan pada peraturan-peraturan hukum laut Rhodes. Di kawasan
Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum
laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan
seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan
(perdata).
I.2.
Masa Abad Pertengahan
Negara-negara
yang muncul setelah keruntuhan Imperium Romawi, masing-masing
menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya, seperti
Venetia menuntut sebagaian besar Laut Adriatik dan Genoa mengklaim
kekuasaan atas Laut Liguria. Alasan negara-negara melakukannya,
adalah:
- Perlindungan kesehatan (karantina), terutama terhadap penyakit bahaya pes.
- Pencegahan penyeludupan (bea cukai).
- Pertahanan dan netralitas (suatu daerah yang bebas dari tindakan permusuhan yang penguasaannya tergantung kemampuan pantai).
Kebutuhan
untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara terhadap
laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang
disebut Post-Glossator mencari
penyelesaian hukumnya didasarkan atas azas-azas dan konsepsi-konsepsi
hukum Romawi.
Bartolus
meletakkan dasar bagi pembagian atas laut yang berada di bawah
kekuasaan kedaulatan negara pantai (Laut Teritorial) dan di luar itu
berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun
(Laut Lepas). Baidus membedakan tiga konsepsi berkaitan dengan
penguasaan atas laut, sebagai berikut:
- Tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai sumber kekayaan alam.
- Tindakan untuk kepentingan Hankam, bea cukai, kesehatan dan lain-lain.
- Tindakan yang bertujuan melindungi laut sebagai sarana komunikasi.
Tahun
1493 Paus Alexander VI mengeluarkan piagam Inter Caetera, yang berisi
tentang pembagian wilayah dan samudera di dunia menjadi dua kekuasaan
yaitu Portugal dan Spanyol sebagai upaya penyelesaian konflik
diantara mereka. Kerajaan Inggris masa itu juga menganut domino
maris,
yang dilandasi hasrat untuk melindungi perikanan di perairan
Inggris terhadap nelayan asing, yaitu dengan menyatakan laut sebagai
King’s Chamber (oleh raja Charles II) dimana batas-batas
menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung-ujung kepulauan
Inggris.
I.3.
Perkembangan Doktrin Hukum Laut
Tantangan
keras terhadap konsepsi laut tertutup (mare
dausum)
berdasarkan doktrin domino maris dari pihak yang memperjuangkan azas
kebebasan berlayar (freedom
of navigation)
yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari
oleh siapapun juga dipelopori Hugo Garatius (Belanda) dan Ratu
Inggris Elizabeth. Hal ini ditunjukkan perlawanan armada laut Belanda
dan Inggris terhadap armada Spanyol.
Azas
Kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukan oleh Hugo
Grotius dalam bukunya Mare Liberium (1609), yang berisi tentang
pembelaan hak orang Belanda (atau orang lain selain Portugis dan
Spanyol) untuk mengarungi lautan (termasuk hak orang Belanda untuk
berlayar ke Hindia Timur) dimana alasannya adalah laut terbuka untuk
siapapun juga karena tidak ada pemiliknya. Reaksi keras muncul dari
penulis-penulis Inggris seperti Wellwood dan Selden karena dalam
tahun yang sama (1609), Raja Inggris James I mengeluarkan larangan
bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris.
Salah satu teori yang merupakan kompromi antara teori mare
dausum dan mare
liberum diajukan
oleh Pontanus (Belanda) dengan membagi laut menjadi dua bagian yaitu
laut yang berdekatan dengan pantai (yang berada di bawah pemilikan
atau kedaulatan negara pantai) dan lautan yang bersifat bebas.
Menurut
teori yang merupakan penyempurnaan dari teori Bartolus ini,
laut yang berdekatan dengan pantai dijadikan bagian dari wilayah
negara pantai sehingga lenyaplah perbedaan antara imperium
(kedaulatan) dan dominium (kepemilikan) yang dibuat oleh Grotius.
Pontanus dapat dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya dari
konsepsi laut teritorial yang dikenal dalam hukum laut sekarang.
Seratus tahun setelah terbitnya Mare Liberium, Cornelius
van Bynkershoek (Belanda)
menulis buku De
Dominio Maris Dissertatio yang
menolak dalil John Selden yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas
bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur tertentu (dengan
ukuran lebar yang tidak terlalu besar) di bawah kedaulatan negara
pantai. Sehingga dikenal suatu azas penguasaan laut dari darat berupa
suatu Kaidah Tembakan Meriam, yaitu berbunyi :”kedaulatan
teritorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir”. Dalam
sejarahnya ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan
lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan
negara pantai, yaitu:
- Ukuran tembakan meriam.
- Ukuran pandangan mata.
- Ukuran marine league.
Setelah
itu baru muncul ukuran tiga mil laut yang dalam jangka panjang waktu
cukup lama dianggap sebagai ukuran lebar laut teritorial yang berlaku
umum. Usaha untuk mencoba menggambarkan kaidah tembakan meriam dalam
ukuran jarak yang konkrit pertama kali dilakukan oleh Galiani
(Italia) dengan menghubungkannya dengan suatu jalur netralitas yang
lebarnya tiga mil, selanjutnya Domenico Anzuni (Italia) lebih
terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan kaidah tembakan meriam 3
mil. Terjadi kekeliruan seperti penulis George Friedrich Von Marten
yang tidak menyamakan dengan tiga mil melainkan dengan tiga league
(suatu ukuran dengan panjangnya tiga mil).
Diundangkannya Territorial
Waters Jurisdiction Act (1878)
oleh Inggris, memperjelas ukuran tiga mil sebagai kaidah yang berdiri
sendiri apalagi saat itu kedudukan armada perang dan niaganya dengan
negara-negara Eropa Barat lainnya dan Amerika Serikat yang semuanya
menganut kaidah tiga mil, memberikan kesan ini berlaku umum.
II.
Aspek Legal Penentuan Batas Negara Indonesia
Penetapan
legalitas batas negara Indonesia tidaklah semudah
membalikkan tangan. Diperlukan perjuangan baik secara fisik maupun
non-fisik untuk mendapat pengakuan atas kedaulatan wilayah
negara Indonesia. Agar lebih jelasnya maka perjuangan
bangsa Indonesia atas kedaulatan wilayahnya dipaparkan
dalam rangkaian waktu, sebagai berikut:
II.1. Konsepsi
Wawasan Nusantara dan Deklarasi Djuanda 1957
Sebelum
tahun 1957 sesuai dengan “ Territoriale
Zee en Maritieme Kringen Ordonatie tahun
1939”, lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis
air rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia (Djalal, H.,
1979).
Menjelang
tahun 1957 ketentuan ini terasa sangat tidak memadai lagi untuk
memelihara kebutuhan-kebutuhan vital Indonesia, baik di bidang
politik, ekonomi maupun Hankamnas. Satu-satunya jalan yang paling
tepat untuk menjamin kepentingan Indonesia tersebut adalah
melalui jalan garis-garis dasar, yaitu melalui “konsepsi
archipelago” atau “Wawasan Nusantara”.
Melalui
konsepsi Nusantara ini, maka pelaksanaan soverenitas Indonesia ke
laut dapat dibatasi kepada perairan-perairan Nusantara saja, bilamana
perlu untuk dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan terhadap usaha-usaha
penyatuan bangsa, pemeliharaan kestabilan dan keamanan, serta
pemeliharaan kekayaan-kekayaan alam di perairan Indonesia tersebut.
Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan suatu pernyataan (deklarasi) mengenai wilayah Perairan
Indonesia, sebagai berikut: “Bahwa segala perairan di sekitar, di
antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada
wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas
yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama
dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
negaraIndonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil
yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang
terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan
ditentukan dengan Undang-Undang”(Kusumaatmadja, M., 1999).
Pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia,
adalah:
1. Bahwa
bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan
corak tersendiri yang memerlukan pengaturan sendiri;
2. Bahwa
bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua
kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap
sebagai satu kesatuan yang bulat;
3. Bahwa
penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah
kolonial sebagaimana termaktub dalam “Teritoriale
Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939”
pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan
keamanan negara Republik Indonesia;
4. Bahwa
setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan
dan keselamatan negaranya. Pernyataan ini dikeluarkan
Pemerintah Indonesia disaat sedang menghadapi bahaya dari
luar maupun dari dalam (sengketa Irian Barat dengan Belanda dan
pemberontakan dalam negeri). Sehingga tahun 1956 dibentuk panitia
Interdepartemental untuk meninjau kembali masalah laut teritorial dan
lingkungan maritim.
Dimana
ditetapkan doktrin wawasan nusantara memiliki tiga landasan (Pandoyo,
S.T., 1994), sebagai berikut:
1. Landasan
Ideal: Pancasila (terutama sila Persatuan Indonesia).
2. Landasan
Konstitusional : Undang-Undang Dasar 1945 (alinea IV Pembukaan UUD
1945, yis. Pasal 1 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
3. Landasan
Operasional: Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 (sejak dari Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1978 masing-masing tentang GBHN).
Pengumuman
Pemerintah (13 Desember 1957) tersebut akan dipertahankan dalam
Konferensi Internasional mengenai hak-hak atas lautan yang
diselenggarakan pada bulan Februari 1998 di Jenewa.
II.2. PP
Pengganti UU No.4 Tahun 1960 (Pengukuhan Deklarasi Djuanda)
Seperti
termaktub di dalam Deklarasi Djuanda 1957 kalimat terakhir, bahwa
penentuan batas laut teritorial Negara Indonesia akan
ditentukan dengan Undang-Undang. Untuk maksud itu baru dua tahun
kemudian Deklarasi tersebut pada tanggal 18 Februari 1960 dapat
ditingkatkan bentuknya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.4 Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (L.N. 1960 No.22) dengan maksud agar klaim itu mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan
Ketetapan MPRS No.XIX/MPRS/1966, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut diatas dikukuhkan (dituangkan) menjadi
Undang-Undang No.4 PRP Tahun 1960 (lampiran II). Adapun isi pokok UU
No.4 PRP 1960 tentang Perairan Indonesia (Pandoyo, S.T.,
1994), sebagai berikut:
1. Perairan Indonesia adalah
Laut Wilayah beserta Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan
Nusantara).
2. Laut
wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil
laut dari pulau-pulau terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar
dengan dihubungkan garis lurus satu dengan lainnya.
3. Apabila
ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut, dan
Negara Indonesiatidak merupakan satu-satunya negara tepi
(artinya ada negara tetangga) maka garis batas laut
wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
4. Perairan
pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semua
perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.
5. Hak
lintas laut damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijamin
sepanjang tidak mengganggu atau bertentangan dengan keamanan serta
keselamatan Negara dan Bangsa.
6. Tidak
berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan angka 4
“Territorial
Zee EN Maritime Kringen Ordonatien 1939”.
Pertimbangan
– pertimbangan Pemerintah RI sehingga mengeluarkan UU No.4 PRP
tahun 1960 sama dengan pertimbangan-pertimbangan Pemerintah dalam
mengeluarkan Deklarasi Djuanda 1957, yaitu empat butir ditambah satu
butir, yaitu: bahwa menurut sejarah sejak dahulu Kepulauan Indonesia
merupakan satu kesatuan. Implikasi positif (klaim) Wawasan Nusantara
yang tercantum dalam Undang-Undang 4 PRP 1960 (Pandoyo, S.T., 1994),
adalah:
Wilayah Indonesia berdasarkan
TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087 km2; setelah berlakunya UU No.4
PRP 1960, luas wilayah Indonesia menjadi: 5.193.250 km2
(daratan dan lautan); berarti luas wilayahnya bertambah: 3.166.163
km2 (perairan) atau lebih kurang: 145%. Meskipun pertambahan wilayah
tersebut berwujud perairan, tetapi banyak mengandung sumber daya
alam.
Realisasi
makna ketentuan yang tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945, yaitu Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dapat dilaksanakan.
Dengan
dijadikannya Deklarasi Djuanda kedalam bentuk Undang-Undang, yang
berarti mempunyai kekuatan hukum dan mengikat, dan mengingat situasi
pendapat dunia mengenai penentuan batas perairan suatu negara belum
banyak mengalami perubahan (penundaan pembahasan penetapan batas laut
negara kepulauan) pada Konferensi Hukum Laut Internasional tahun 1958
dan tahun 1960.
II.3.
PP No.8 Tahun 1962 (Laut Lintas Damai Kendaraan Asing)
Setelah
mengamati pendapat negara-negara lain yang masih belum dapat
menyetujui terhadap klaim Wawasan Nusantara, maka Pemerintah
Indonesia pada tanggal 25 Juli 1962 mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No.8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing dalam
Perairan Indonesia dan merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang
No.4 PRP Tahun 1960 pasal 3.
Pengundangan
Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 tersebut dimaksudkan untuk
menambah jumlah negara-negara yang menyetujui atas klaim Wawasan
Nusantara dan bertujuan agar klaim tersebut memperoleh pengakuan
Konferensi Hukum Laut Internasional sehingga nantinya dapat merupakan
bagian dari hukum laut Internasional yang berlaku untuk semua negara
dan sangat bermanfaat bagi negara-negara pantai khususnya. Adapun isi
pokok Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962, antara lain (Pandoyo,
S.T., 1994):
1. Yang
dimaksudkan dengan lalu lintas laut damai kapal asing ialah pelayaran
yang tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan
dan/atau tidak mengganggu perdamaian Negara RI.
2. Berhenti,
membuang jangkar dan/atau mondar-mandir tanpa alasan yang sah di
perairan Indonesiaatau di laut bebas yang berdekatan dengan
perairan tersebut tidak termasuk pengertian lalu lintas damai.
3. Lalu
lintas damai kapal ialah pelayaran yang melintasi laut wilayah dan
perairan pedalamanIndonesia:
- Dari Laut Bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya;
- Dari Laut Bebas ke Laut Bebas.
Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh kapal asing dalam mengadakan pelayaran di
Perairan Indonesia, menurut jenis kapalnya, adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
kapal asing penyelidik (peneliti) ilmiah yang akan melakukan
pekerjaan di Perairan Indonesiaharus memperoleh izin terlebih
dahulu dari Presiden Republik Indonesia.
2. Untuk
kapal perang dan kapal pemerintah asing bukan kapal niaga sewaktu
akan melintasi PerairanIndonesia, harus memberitahukan terlebih
dahulu (notifikasi) kepada Menteri Pertahanan Keamanan.
3. Kapal
selam asing pada waktu melintasi Perairan Indonesia harus
berlayar di permukaan laut.
4. Kapal
penangkap ikan milik asing, selama melintasi Perairan Indonesia harus
menyimpan alat-alat penangkapan ikannya dalam keadaan terbungkus pada
palka-palkanya.
Untuk
melengkapi Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 maka Pemerintah
Indonesia mengeluarkan keputusan Presiden No.16 Tahun 1971 pada
tanggal 28 Juli 1962 tentang Wewenang Pemberian Izin Berlayar Bagi
Segala Kegiatan Kendaraan Air Asing Dalam Wilayah Perairan Indonesia.
Dalam pasal 1 ditentukan bahwa:” lalu lintas damai kendaraan asing
di perairan pedalaman Indonesia yang sebelumnya berlakunya
Undang-Undang no.4 Tahun 1960 merupakan laut bebas atas laut wilayah
Indonesia dijamin”. Selain itu, PP No.8 Tahun1962 memuat
ketentuan-ketentuan yang mengatur lalu-lintas damai kapal-kapal jenis
khusus, yakni:
(1) Kapal Penelitian,
(2)
Kapal Nelayan,
(3)
Kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan kapal niaga.
II.4. UU
No.1 Tahun 1973 (Landas Kontinen Indonesia)
Pada
tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan
suatu Pengumuman Pemerintah tentang Kontinen Indonesia yang
berbunyi (Kusumaatmadja, M., 1999), sebagai berikut:
Segala
sumber-sumber mineral dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya,
termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentiar,
yang terdapat pada laut dan tanah di bawahnya di landas kontinen,
tetapi di luar daerah perairan Indonesia, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No.4 PRP Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman yang
memungkinkan pengalian dan pengusahaan merupakan milik Indonesia dan
berada dibawah juridiksinya yang eksklusif.
Dalam
hal landas kontinen Indonesia, termasuk depressie-depressie (bagian
dalam) yang terdapat dalam landas kontinen atau kepulauan Indonesia
berbatasan dengan suatu negara lain, maka Pemerintah Republik
Indonesia bersedia untuk melalui perundingan dengan Negara yang
bersangkutan menetapkan suatu garis batas sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
Menjelang
tercapainya persetujuan seperti dimaksud diatas, Pemerintah Republik
Indonesia akan mengeluarkan izin untuk mengadakan eksplorasi serta
memberikan izin untuk produksi minyak dan gas bumi dan untuk
eksploitasi sumber-sumber mineral ataupun kekayaan alam lainnya,
hanya untuk daerah sebelah Indonesia dari garis tengah (median
line)
yang ditarik antara dari pantai daripada pulau-pulau Indonesia
terluar atau dalam hal wilayah kedua Negara terletak berbatasan pada
pulau yang sama, pada daerah sebelah Indonesia dari suatu garis yang
titik-titiknya terletak sama jauhnya dari titik-titik terdekat pada
garis pangkal laut teritorial masing-masing negara.
Ketentuan-ketentuan
tersebut diatas tidak akan mempengaruhi sifat serta status daripada
perairan di atas Landas Kontinen Indonesia sebagai Laut
Lepas, demikian pula ruang udara diatasnya. Pengumuman Pemerintah ini
berlaku sejak tanggal dikeluarkannya.
Pengumuman
Pemerintah tanggal 17 Februari 1969 ini, memiliki pokok-pokok
pemikiran, sebagai berikut:
1. Segala
sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas
kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Negara Indonesia.
2. Pemerintah Indonesia bersedia
menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan negara-negara
tetangga melalui perundingan.
3. Jika
tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas
kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik
ditengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik
terluar wilayah negara tetangga.
4. Klaim
di atas tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas
landas kontinen Indonesia, maupun udara di atasnya.
Karena
itu, dalam konvensi hukum laut yang baru, lebar landas kontinen
daratan yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan beberapa
alternatif, sebagai berikut:
1. Sampai
batas terluas Tepian Kontinen; atau
2. Sampai
jarak 200 mil laut ke arah laut dari garis dasar apabila batas
terluar tepian kontinen kurang dari 200 mil laut; atau
3. Sampai
jarak 350 mil laut ke arah laut dari garis dasar apabila batas
terluar tepian kontinen melebihi 200 mil laut; atau
4. Sampai
jarak 100 mil laut ke arah laut dari garis sama dalam (isobath) 2.500
meter apabila batas terluar tepian kontinen melebihi 200 mil laut.
Untuk
mendapatkan kejelasan mengenai Landas Kontinen dapat dilihat pada
gambar II.4.1 tentang profil melintang landas kontinen.
II.5. UU
No. 5 Tahun 1983 (Zona Ekonomi Eksklusif)
Salah
satu perbedaan radikal antara hukum laut klasik dan hukum baru
tercermin dalam prinsip zona ekonomi eksklusif (ZEE). Zona ekonomi
eksklusif diartikan sebagai suatu daerah diluar laut teritorial yang
lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57
Konvensi PBB). Menurut pengertian Pasal 56, di zona ekonomi eksklusif
negara pantai dapat menikmati (Koers, A.W., 1994), sebagai berikut:
1. Hak-hak
berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di
bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua
kegiatan ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona
tersebut (seperti produksi energi dari air, arus dan
angin).Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi ini,
atau pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah serta
perlindungan lingkungan laut.
2. Hak-hak
dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan konvensi.
UU
No. 5 Tahun 1983 yang diundangkan tanggal 18 Oktober 1983 merupakan
pengukuhan dari Pengumuman Pemerintah Indonesia tentang Zona
Eksklusif (21 Maret 1980). Hak berdaulat dan yuridiksi serta
kewajiban lainnya yang berkaitan dengan dasar laut dan tanah
dibawahnya dilaksanakan menurut peraturan tentang Landas
Kontinen.Untuk kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional
serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai
dengan prinsip hukum laut internasional. Beberapa pokok-pokok pikiran
yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun 1983, sebagai berikut:
1. Pihak
yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi, seperti pembangkitan
energi dari air, angin dan arus harus berdasarkan izin dari
pemerintah atau persetujuan internasional dengan pemerintah serta
harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang
ditetapkan pemerintah.
2. Orang
atau badan hukum atau pemerintah negara asing dapat diizinkan
melakukan penangkapan ikan, jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan
oleh Pemerintah untuk jenis tertentu melebihi
kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
3. Pihak
yang membuat dan atau menggunakan pulau buatan, instalasi dan
bangunan lainnya harus berdasarkan izin pemerintah, sedangkan pihak
yang menimbulkan kerugian harus memikul tanggung jawab dan membayar
ganti rugi kepada pemilik pulau buatan, instalasi dan bangunan
lainnya.
4. Pihak
yang melakukan penelitian ilmiah harus memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari pemerintah serta memikul tanggung jawab dan
membayar ganti rugi apabila menimbulkan kerugian.
5. Pihak
yang melakukan kegiatan di ZEE wajib melakukan langkah-langkah untuk
mencegah, membatasi, mengendalikan dan menanggulangi pencemaran
lingkungan laut serta memikul tanggung jawab mutlak dan membayar
biaya rehabilitasi dengan segera dan dalam jumlah yang memadai jika
sampai terjadi pencemaran lingkungan laut dan atau perusakan
sumberdaya alam (kecuali karena suatu peristiwa alam yang berada
diluar kemampuan atau kelalaian pihak ketiga) berdasarkan penelitian
ekologis.
Aparat
penegak hukum (perwira TNI-AL) dapat melakukan tindakan sesuai UU
No.8 tahun 1981 (KUHP), dengan pengecualian:
1. Penangkapan
terhadap kapal dan atau orang-orang yang diduga melakukan
pelanggaran.
2. Penyerahan
kapal dan atau orang-orang tersebut tidak boleh lebih dari 7 (tujuh)
hari kecuali terdapat keadaan force
majeure.
3. Penahanan
untuk keperluan tuntutan ganti rugi.
II.
6. UU No.7 Tahun 1985 (Ratifikasi Konvensi Hukum Laut
1982)
Undang-Undang
ini diberlakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan, sebagai
berikut:
1. UNCLOS
(United Nation Convention on The Law of The Sea) telah diterima baik
dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut III di New York tanggal 30
April 1982 serta telah ditandatangani oleh Negara RI bersama-sama 118
negara lainnya di Montego Bay-Jamaika tanggal 10 Desember 1982.
2. UNCLOS
telah mengatur tentang rejim-rejim hukum laut termasuk rejim hukum
Negara Kepulauan (yang mempunyai arti dan peranan penting untuk
memantapkan kedudukan Indonesia dalam rangka implementasi
wawasan nusantara sesuai amanat MPR RI) secara menyeluruh.
Sehingga didapatkan konsekuensi-konsekuensi, sebagai berikut: Sejak
Undang-Undang ini diberlakukan (31 Desember 1985) Indonesia terikat
dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS) III tahun 1982 dan harus
mengimplementasikan dalam pembuatan hukum laut nasional. Penyelesaian
konflik dengan negara berbatasan harus mengacu pada UNCLOS III.
II.7. UU
No.22 Tahun 1999 (Otonomi Daerah)
Penerapan
otonomi daerah sebagai bagian pelaksanaan desentralisasi bagi
Negara Indonesia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU
No.22 Tahun 1999 tentang kewenangan daerah dan propinsi sebagai
daerah otonomi.
Termasuk
didalamnya pengaturan dalam penetapan batas daerah. Penetapan dan
penegasan batas daerah secara formal sebenarnya telah dilakukan sejak
tahun 1984 dengan istilah populer Penataan Batas Wilayah
dengan ditandai keluarnya Peraturan Mendagri No.10 Tahun 1984 dan
Instruksi Mendagri No.24 Tahun 1984 (d_infokom_jatim, 2003). Keduanya
merupakan ketentuan yang mengatur penataan batas wilayah darat dengan
basis pada satuan batas desa/kelurahan.
Kemudian
sejak dilahirkannya UU No.22 Tahun 1999 yang diantaranya memuat Batas
di Wilayah Laut sebagaimana dimaksud pada pasal 10, bahwa daerah
propinsi memiliki wilayah laut 12 mil yang diukur dari garis pantai
ke arah laut lepas dan kabupaten/kota sepertiga dari 12 mil ditarik
dari garis pantai. Untuk dapat memahami aplikasi dan implikasi
penentuan batas daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dapat dilihat
dalam Bab II Pasal 2 Ayat (2) dan (3) (Depdagri, 2003), sebagai
berikut:
BAB
II
PEMBAGIAN
DAERAH
Pasal
2
(1) Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah
Propinsi,
Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom,
(2) Daerah
Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.
Pasal
3
Wilayah
Daerah Propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),terdiri
atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua batas mil laut yang
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan
kepulauan. Dalam UU No.22 Tahun 1999 Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa
penetapan batas negara masih sama sesuai dengan Deklarasi Djuanda
termasuk didalamnya mengenai penetapan batas propinsi dengan batas
laut teritorial sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Namun
UU No.22 Tahun 1999 masih memerlukan revisi ataupun peraturan
perundang-undangan untuk dapat menjelaskan lebih
lanjut mengenai penetapan garis batas di laut yang
berbatasan dengan negara lain atau propinsi lainnya.
Dalam
perjuangan penetapan batas Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
dilalui berbagai macam tahapan dan waktu yang tidak sedikit.
Ulasan
aspek legal dalam penetapan batas negara Indonesia diatas
hanyalah sebagian kecil saja dalam uraian perjalanan
Bangsa Indonesia dalam mendapatkan kedaulatannya secara
utuh dan menyeluruh. Dimana tujuan akhirnya adalah mewujudkan
konsepsi Wawasan Nusantara seutuhnya.
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan
dimana memiliki banyak pulau yang terpencar-pencar sehingga
dibutuhkan pandangan Wawasan Nusantara untuk menyatukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar