Penetapan batas
negara secara alamiah menjadi menjadi salah satu syarat utama suatu
bangsa sudah berdaulat, yaitu:
(a) Memiliki
wilayah,
(b) Memiliki
pemerintahan,
(c) Memiliki warga
negara.
Batas negara
diperlukan untuk memberikan batas kewenangan dan penguasaan bagi
suatu pemerintahan selain menunjukkan suatu negara memiliki wilayah.
Untuk dapat menetapkan suatu batas wilayah diperlukan suatu landasan
hukum yang mengaturnya. Bila dilihat dari perjalanan waktu, penetapan
batas negara di laut jauh lebih maju daripada darat dikarenakan
tingkat kesulitan penetapan batas di laut yang lebih tinggi.
I.1. Masa Imperium
Romawi
Sebelum Imperium
Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan
kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh
pemikiran tersebut tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut Rhodes
tentang perdagangan) karena tenggelam dalam perkembangan laut yang
didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu
tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap
Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah
Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak
laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman
dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi
terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh
umat (res communis
omnium) sehingga
penggunaan laut terbuka bagi setiap orang.
Peraturan-peraturan
hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 atau ke-3 SM, sangat
berpengaruh di daerah Laut Tengah karena prinsip-prinsipnya diterima
baik oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Kitab Undang-Undang Rhodes
yang dikeluarkan pada abad ke-7 Masehi oleh orang-orang Romawi
didasarkan pada peraturan-peraturan hukum laut Rhodes. Di kawasan
Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum
laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan
seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan
(perdata).
I.2. Masa Abad
Pertengahan
Negara-negara yang
muncul setelah keruntuhan Imperium Romawi, masing-masing menuntut
sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya, seperti Venetia
menuntut sebagaian besar Laut Adriatik dan Genoa mengklaim kekuasaan
atas Laut Liguria. Alasan negara-negara melakukannya, adalah:
- Perlindungan kesehatan (karantina), terutama terhadap penyakit bahaya pes.
- Pencegahan penyeludupan (bea cukai).
- Pertahanan dan netralitas (suatu daerah yang bebas dari tindakan permusuhan yang penguasaannya tergantung kemampuan pantai).
Kebutuhan untuk
menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara terhadap laut
menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang disebut Post-Glossator
mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas azas-azas dan
konsepsi-konsepsi hukum Romawi.
Bartolus meletakkan
dasar bagi pembagian atas laut yang berada di bawah kekuasaan
kedaulatan negara pantai (Laut Teritorial) dan di luar itu berupa
bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun (Laut
Lepas). Baidus membedakan tiga konsepsi berkaitan dengan penguasaan
atas laut, sebagai berikut:
- Tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai sumber kekayaan alam.
- Tindakan untuk kepentingan Hankam, bea cukai, kesehatan dan lain-lain.
- Tindakan yang bertujuan melindungi laut sebagai sarana komunikasi.
Tahun 1493 Paus
Alexander VI mengeluarkan piagam Inter Caetera, yang berisi tentang
pembagian wilayah dan samudera di dunia menjadi dua kekuasaan yaitu
Portugal dan Spanyol sebagai upaya penyelesaian konflik diantara
mereka. Kerajaan Inggris masa itu juga menganut domino
maris, yang dilandasi
hasrat untuk melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap
nelayan asing, yaitu dengan menyatakan laut sebagai King’s Chamber
(oleh raja Charles II) dimana batas-batas menggunakan garis-garis
lurus yang ditarik dari ujung-ujung kepulauan Inggris.
I.3. Perkembangan
Doktrin Hukum Laut
Tantangan keras
terhadap konsepsi laut tertutup (mare
dausum) berdasarkan
doktrin domino maris dari pihak yang memperjuangkan azas kebebasan
berlayar (freedom of
navigation) yang
didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh
siapapun juga dipelopori Hugo Garatius (Belanda) dan Ratu Inggris
Elizabeth. Hal ini ditunjukkan perlawanan armada laut Belanda dan
Inggris terhadap armada Spanyol.
Azas Kebebasan laut
(freedom of the seas) pertama kali dikemukan oleh Hugo Grotius dalam
bukunya Mare Liberium (1609), yang berisi tentang pembelaan hak orang
Belanda (atau orang lain selain Portugis dan Spanyol) untuk
mengarungi lautan (termasuk hak orang Belanda untuk berlayar ke
Hindia Timur) dimana alasannya adalah laut terbuka untuk siapapun
juga karena tidak ada pemiliknya. Reaksi keras muncul dari
penulis-penulis Inggris seperti Wellwood dan Selden karena dalam
tahun yang sama (1609), Raja Inggris James I mengeluarkan larangan
bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris.
Salah satu teori yang merupakan kompromi antara teori mare
dausum dan mare
liberum diajukan oleh
Pontanus (Belanda) dengan membagi laut menjadi dua bagian yaitu laut
yang berdekatan dengan pantai (yang berada di bawah pemilikan atau
kedaulatan negara pantai) dan lautan yang bersifat bebas.
Menurut teori yang
merupakan penyempurnaan dari teori Bartolus ini, laut yang
berdekatan dengan pantai dijadikan bagian dari wilayah negara pantai
sehingga lenyaplah perbedaan antara imperium (kedaulatan) dan
dominium (kepemilikan) yang dibuat oleh Grotius. Pontanus dapat
dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya dari konsepsi laut
teritorial yang dikenal dalam hukum laut sekarang. Seratus tahun
setelah terbitnya Mare Liberium, Cornelius
van Bynkershoek
(Belanda) menulis buku De
Dominio Maris Dissertatio
yang menolak dalil John Selden yang mengklaim bagian-bagian laut yang
luas bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur tertentu
(dengan ukuran lebar yang tidak terlalu besar) di bawah kedaulatan
negara pantai. Sehingga dikenal suatu azas penguasaan laut dari darat
berupa suatu Kaidah Tembakan Meriam, yaitu berbunyi :”kedaulatan
teritorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir”. Dalam
sejarahnya ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan
lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan
negara pantai, yaitu:
- Ukuran tembakan meriam.
- Ukuran pandangan mata.
- Ukuran marine league.
Setelah itu baru
muncul ukuran tiga mil laut yang dalam jangka panjang waktu cukup
lama dianggap sebagai ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum.
Usaha untuk mencoba menggambarkan kaidah tembakan meriam dalam ukuran
jarak yang konkrit pertama kali dilakukan oleh Galiani (Italia)
dengan menghubungkannya dengan suatu jalur netralitas yang lebarnya
tiga mil, selanjutnya Domenico Anzuni (Italia) lebih terkenal lagi
sebagai orang yang menyamakan kaidah tembakan meriam 3 mil. Terjadi
kekeliruan seperti penulis George Friedrich Von Marten yang tidak
menyamakan dengan tiga mil melainkan dengan tiga league (suatu ukuran
dengan panjangnya tiga mil).
Diundangkannya
Territorial Waters
Jurisdiction Act
(1878) oleh Inggris, memperjelas ukuran tiga mil sebagai kaidah yang
berdiri sendiri apalagi saat itu kedudukan armada perang dan niaganya
dengan negara-negara Eropa Barat lainnya dan Amerika Serikat yang
semuanya menganut kaidah tiga mil, memberikan kesan ini berlaku umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar