Selasa, 25 Juni 2013

Sejarah Penetapan Batas Laut Negara

Penetapan batas negara secara alamiah menjadi menjadi salah satu syarat utama suatu bangsa sudah berdaulat, yaitu:
(a) Memiliki wilayah,
(b) Memiliki pemerintahan,
(c) Memiliki warga negara.
Batas negara diperlukan untuk memberikan batas kewenangan dan penguasaan bagi suatu pemerintahan selain menunjukkan suatu negara memiliki wilayah. Untuk dapat menetapkan suatu batas wilayah diperlukan suatu landasan hukum yang mengaturnya. Bila dilihat dari perjalanan waktu, penetapan batas negara di laut jauh lebih maju daripada darat dikarenakan tingkat kesulitan penetapan batas di laut yang lebih tinggi.


I.1. Masa Imperium Romawi

Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar (kecuali Hukum Laut Rhodes tentang perdagangan) karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium) sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang.
Peraturan-peraturan hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 atau ke-3 SM, sangat berpengaruh di daerah Laut Tengah karena prinsip-prinsipnya diterima baik oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Kitab Undang-Undang Rhodes yang dikeluarkan pada abad ke-7 Masehi oleh orang-orang Romawi didasarkan pada peraturan-peraturan hukum laut Rhodes. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata).

 
I.2. Masa Abad Pertengahan

Negara-negara yang muncul setelah keruntuhan Imperium Romawi, masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya, seperti Venetia menuntut sebagaian besar Laut Adriatik dan Genoa mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria. Alasan negara-negara melakukannya, adalah:
  1. Perlindungan kesehatan (karantina), terutama terhadap penyakit bahaya pes.
  2. Pencegahan penyeludupan (bea cukai).
  3. Pertahanan dan netralitas (suatu daerah yang bebas dari tindakan permusuhan yang penguasaannya tergantung kemampuan pantai).
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar negara terhadap laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang disebut Post-Glossator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas azas-azas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi.
Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian atas laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai (Laut Teritorial) dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun (Laut Lepas). Baidus membedakan tiga konsepsi berkaitan dengan penguasaan atas laut, sebagai berikut:
  1. Tindakan yang dilakukan untuk melindungi laut sebagai sumber kekayaan alam.
  2. Tindakan untuk kepentingan Hankam, bea cukai, kesehatan dan lain-lain.
  3. Tindakan yang bertujuan melindungi laut sebagai sarana komunikasi.
Tahun 1493 Paus Alexander VI mengeluarkan piagam Inter Caetera, yang berisi tentang pembagian wilayah dan samudera di dunia menjadi dua kekuasaan yaitu Portugal dan Spanyol sebagai upaya penyelesaian konflik diantara mereka. Kerajaan Inggris masa itu juga menganut domino maris, yang dilandasi hasrat untuk  melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan asing, yaitu dengan menyatakan laut sebagai King’s Chamber (oleh raja Charles II) dimana batas-batas menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung-ujung kepulauan Inggris.

 
I.3. Perkembangan Doktrin Hukum Laut

Tantangan keras terhadap konsepsi laut tertutup (mare dausum) berdasarkan doktrin domino maris dari pihak yang memperjuangkan azas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun juga dipelopori Hugo Garatius (Belanda) dan Ratu Inggris Elizabeth. Hal ini ditunjukkan perlawanan armada laut Belanda dan Inggris terhadap armada Spanyol.
Azas Kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium (1609), yang berisi tentang pembelaan hak orang Belanda (atau orang lain selain Portugis dan Spanyol) untuk mengarungi lautan (termasuk hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) dimana alasannya adalah laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada pemiliknya. Reaksi keras muncul dari penulis-penulis Inggris seperti Wellwood dan Selden karena dalam tahun yang sama (1609), Raja Inggris James I mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris. Salah satu teori yang merupakan kompromi antara teori mare dausum dan mare liberum diajukan oleh Pontanus (Belanda) dengan membagi laut menjadi dua bagian yaitu laut yang berdekatan dengan pantai (yang berada di bawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai) dan lautan yang bersifat bebas.
Menurut teori yang merupakan  penyempurnaan dari teori Bartolus ini, laut yang berdekatan dengan pantai dijadikan bagian dari wilayah negara pantai sehingga lenyaplah perbedaan antara imperium (kedaulatan) dan dominium (kepemilikan) yang dibuat oleh Grotius. Pontanus dapat dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya dari konsepsi laut teritorial yang dikenal dalam hukum laut sekarang. Seratus tahun setelah terbitnya Mare Liberium, Cornelius van Bynkershoek (Belanda) menulis buku De Dominio Maris Dissertatio yang menolak dalil John Selden yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur tertentu (dengan ukuran lebar yang tidak terlalu besar) di bawah kedaulatan negara pantai. Sehingga dikenal suatu azas penguasaan laut dari darat berupa suatu Kaidah Tembakan Meriam, yaitu berbunyi :”kedaulatan teritorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir”. Dalam sejarahnya ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai, yaitu:
  1. Ukuran tembakan meriam.
  2. Ukuran pandangan mata.
  3. Ukuran marine league.
Setelah itu baru muncul ukuran tiga mil laut yang dalam jangka panjang waktu cukup lama dianggap sebagai ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum. Usaha untuk mencoba menggambarkan kaidah tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit pertama kali dilakukan oleh Galiani (Italia) dengan menghubungkannya dengan suatu jalur netralitas yang lebarnya tiga mil, selanjutnya Domenico Anzuni (Italia) lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan kaidah tembakan meriam 3 mil. Terjadi kekeliruan seperti penulis George Friedrich Von Marten yang tidak menyamakan dengan tiga mil melainkan dengan tiga league (suatu ukuran dengan panjangnya tiga mil).
Diundangkannya Territorial Waters Jurisdiction Act (1878) oleh Inggris, memperjelas ukuran tiga mil sebagai kaidah yang berdiri sendiri apalagi saat itu kedudukan armada perang dan niaganya dengan negara-negara Eropa Barat lainnya dan Amerika Serikat yang semuanya menganut kaidah tiga mil, memberikan kesan ini berlaku umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar