MORALITAS,
MAKNA SOSIAL, DAN RETORIKA: KONTEKS SOSIAL DARI PENALARAN MORAL
- RANGKUMAN
Bab
ini hendak menguji berbagai asumsi yang beraneka perkembangan model
penalaran moral seperti yang di ajukkan teori Kohlberg serta
pendekatan secara psikologi sosial dan secara sosiologi terhadap
penalaran moral dan sosial serta hendak menyingkap sejauh mana
berbagai pendekatan itu dapat dipertemukan. Adapun asumsi yang
digunakan dalam bab ini :
- Penalaran moral serta perilaku dan cara kerja dalam mempertimbangkan moral yang dilakukan seorang individu tergantung dari teori sosial yang secara implisit didapat dan dianutnya.
- Sebagian besar penalaran tentang masalah-masalah moral, sosial, dan politik bersifat retorik (perikatan antara fakta dan nilai).
Pada
umumnya kita hanya sewaktu-waktu saja merasakan kebutuhan dan upaya
aktual untuk mengambil keputusan mengenai tindakan akan keputusan
moral yang praktis itu, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita
selalu terlibat dengan mempertimbangkan tingkah orang lain,
mengenakan sanksi terhadap sesama kita dan rekan sepergaulan, serta
memberikan pula berbagai respon terhadap aneka peristiwa
kemasyarakatan dengan cara menghargai ataupun mencelanya. Ada
pendekatan secara psikologis social dan pendekatan secara sosiologis
jika melihat penalaran moral dan sosial, kedua pendekatan Hanya
memuaskan hendaknya mengintegrasikan berbagai factor sosial dan
individual, baik dalam teorinya maupun dalam penelitian, yaitu pada
bentuk-bentuk ekspresif, evaluatif, dan linguistik dari perilaku
moral. Ada beberapa cara yang secara substansial berbeda untuk
menjelaskannya diantaranya yaitu : 1. Sebagai individu kita memberi
komentar secara deskriptif maupun secara preskriptif mengenai
perilaku kita ataupun orang lain. Pendekatan diatas juga menjelaskan
bahwa tindakakn moral serta ekspresi seorang individu itu merupakan
suatu respons yang pertama-tama ditentukan oleh tuntutan situasi
sosial.
- Kemudian sejauh mana berbagai pendekatan itu dapat dipertemukan.
- Arena pangkal serta pengoperasionalan permasalahan pemaknaan moral itu menjadi tiga persoalan, yaitu :
- System pemaknaan sosiokultural
- System pemaknaan interpersonal
- System pemaknaan intrapersonal
- Arena makna intrapersonal lah yang akhir-akhir ini dijadikan fokus dari pendekatan kognitif-developmental.
- Meneliti ide retorika itu dalam tiga cara:
- Bidang penalaran moral
- Setiap kesimpulan moral atau perbuatan penalaran moral
- Berbagai pengetahuan serta teori yang dijumpai dalam khazanah kebudayaan.
ARENA
KRITIK
Terdapat
perdebatan diantara pendekatan “individual” dengan “sosial”,
seperti beberapa ahli seperti Lawrence Kohlberg dengan pengeritik
lainnya tersebut. Perbedaan keduanya terdapat pada perkembangan moral
dari individual mengenai keadilan. Pada teori tersebut terdapat
anggapan telah mengabaikan, kurang memberikan makna yang memadai yang
telah mempengaruhi teori perkembangan konsep individual mengenai
konsep keadilan. Sedangkan itu terdapat 3 pokok utama yang menjadi
penolakan sosial tersebut, yang mana akan disampaikan dalam
pembahasan.
Untuk
mengumpulkan data mengenai penalaran moral dianjurkan mengadakan
penilaian dan pertimbangan mengenai berbagai masalah moral atau
peristiwa yang dianggap menyimpang atau bersifat problematis, serta
di kemukakan pula beberapa kharakteristik yang menarik perhatian.
Terdapat cara-cara untuk menyikapi permasalahan tersebut dengan
meresponnya dengan baik atau dengan cara penolakan.
BERBAGAI
MODEL MAKNA DAN RETORIKA
Pada
materi ini asumsi yang di pegang bersama adalah system makna itu
mengandung berbagai teori mengenai hakikat dan fungsi moralitas,
sekaligus dengan peranannya dalam sistem social maupun kehidupan
individual. Berger dan luckmann (1967) menunjukkan betapa
lembaga-lembaga sosial serta cara orang bertindak secara normatif
terhadap sesamanya itu dimantapkan dan di jelaskan oleh “teori-teori”
yang dinyatakan sebagai “pengetahuan umum”. Mengenai asal mula
sistem makna serta cara sistem makna itu beroperasi dalam konteks
sosial, kedua orientasi yang telah dikemukakan mempunyai asumsi yang
berbeda. Telah di pelajari dan didiskusikan tiga wilayah asal mula
serta cara beroperasinya sistem makna tersebut, yaitu bersifat
sosisokultural, interpersonal dan intrapersonal.
Durkheim
dan mauss (1963) mengidentifikasi dua fungsi sistem kepercayaan, yang
pertama ialah fungsi spekulatif, fungsi kedua ialah fungsi penjelasan
atau eksplanasi. dan secara khusus mencurahkan perhatiannya pada
sistem kepercayaan yang bersifat religious semu, akan tetapi mungkin
pula dengan maksud untuk mengadakan suatu generalisasi dan menyadari,
seberapa jauhkah sistem makna itu, secara tidak terelakkan lagi
merupakan campuran dari penjelasan atau eksplanasi dengan prespektif.
Definisi
mengenai retorika ada dua, yaitu :
- Unsur pertama, yang menyebutkan pembauran antara fakta dan nilai yang tidak terelakkan lagi itu mengakibatkan sebagian besar pernyataan mengenai dunia social menjadi pernyataan asertoris.
- Unsure kedua, adalah komunikasi. Perumusan alas an-alasan moral yang bersangkutan dengan pertimbangan moral yang bersanngkutan dengan pertimbangan moral atau preskripsi sosial dan politik jarang diungkapkan karena bersifat pribadi.
WILAYAH
PERMAKNAAN : PERTAUTAN ANTARA INDIVIDU DENGAN MASYARAKAT
Berbagai
cara yang mungkin digunakan konsep retorika dalam menciptakan
pertautan antara berbagai system makna sosiakultural dan antar
pribadi. Dalam contoh mengenai perekrutan calon angkatan bersenjata
seperti di pembahasan.
- Hubungan sosiokultural, system permaknaan sosiokultural mengajukan suatu rentangan kemungkinan teori, penjelasan atau bahasa yang digunakan. Kevektivan retorika dari setiap bentuk teori, penjelasan atau bahasa yang digunakan dalam suatu komunikasi itu tergantung dari seberapa jauhkah semua itu dianut bersama, baik oleh komunikasi maupun komunikatornya. Yang dimaksud dengan “dianut bersama” itu ialah derajat kemampuan kedua pihak saling memahami
- hubungan antarpribadi , karakteristik :
- tahapan kompleksitas seorang individu akan menyederhanakan penafsiran makna sosiokulturalnya.
Dalam
suatu studi yang kami adakan baru-baru ini, kami meminta beberapa
orang pemuda untuk memberikan penjelasan tentang landasan tatanan
social; di bawah ini diajukan 3 buah contoh yang berlainan dari
jawaban mereka itu, yang mencerminkan adanya perbedaan tahapan
kompleksitas penalaran mereka (tanda-tanda yang diterangkan dalam
kalimat sisipan mengacuh pada tahapan penalaran moral seperti yang
digunakan secara umum untuk menandai para respoden yang diikut
sertakan dalam pengukuran ala Kohlberg mengenai pertimbangan moral),
(Weinreich Haste, Duff, dan Cotgrove, catatan 1 )
- Pengalaman pribadi seorang individu akan menyebabkan yang berbeda pada berbagai teori dan retorika yang beraneka.
INTERPERSONAL
DAN INTRAPERSONAL
Situasi-situasi
imajiner dapat dipandang sebagai contoh dari hubungan anatara
wilayah makna interpersonal (antarpribadi) dan intrapersonal.ada dua
cara hubungan antara interpersonal serta intrapersonal yaitu: andanya
interaksi yang konstan anatara individu dengan penataan makna secara
social,anatar organisasi kognitif antar pribadi (interpersonal) dari
individu dengan penjabaran makna dan kerangka kerja serta negosiasi
dari kelompok , dan penafsiran makna kelompok oleh individu tersebut.
SOSIOKULTURAL
dan INTERPERSONAL
Kelompok
yang berada dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, yang
mengadakan kategorisasi dalam permaknaan; setiap kelompok dihalangi
dan dibatasi oleh hal-hal tertentu yang dimungkinkan oleh kebudayaan
yang bersangkutan. Penelitian dalam bidang hubungan antar kelompok
memperlihatkan rentangan yang luas dari retorika yang mungkin
didapatoleh berbagai kelompok dalam suatu kebudayaan, yang
masing-masing dapat digunakan untuk memantapkan status “kelompok
dalam”dan “kelompok luar” dari masing individu-individu.
- PEMBAHASAN
Menguji
berbagai asumsi “perkembangan modal penalaran moral” karya
KOHLBERG Penalaran moral serta perilaku dan cara kerja dalam
memepertimbangkan moral yang dilakukan oleh seorang individu
tergantung dari teori social yang secara implicit didapat dan
dianutnya. Yang dimaksud adalah bahwa kesadaran akal loyalitas pada
tugas tanggung jawab yang berasal dari dalam kepribadian
individu-individu. Sebagian besar penalaran tentang masalah-masalah
moral, social, dan politik bersifat retorik. Yang artinya semuanya
sebenarnya lebih merupakan suatu tindakan atau tanggung jawab
komunikatif persuasive yang diterapkan sebagai sebuah prinsip yang
kemudian diterapkan diantar teori social.
Pendekatan
secara psikologis social dan pendekatan secara sosiologis melihat
penalaran moral dan social. Hanya memuaskan hendaknya
mengintegrasikan berbagai factor social dan individual, baik dalam
teorinya maupun dalam penelitian, yaitu pada bentuk-bentuk ekspresif,
evaluative, dan linguistic dari perilaku moral. Ada dua cara yang
secara substansial berbeda untuk menjelaskan yaitu : Sebagai individu
kita memberi komentar secara deskriptif maupun secara preskriptif
mengenai perilaku kita ataupun orang lain.
Kadang
kita hanya sewaktu-waktu saja merasakan kebutuhan dan upaya nyata
untuk mengambil keputusan tentang tindakan dan keputusan moral yang
serba cepat tanpa tau akan konsekwensi yang nantinya ada dibalik
perilaku moral tersebut, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita juga
terlibat dalam menilai dan memperhatikan tingkah laku orang lain yang
berada disekitar kita, kita juga memebrikan sangksi, respon terhadap
kejadian yang terjadi di dalam masyarakat dengan cara memuji atau
malah mengkritik(celaan). Dalam melakukan tindakan moral kita selalu
mencerminkan keyakinan apa yang menentukan tindakan yang kita sukai,
hal ini mencerminkan teori yang kita anut dalam berinteraksi dan
menerapkan nilai-nilai, kaidah serta pendapat-pendapat budaya dari
masyarakat atau daerah kita berasal baik secara individual maupun
social.
Pendekatan
ini menjelaskan bahwa tindakakn moral serta ekspresi seorang individu
itu merupakan suatu respons yang pertama-tama ditentukan oleh
tuntutan situasi social. Orientasi utama dari pendekatan ini adalah
situasi social sebagai suatu kancah yang mengandung berbagai makna
yang bersifat khas dan terpau pada sekarang.yang kedua, situasi
social tersebut menyiratkan ekspresi pandangan moral serta kesimpulan
moral yang dianut seorang individu mencerminkan system social dan
ideology cultural yang dominan pada saat ini. Dimana jika ada minat
pada proses social tersebut maka kita kan mencurahkan perhatian baik
dalam bentuk bahasa, lambing, dalam generasi berikutnya dalam
pemaknaan social dan menggunakan perannya.
Kemudian
sejauh mana berbagai pendekatan itu dapat dipertemukan.
- Arena pangkal serta pengoperasionalan permasalahan pemaknaan moral itu menjadi tiga persoalan, yaitu :
- System pemaknaan sosiokultural, merujuk pada kepada pembatasan mengenai apa yang dapat diketahui individu dan apa yang harus ia gunakan dalam rangka menyatakan atau berkomunikasi terhadap orang lain tentang pengetahuannya kepercayaan yang dia miliki.
- System pemaknaan interpersonal, ialah bersifat dua arah dan yang berbentuk interaksi dalam kelompok kecil. Yang merupakan situasi pengalaman komunikasi yang paling sederhana.
- System pemaknaan intrapersonal, Arena makna intrapersonal lah yang akhir-akhir ini dijadikan focus dari pendekatan kognitif-developmental. Karena merupakan wilayah keorganisasi kognisi individual dan melahirkan suatu teori kepribadian yang koheren dan bermakna yang diambil dari pengetahuan dan pengalaman.
- Meneliti ide retorika itu dalam tiga cara:
- Bidang penalaran moral dimana terjadi pembauran antara fakta nilai atau kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi.
- Setiap kesimpulan moral atau perbuatan penalaran moral, walaupun bersifat pribadi masih tetap memiliki nilai didaktis dan komunikatif. Contohnya: saya suka akan jurnalistik setiap ada seminar dan sebagainnya yang berhubungan dengan hal tersebut selalu saya ikuti, kemudian timbulah dalam diri saya untuk mengajak teman-teman yang lain dalam jurnalistik tersebut.
- Berbagai pengetahuan serta teori yang dijumpai dalam khazanah kebudayaan tidak pernah bersifat netral karena ortodiksi kultur dari masyarakat umum pun membaurkan antara fakta dan nilai.dimana tidak muncul persaingan tapi memunculkan pada tiap individu pemebelaan, kebenaran dan sifatnya yang universal.
ARENA
KRITIK
Pada
sub bab ini seorang individu menafsirkan berbagai peristiwa moral dan
sosial, bagaimana ia memecahkannya, serta sedemikian jauh bagaimana
ia bertindak dalam berbagai situasi yang mengandung permaslahan
moral. (kohlbergh,1971,1976). Terdapat 3 pokok utama yang menjadikan
penolakkan sosial tersebut :
- Metode penelitiannya sendiri merupakan suatu situasi sosial, oleh karena itu telah menuntut karakteristik-karakteristik tertentu yang menyulitkan penafsiran respon individual, dan bahkan mungkin menjadikannya bingung, karena mendapati berbagai macam situasi sosial yang berbeda-beda.
- Seluruh kegiatan itu, secarasecara cultural, bersifat praduga (bias), karena mengikuti suatu konsep yang menurut kritik itu pada dasarnya merupakan konsep borjuis barat.
- Metode dan teori tersebut tidak memperhatikan karya psikologi-sosial mengenai peranan interaksi dalam kelompok kecil serta perbincangan mengenai makna dan peranan bahasa mengenai makna dan peranan bahasa serta berbagai bentuk ekspresi yang menyebabkan individu yang bersangkutan tetap bertahan dalam kelompoknya.
Pada
sistem ini meminta kepada responden untuk mengadakan penilaian dan
pertimbangan mengenai berbagai masalah moral atau peristiwaa yang
dianggap menyimpang atau bersifat problematic. Dari jawaban
responden, kami mencoba menetapkan penalaran dan yustifikasi yang
dijadikan alasan oleh individu yang bersangkutan dalam memberikan
pendapatnya.
Pada
tahap ini ditemukan karakteristik yang menarik perhatian, merupakan
suatu situasi sosial, suatu interaksi antara penelitian dengan
siresponden, karena itu sangat penting agar terciptannya situasi
sosial yang di inginkan kedua pihak. Apa yang terjadi itu bukanlah
suatu laporan tentang suatu kegiatan, bukan pula merupakan perkiraan
mengenai suatu perbuatan. Terdapat suatu refleksi terhadap kegiatan
individu yang bersangkutan ataupun orang lain yang dilakukan dimasa
lalu mengenai kegiatan yang mungkin dilakukan di masa mendatang.
Situasi yang menjadi perhatian respoden biasanya pada akhirnya
baginya merupakan suatu situasi baru dan individu yang bersangkutan
tidak pernah mendapatkan pengalaman langsung dari tangan pertama
ataupun kedua.
Anak
yang berusia sekitar 10 thn, dengan mengikuti orang dewasa atau orang
lain dapat mengutarakan kepada kami mengenai cara berpegangan pada
aturan permainan serta mengembangkan pemikiran secara logis mengenai
persoalan hokum yang adil. Sama baiknya dengan orang yang mencuri
obat untuk menyelamatkan jiwa istri istrinnya, mengenai
pertanggungjawaban seorang pemimpin terhadap perusahan yang
dipimpinya, dengan kata lain, dalam situasi. Sosial ini kita temukan
bahwa responden yang bersangkutan ternyata mampu memberikan reaksi
terhadap penelitian dengan suatu pembahasan yang rasional mengenai
tindakan yang sebenarnya mengenai orang ketiga yang hipotesis.
Akan
tetapi bagi psikologi perkembangan. Kognitif, hasil dari situasi yang
menarik perhatian kita ini, merupakan suatu pertimbangan dan alasan
yang preskriptif , yang dapat ditandai selaras dengan tingkat
kompleksitas moral dan kognitifnya. Setiap tingkat perkembangan
penolaran moral merupakan suatu pencerminan pemikiran moral yang
lebih terintegrasi dan lebih terdiferensiasi. Urutan dari
tahapan-tahapan itu merefleksikan perubahan dan pemahaman yang lebih
meningkat dalam hubungan anatara individu dengan orang lain, dengan
kelompoknya, dengan pergaulan hidupnya dan akhirnya dengana
masyarakat.
BERBAGAI
MODEL MAKNA DAN RETORIKA
Yang
dimaksud dengan sistem makna ini ialah konteks symbol yang memukinkan
lahirnya perilaku yang ekspresif, tindakan komunikatif dan penafsiran
perilaku moral. Makna itu mencerminkan pula penjelasan mengenai
tantanan buadaya, dan juga bahkan tatanan alam semesta (kosmologis),
ini semua merupakan bagian dari perbendaharaan yang dibuat oleh semua
anggota masyarakat, dan bukan hanya oleh sementara orang yang
dianggap memiliki hak khusus untuk tampil sebagai penyusunan
teori-teori tersebut secara professional.
Moscovici
telah mengembangkan suatu konsep mengenai”representasi sosial”
dan telah menguji pula bagaimana masyarakat dan kelompok itu
melibatkan dan mengaitkan diri untuk menjunjung tinggi makna dan
mengaitkan diri untuk menjunjung tinggi makna dan kategorisasi yang
memberikan kerangka penjelasan dan karakterisasi. Oleh karena itu
sistem makna sosial dapat dipandang sebagai perbendaharaan makna yang
memungkinkan orang yang memberikan penjelasan mengenai dunia sosial
dan dunia fisik.
Yang
terutama dituntut oleh perbendaharaan makna ini adalah mereka yang
dapat diterima menurut ukuran budayannya dalam lingkungan individual
mereka. Bahwa perbendaharaan makna kebanyakkan orang akan dapat
diterima secara cultural, sebab perbendaharaan makna itu untuk
sebagian besar pertama-tama dijabarkan dari kebudayaan, sedang
perbendaharaan asing merupakan akibat dari sanksi-sanksi sosial.
Durkheim
dan Mauss (1963) mengidentifikasikan dua fungsi sistem kepercayaan.
Yang pertama ialah fungsi spekulatif yaitu usaha untuk mengupayakan
agar permasalahn dapat dipahami dan fungsi kedua ialah fungsi
penjelasan atau eksplanasi. Fungsi yang kedua ini merupakan fungsi
moral, dengan maksud untuk mengatur perilaku manusia. Mereka berdua
secara khusus mencurahkan perhatiannya pada sistem kepercayaan yang
bersifat religious-semu, akan tetapi mungkin pula dengan maksud untuk
mengadakan suatu generalisasi dan menyadari seberapa jauhkan sistem
makna itu, secara tidak terelakkan lagi merupakan campuran dari
penjelasan atau eksplanasi dengan preskripsi.
Contoh
teori retorika dan sosial, seperti pada apakah Hein itu memang harus
mencuri obat-obatan itu(untuk menyembuhkan isterinya yang sedang
sakit gawa), sering kita menerima jawaban bahwa seharusnya ia tidak
mencuri, ini merupakan pernyataan yang bersifat preskriptif. Apabila
kita kemudian meneliti sedikit lebih mendalam lagi, maka kita
mendapatkan suatu yustifikasi (untuk mencuri), yang dinyatakan
sebagai suatu penjelasan, seperti setiap orang pun mencuri, tidak
seorang pun yang dapat mempercayai orang lain. Pernyataan-pernyataan
ini mencerminkan pemahaman individu yang bersangkutan mengenai
landasan pertautan sosial, yang merupakan teorinya mengenai apa yang
memungkinkan suatu sistem politik sosial itu dapat berjalan.
Unsur
pertama dari definisi mengenai retorika ialah pembauran antara fakta
dan nilai yang tidak dapat terelakkan lagi itu mengakibatkan sebagian
besar pernyataan mengenai dunia sosial menjadi pernyataan asertoris,
artinya pernyataan tersebut secara implicit diartikan : “ X harus
benar, dan ini berarti bahwa Y pun harus benar”. Semakin kebudayaan
itu bersifat serbaneka atau pluralistic, pernyataan tersebut akan
makin bersifat eksplisit, sebab bila lebih banyak ditemukan
teori-teori yang secara eksplisit bersifat bertentangan.
Unsur
kedua dari definisi retorika adalah komunikasi. Dimana alas an moral
yang bersangkutan dengan pertimbangan moral, ataupun preskripsi
sosial dan politik jarang sekali merupakan sekedar ungkapan yang
semata-mata bersifat pribadi. Untuk melakukan hal ini kita harus
memiliki seperangkat kode komunikasi walaupun mungkin kita tidak
sepenuhnya setuju dengan kebenaran teori tersebut. Sebagai contoh
cuplikan propaganda dari PD I yang beredar di inggris raya dan
amerika Serikat berupa poster untuk masuk angkatan bersenjata. Kedua
Negara itu mengajukkan asumsi yang berbeda mengenai apa sebenarnya
yang mengharuskan orang untuk bertindak, dan perbedaan dalam kedua
asumsi itu mencerminkan dua pandangan yang sangat berbeda mengenai
apa yang diperebutkan dalam perang tersebut.
INTERPERSONAL
DAN INTRAPERSONAL
Situasi
imajiner dapat dipandang sebagai contoh dari hubungan antar pribadi
dan kelompok (yang berasal dari luar dirinya). Kemampuan yang
terbatas dalam hal pelaksanaan dan teori yang dimilikinya diterapkan
individu- individu saat berinteraksi, baik dalam keadaan berdua atau
bersama kelompok, tetapi dalam kelompok situasi kemampuan secara
penerapan dan teori yang dimilikinya atau dianutnya itu diatur
dalam konteks normative dan dengan ini ia menyederhanakan
perilakunya, baik secara verbal dan non verbal. Sedikit dari proses
ini dapat terbaca dalam beberapa kutipan dari studi Damon (1977)
mengenai keterlibatan orang dalam suatu perundingan.
Studi
tersebut melibatkan 3 orang anak berusia 10 tahunan yang
merundingkan bagaimana caranya membagi beberapa cokelat diantara
mereka yang membuat beberapa gelang ditambah dengan denis.
Dalam
studi ini memperlihatkan keputusan-keputusan yang didasarkan pada
macam-macam bentuk dan kelayakan. Akan tetapi disamping itu
keputusan-keputusan tersebut menyingkapkan pula berbagai teori
mengenai aneka corak hubungan, serta memperlihatkan pernyataan dalam
berbagai jenis fakta dan nilai (retorika) yang selaras dengannya,
hal ini mencerminkan cara bagaimana masing-masing anak merumuskan
situasi sosial tersebut.
Breakwell
(1983) beranggapan bahwa masih ada peranan lain dari retorika bahasa
itu, yaitu untuk menentukan dan memelihara identitas kelompok.
Seorang individu mendapatkan seperangkat istilah pokok berkenaan
dengan ejekkan dan penghargaan yang dipelajarinya dalam lingkungan
kebudayaanya melalu pengalaman dalam situasi antar pribadi; ini
dapat digunakanynya untuk memantapkan keanggotaanya dalam kelompok
yang bersangkutan serta untuk menunjukkan identitasnya terhadap
rekan-rekannya yang langsung dalam kelompok tersebut.
Ada
dua cara hubungan antara interpersonal serta intrapersonal. Ada
interaksi yang konstan antara individu dengan penataan makna secara
sosial, antara organisasi kognitif antarpribadi (interersonal) dai
individu dengan penjabaran makna dan kerangka kerja serta negosiasi
dari kelompok, dan penafsiran makna kelompok oleh individu tersebut.
Habermas
(1979) telah mengajukan sebuah model hubungan antara intrapersonal
dan interpersonal, yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan
kemampuan dasar individu dalam hubunganya dengan pengalaman sosial.
Selama perkembangannya, si anak mengembangkan kemampuan dasarnya
dalam hal apa yang disebut Habermas dengan istilah “tindakan
komunikasi” . hubungan timbale balik atau interaksi anak dengan
orang lain merupakan symbol yang simboliknya. Kemampuan dasar dalam
tindakkan komunikasi ini meluas melalui hubungan timbal balik dengan
orang laian, dengan kelompok, dan dengan masyarakat, dan akhirnya
dengan meluasnya kemampuan dasar ini alam simbolik dari individu yang
bersangkutan meluas pula. Habermas beranggapan bahwa tahapan
penalaran moral mencerminkan perubahan dalam lam simbolik dan dalam
tingkatan komunikatif. Dalam model ini, hubungannya terdapat antara
tindakan terhadap dunia sosial dan tindakkan di dalam dunia sosial;
jadi persoalannya bukan sekedar perubahan dalam kemampuan atau
kapsitas untuk mengkonseptualisasikan (menerapkannya) di dunia
sosial.
SOSIOKULTURAL
dan INTERPERSONAL
Dalam
contoh yang dikutip dimuka, anak-anak yang merupakan subjek
penelitian dari studi damon memungkinkan diadakan penentuan oleh
seorang anggota kelompok, yaitu orang dewasa, bahwa (1) tugas
kelompoknya adalah adanya partisipasi bersama; dan (2) kegiatan
tersebut hendaknya menempuh jalan “ pembahasan secara rasional”
selaras dengan apa yang telah disepakati secara kultur. Pada
kesempatan lain mungkin saja kelompok itu diperkenankan memilih
untuk menentukan sendiri maslah keadilan tersebut dengan jalan
memperlihatkan kukuatan fisik atau melalui cemoohan, perilaku seperti
itu mungkin menentukan kembali kelompok “yang menang”, dan dengan
demikian menentukan kembali pembatasan siapa yang berhak
mendapatkan batangan coklat itu . beberapa perbedaan diantara
kelompok-kelompok itu mungkin disebabkan oleh tahapan moral
individual dari para anggota kelompok itu. Seperti tersingkap dalam
diskusi menegnai dilemma moral dan maslah moral dalam situasi
masyarakat oleh Higgins, Power dan Kohlberg (bab ) yang mengenai
kibbutzim oleh reamer dan Power (1980), jelasalh bahwa tahapan umum
penalaran moral dari anggota kelompok sebagai individu memepngaruhi
kesepakatn yang diperbincangkan itu; ini merupakan contoh kendala
intrapersonal yang berlangsung dalam kelompok.
Akan tetapi ada berbagai hal dari teori moral dan retorika moral yang
sama-sama dapat diterima kultur, penelitian dalam bidang hubungan
antar kelompok memperlihatkan rentangan yang luas dari retorika yang
mungkin didapat oleh berbagai kelompok dalam suatu kebudayaan,
Kelompok ini berada dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu, yang
mengadakan kategorisasi dalam permaknaan; setiap kelompok dihalangi
dan dibatasi oleh hal-hal tertentu yang dimungkinkan oleh kebudayaan
yang bersangkutan. Penelitian dalam bidang hubungan antar kelompok
memperlihatkan rentangan yang luas dari retorika yang mungkin
didapatoleh berbagai kelompok dalam suatu kebudayaan, yang
masing-masing dapat digunakan untuk memantapkan status “kelompok
dalam”dan “kelompok luar” dari masing individu-individu.
Hubungan sosiokultural menentukan suatu jumlah tertentu yang mungkin
digunakan bagi pemaknaan intrapersonal dan juga suatu jumlah tertentu
bagi pemaknaan interpersonal. Kelompok-kelompok yang berkuasa ,
tidaklah bisa menurunkan retorika(penjelasan dan definisi yang baru)
yang mungkin termasuk dalam system makna cultural yang lebih luas,
pembahasan interpersonal berkenaan dengan persoalan seksisme,
sebagian bahasan tersebut dilaksanakan dalam bentuk mengugah
kesadaran kelompok.
Hal
ini mempenyai dampak yang patut mendapatkan perhatian terhadap
konsep dan penggunaan bahasa. Dalam periode terjadi perubahan sosial
yang begitu cepat, ide-ide baru, penjelasan atau eksplanasi baru, dan
retorika baru seiring diturunkan diantara kelompok-kelompok kecil ,
dan secara cepat hal ini terpadu dan disebarluaskan dalam
kebudayaan, dan secara cepat hal ini terpadu dan disebarluaskan dalam
kebudayan. Proses tersebut merupakan bagian dari perubahan sosial.
- KESIMPULAN
Bahwa
penalaran moral dan penjelasan atau eksplansi sosial tersusun
melalui berbagai proses interaksi sosial yang telah
mengkomunikasihkanya dengan pihak lain. Penjelasan, retorika yang
berkaitan dengannya, yang terbentuk melalaui penyelesaian dilemma
hipotesis merupakan pula pembahsan dasar dari situasi nyata dan
biasa, pemikiran yang biasa dari individu-individu, mengenai
kehidupan pribadi mereka orang lain yang penting dan dengan institusi
masyarakat. Itu semua merupakan bagian dari teori individu yang
berangkutan menegnai berbagai maslah sosial dan moral. Penjelasan dan
retorika ini mudah didapat oleh individu yang bersangkutan melalui
pengalaman budaya dan pengalam antar pribadi (interpersonal);
biasanya orang tidak berpikir dan tidak berteori dalam keadaan
menyendiri. Proses memperbincangkan penetuan diri seseorang mengenai
dirinya sendiri serta mengenai duniannya berlangsung dalam
kelompok-kelompok dan hubungan berpasangan, dimana oranng dapat
belajar merundingkan berbagai makna dengan orang lain dan untuk
kepentingan diri sendiri; kedua proses tersebut berkaitan secara
integrasi. Masing-masing tidak dapat berada tampa disertai yang
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar